Keinginan terakhir sang ayah, membawa Dinda ke dalam sebuah pernikahan dengan seseorang yang hanya beberapa kali ia temui. Bahkan beliau meminta mereka berjanji agar tidak ada perceraian di pernikahan mereka.
Baktinya sebagai anak, membuat Dinda harus belajar menerima laki-laki yang berstatus suaminya dan mengubur perasaannya yang baru saja tumbuh.
“Aku akan memberikanmu waktu yang cukup untuk mulai mencintaiku. Tapi aku tetap akan marah jika kamu menyimpan perasaan untuk laki-laki lain.” ~ Adlan Abimanyu ~
Bagaimana kehidupan mereka berlangsung?
Note: Selamat datang di judul yang ke sekian dari author. Semoga para pembaca menikmati dan jika ada kesamaan alur, nama, dan tempat, semuanya murni kebetulan. Bukan hasil menyontek atau plagiat. Happy reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menggoda
Ting! Ting! Ting!
Adlan yang sedang membaca laporan pasokan di ruangannya, membuka ponselnya. Notifikasi dari mobile bankingnya menumpuk di jendela dengan keterangan debit semua.
Penasaran, Adlan membukanya dan melihat beberapa pembelian yang dilakukan Dinda di toko yang menyediakan pakaian perempuan. Selain itu, ada pula pembelian di toko kosmetik dan toko perhiasan.
“Apa kartu ATM Bos dibawa ibu negara?” tanya Ragil yang ikut membaca notifikasi Adlan.
“Ya. Sekarang kamu punya ibu negara, jadi aku tidak bisa sering ke mari.”
“Wadidaw!” seru Ragil tidak percaya.
Sebenarnya ibu negara yang ia maksud adalah ibu dari Adlan, tetapi bosnya menjawab lain.
“Kenapa aku tidak tahu kalau bos sudah menikah? Kapan? Dan kenapa tidak ada acara? Apa karena MBA?”
“Apa MBA?” tanya Adlan.
“Married by accident.”
Plak!
Adlan memukul lengan Ragil dengan map yang ada di tangannya.
“Istriku baru saja kehilangan ayahnya, aku belum ada waktu untuk membicarakan acara. Sebentar lagi juga peringatan hari ke-40.”
“Niat baik harus disegerakan, Bos!”
“Hanya acara saja. yang penting kami sudah sah secara agama dan negara.”
“Tapi seorang Wanita juga perlu yang namanya pengakuan, Bos! Tanpa acara, tidak aka nada yang tahu kalau Bos ataupun Bu Bos sudah menikah. Pasti akan menimbulkan pertanyaan dan orang-orang yang suka dengan Bos atau Bu Bos tetap akan mengejar satu sama lain.” Adlan terdiam.
Apa yang dikatakan Ragil ada benarnya. Apa sebaiknya ia mulai membahas resepsi dengan Dinda? Bagaimana memulainya?
“Nanti tunggu peringatan ke-40 Ayah selesai.” Batin Adlan.
Di sisi lain.
“Ma… Mama yakin menyuruhku memakai ini?” tanya Dinda ragu.
“Tentu saja! Mbak, saya mau yang ini dan yang ini sesuai ukuran tubuh menantu saya.”
“Baik, Bu. Yang ini juga tidak kalah popular, Bu. Ada beberapa pilihan warna kalau ibu mau saya ambilkan sampelnya.” Tawar penjaga toko.
“Boleh juga.” Penjaga toko segera mengangguk dan mengambil sampel yang dimaksud.
Dinda sampai merasa malu sendiri melihat mama mertuanya dengan santai melihat-lihat rak display.
Tidak ia pungkiri apa yang dikatakan mama mertuanya ada benarnya. Tetapi hubungannya dengan Adlan masihlah canggung. Jika dirinya tiba-tiba berpakaian seperti itu, apakah Adlan tidak akan mengiranya aneh?
“Tubuh kamu ini bagus, Din. Pakai apa saja sepertinya cocok!” Mama Adlan masih mengepaskan beberapa model di tubuh Dinda.
