"Apa yang sebenarnya membuat Mas enggan menyentuhku? Mas bahkan selalu menghindar jika aku membicarakan hal itu. Apapun jawaban Mas, aku akan berusaha ikhlas. Setidaknya Mas bicara. Jangan diam seolah-olah hubungan kita itu normal seperti pasangan suami istri yang lain.”
Banyu mengangkat wajahnya. Tanpa bicara apapun, ia segera meraih jas yang ia letakkan di kursi makan lalu melangkah pergi meninggalkan Haura.
***
Pernikahan yang Haura harapkan bisa mendatangkan kebahagiaan itu nyatanya tidak seindah yang gadis itu harapkan. Banyu, lelaki yang enam bulan ini menjadi suaminya nyatanya masih enggan memberikan nafkah batin kepadanya. Lelaki itu terus menghindarinya jika gadis itu mengungkit masalah itu.
Tentu saja itu menjadi pertanyaan besar untuk Haura. Apalagi saat perdebatan mereka, Haura tidak sengaja menemukan sebuah kalung indah berinisial 'H'.
Apakah itu untuk dirinya? Atau apakah kalung itu menjadi jalan jawaban atas pertanyaan besarnya selama i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BANYU APES
Semua terjadi sangat cepat. Haura belum sempat menolong Sagara saat tangannya lebih dulu ditarik Banyu untuk segera masuk ke kantor. Ia berusaha melepaskan tangan Banyu dari tangannya. Namun, apalah arti tenaganya jika dibandingkan dengan tenaga besar Banyu.
Bahkan lelaki itu tidak peduli dengan tatapan penuh tanya yang dilayangkan oleh rekan-rekan mereka di kantor. Berbeda dengan Haura yang sejak tadi hanya berjalan sambil menunduk. Antara malu dan kesal. Setelah ini, selain kemarahan Banyu yang akan ia hadapi, ia juga akan malu berhadapan langsung dengan Sagara.
"Masuk kamu!" bentak Banyu begitu mereka di depan lift yang tertera tulisan khusus di atasnya.
"Ini lift untuk eksekutif dan tamu VVIP. Gimana bisa kamu-"
"Kamu tidak bisa langsung menuruti perintah saya, hah!"
Rasanya Haura ingin kabur dan menangis saat ini juga. Bentakan dan tatapan tajam Banyu sungguh membuatnya ingin menghilang dari pandangan Banyu. Apalagi saat ini beberapa petinggi perusahaan menatap mereka dengan tatapan yang membuat nyali Haura menciut seketika.
Banyu yang kesabarannya memang setipis tisu langsung menarik kembali tangan Haura agar langsung masuk. Kali ini dengan tenaga yang lebih besar karena kaki perempuan itu seakan enggan beranjak.
Haura kira beberapa orang di dalam lift itu akan menyapa atau bertanya kepada Banyu tentang apa yang terjadi. Namun, Haura salah. Bahkan sampai mereka sampai di lantai departemen mereka, tidak ada satupun orang yang berani menyapa Banyu. Meskipun jelas tatapan tidak mengenakan itu mereka layangkan kepada Haura yang berdiri dekat Banyu.
"Pak, lepasin dulu. Saya bisa jalan sendiri." Suara Haura sengaja ia pelankan agar tidak menimbulkan perhatian orang-orang lebih banyak.
Meskipun sebenarnya ia tahu, penampilannya sekarang juga menarik perhatian beberapa rekannya.
Banyu tidak merespon apapun. Langkah lelaki itu begitu mantap dan cepat. Genggamannya begitu kuat pada pergelangan tangan Haura.
Tatapan Haura kemudian bertemu dengan tatapan Ulya. Sahabatnya itu menatapnya penuh tanya sekaligus iba. Namun, Haura tersenyum kikuk sembari menunjuk Banyu yang berjalan di depannya dengan penuh emosi itu.
Mereka sudah sampai di depan ruangan Banyu, saat langkah Haura terhenti.
"Apalagi sekarang?" tanya Banyu galak.
"Izin sebentar, Pak. Saya mau ke toilet." Haura sangat berharap Banyu segera mengiyakan.
Namun, Harapan tinggallah harapan. Lelaki itu tidak mengubris permintaan Haura.
"Daffa nanti ke ruangan saya." Banyu menatap Daffa dengan tajam. "Ayo, Haura." Namun, kaki perempuan itu tak kunjung terangkat.
"Pak saya mau ke toilet sebentar. Lagipula baju saya basah. Yang ada nanti ruangan anda basah."
"Kamu bisa ke toilet di ruangan saya. Ayo cepat." Banyu sudah membukakan pintu ruangannya. Tatapannya masih setajam tadi sehingga membuat Haura mau tidak mau akhirnya masuk.
Sesampainya Haura di ruangan Banyu, ia segera berlari menuju toilet. Saat Haura ke toilet, Daffa pun masuk.
"Tolong kamu ambilkan totebag berwarna putih di mobil. Segera ya."
Daffa mengangguk. Tiba-tiba Haura pun keluar dan mata Daffa langsung mengalihkan pandangannya saat melihat Haura yang keluar dengan kemeja basah. Apalagi jas Sagara yang tadi ia gunakan untuk menutup baju dalamnya yang terlihat karena kemejanya yang basah kini sudah ia lepaskan.
Banyu segera melepaskan jasnya dan memasangkannya pada Haura dari depan. "Lain kali sebelum keluar, lihat kondisi dulu. Kemejamu tembus pandang," bisiknya pelan.
Haura reflek merapatkan jas Banyu. "Kelihatan banget dalamnya? Aku maluuuu....!" seru Haura pelan tanpa sadar merapatkan dirinya pada Banyu.
Banyu terkekeh. Kemarahannya setidaknya sudah lebih berkurang dengan tingkah Haura yang tanpa malu berdekatan dengannya.
"Masih ada yang perlu dibicarakan, Daf?" tanya Banyu, dengan posisi membelakangi Daffa sebab ia sedang menghalangi Haura agar tidak terlihat Daffa.
"Pak Sadewa meminta anda ke ruangannya. Sekarang."
"Baiklah. Kamu boleh keluar sekarang."
"Baik, Pak." Daffa tentu saja segera keluar ruangan tersebut. Apalagi kehadirannya akan membuat istri bosnya itu canggung.
"Daffa sudah keluar. Kamu bisa duduk di sofa sekarang."
"Mas-eh, maksud saya Pak Banyu. Anda kenapa tiba-tiba dipanggil Pak Dewa?" Dengan posisi saling berhadapan seperti ini, Banyu bisa melihat mata cokelat itu melihatnya dengan khawatir.
Sadewa adalah kakak sepupu tertua Banyu dan Sagara. Lelaki itu adalah direktur utama di perusahaan mereka. Selain karena memang kecerdasannya dalam mengelola perusahaan keluarga ini, kehadirannya juga mampu menengahi dua adik sepupunya yang jarang akur itu.
"Ada urusan. Kamu tunggu saya di sini. Jangan kemana-mana sebelum saya kembali." Banyu memperhatikan penampilan istrinya yang jauh dari kata rapi itu. "Kamu masih punya hutang penjelasan ke saya. Ingat itu." Banyu segera berbalik dan hendak keluar ruangan.
"Pak," Haura memanggilnya lagi.
"Iya? Pakaian kamu sudah saya mintakan Daffa membawanya. Atau nanti biar Ulya yang ke sini mengantarkannya."
"Anda dipanggil ke sana tidak ada hubungannya dengan kejadian tadi, kan? Atau jangan-jangan saya juga dipanggil, ya?"
Banyu menggeleng cepat. "Kamu tetap di sini. Urusan kita belum selesai. Ingat, jangan kemana-mana sebelum saya kembali."
Haura yang masih berdiri itu mengangguk pelan. Ia harap Banyu tidak berbohong soal itu. Akhirnya Banyu pun keluar ruangan, tinggallah Haura yang berada di ruangan tersebut sendiri.
Haura kemudian duduk di sofa ruangan tersebut. Sembari menunggu pakaian gantinya datang, ia pun membuka ponselnya sembari bersandar pada sofa. Namun, rasa kantuk yang tiba-tiba datang itu membuatnya kemudian tertidur. Tentu saja dengan kemeja yang masih lembap dan rambut yang berantakan.
Beberapa saat kemudian, Banyu yang baru selesai disidang oleh Sadewa itu langsung kembali ke ruangannya. Daffa tampak sibuk dengan pekerjaannya, sehingga Banyu tidak bicara apapun dan langsung masuk ke ruangan.
Pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah Haura yang tertidur dengan posisi duduk di sofa. Banyu menghela napasnya. Perempuan itu bahkan belum berganti baju. Sementara totebag berisikan pakaian gantinya berada di meja dekat ia tertidur.
Banyu kemudian mengatur suhu ruangannya agar Haura bisa tidur nyaman. Lelaki itu juga kemudian mengatur posisi tidur Haura agar lebih nyaman. Ia pun merapikan jasnya yang dijadikan Haura selimut itu. Lama ia menatap Haura yang kini terlelap itu.
"Saya tidak mengerti mengapa saya harus segila ini berhadapan dengan kamu, Ra? Rasanya kepala saya ingin meledak saat melihat kamu begitu akrabnya dengan Sagara. Saya ingin marah. Namun, melihat tatapan polos kamu seperti tadi ternyata mampu membuat emosi saya perlahan reda."
Tangan Banyu terulur mengusap wajah Haura. Sesuatu yang tidak mungkin ia lakukan saat perempuan itu sadar.
"Jangan pergi dari hidup saya ya, Ra. Kamu dekat Sagara saja, saya bisa begini. Bagaimana jika nantinya kita berpisah?" lirih Banyu menatap istrinya.
Tiba-tiba tangan Banyu ditahan Haura. Pergerakan perempuan itu yang tiba-tiba saja menarik Banyu hingga tubuh Banyu pun terdorong ke depan. Untungnya Banyu bisa menahan dengan tangannya sehingga tubuhnya tidak terjatuh ke tubuh Haura.
Namun, baru saja ia akan bangkit suara pintunya dibuka pun terdengar dan disertai dengan suara berat dan tegas milik seseorang yang sangat disegani Banyu.
"Banyu apa yang kamu lakukan?!"
*
*
*
Mohon dukungannya ya. Jangan lupa tinggalkan jejak untuk cerita ini. Terima kasih :)
Kenapa Haura...?? yaa karena dia istrinya. lahh kamu siapa.. hanya masa lalu..
Pilihan yg tepat buat kembaliin projeknya Haura, dg begitu dia gak akan tantrum minta pindah departemen lagi. 😂
Satu buat Hania, emang enak. Udh ditolak terus Haura dipuji-puji lagi. makiin kebakaran gak tuuh... 😂😂
kamu cantik jelas terlihat apa adanya.
sedangkan yg jadi bandingan kamu, cerdas kalem, tapi licik.. ada udangnya dibalik bakwan..
gak kebayang gimana kalo Daffa tau tentang ini..
Gak dapet dua-duanya baru nyaho kamu Han.
Yang lain aja slow, ngapain km repot2 jelasin.. yaa kecuali km ada mksud lain..
maaf ya Han, sikap mu bikin saya su'udzon..
Novel kedua yg aku baca setelah kemren Arsal-Ayra yg menguras esmosi... mari sekarang kita jadi saksi kisah Haura - Banyu akan bermuara dimana akhirnya. Karena pernihakan bukan berarti akhir kisah sepasang anak manusia. Jika bukan jodohnya mereka bisa saja berpisah, dan kembali mencari tulang pemilik tulang rusuk yang sesungguhnya. Jika sudah jodohnya, mungkin hanya maut yg memisahkan mereka di dunia.
Semangat ka... sukses selalu untuk karyanya.. ❤
Berdoa aja, semoga Haura lupa sama ngambek dan traumanya..
Mahalan dikit napa, masa nyogok poligami cuma es kriim.. minimal nawarin saham ke..
Baru launching udh ketahuan sumber ghibahnya... anggota lain langsung pada ngaciiir kabuuuur ..
makasih up langsung 2..
Good job Ra, saya dukung... ayooo buat Air semakin jatuh dalam penyesalan...