“Ini, Bu.” Penjaga toko memberikan 5 sampel warna pakaian.
“Kamu suka warna apa, Din?”
“Warna cream, Ma.”
“Kalau warna cream, mati dikulitmu. Sebaiknya ambil warna ini saja!” Mama Adlan mengambil warna pink soft dan mengepaskannya di tubuh Dinda.
Beliau mengangguk-angguk seolah puas dengan pilihannya dan segera meminta penjaga toko untuk membungkusnya.
Total ada lima pakaian yang mereka beli. Dari sana, barulah Mama Adlan membawa menantunya pulang ke rumah di mana Adlan sudah menunggu mereka.
“Belanja apa saja?” tanya Adlan.
“Rahasia!” jawab Mama Adlan yang segera mengajak Dinda masuk ke dalam kamar Adlan.
Di dalam kamar, Mama Adlan membantu Dinda membongkar belanjaan dan melepas price tag untuk di cuci.
“Khusus yang ini, jangan di cuci dulu! Kamu kenakan malam ini agar suamimu senang!” kata Mama Adlan sambil membuka pakaian warna pink soft yang dipilihnya tadi.
“Tapi Ma…”
“Tidak apa-apa. Hanya sebentar juga pakainya, tidak akan lama.” Kata Mama Adlan dengan senyuman menggoda.
Dinda yang ingin menjelaskan hubungannya dengan Adlan, kehilangan momentnya. Ia hanya bisa menganggukkan kepalanya menuruti mama mertuanya.
Malamnya, mereka makan malam bersama. Di rumah Mama Adlan ada pembantu yang membantu mengurus rumah, sehingga Dinda tidak diperbolehkan untuk memasak di dapur.
Selesai makan, mereka sempat berbincang sebentar mengenai acara peringatan ke-40 Pak Lilik. Mereka sepakat untuk menyerahkan masalah masakan kepada Mama Adlan karena tidak mau merepotkan para tetangga.
“Sudah malam, Mama sudah ngantuk.” Kata Mama Adlan yang berdiri dari duduknya sambil berpura-pura menguap.
Adlan yang hafal dengan sikap sang mama, tentu tahu mamanya hanya pura-pura. Hanya saja Dinda yang tidak mengerti menanggapi mama mertuanya dengan serius.
Kini hanya tinggal Dinda dan Adlan di ruang tamu. Keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing.
Dinda sedang berbalas pesan dengan teman-temannya, sedangkan Adlan membuka email dari beberapa vendor yang sudah mengajukan invoice.
Beberapa saat kemudian, Dinda juga merasakan kantuk sehingga pamit lebih dulu ke kamar. Adlan menyusul setelah menyelesaikan berbalas email.
Betapa terkejutnya Adlan yang melihat Dinda keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang menggoda. Dinda sendiri menjadi kikuk karena pandangan Adlan.
“Apa kamu mau menggodaku?” tanya Adlan mendekat.
“Ti-tidak, Kak! Ini Mama yang suruh.”
“Kenapa kamu mau di suruh?”
“Tidak nyaman menolak kemauan Mama.”
“Kalau kamu tidak nyaman, kamu bisa menolaknya.”
“Hanya pakai saja, tidak masalah.”
“Jelas saja masalah!” Adlan mengungkung Dinda di depan kamar mandi.
Bagaimana bisa tidak masalah? Selama menikah, hanya melihat Dinda dengan dress atau daster di bawah lututnya saat tidur saja sudah membuatnya tergoda. Apalagi sekarang ini istrinya mengenakan pakaian haram?
Sisi buasnya bergejolak melihat pemandangan yang ada di hadapannya, hanya saja pikirannya masih waras dan menahannya untuk tidak lepas kendali.
“Kamu tahu tidak, pakaian seperti ini digunakan untuk menggoda suami.” Dinda menunduk.
Ia tidak berani menatap Adlan karena ia tahu pakaian yang digunakannya memang untuk menyenangkan suami.
“Kamu diam, aku anggap kamu tahu. Lalu, kamu memakainya sekarang untuk apa? Apa kamu sudah siap?” bisik Adlan yang membuat bulu kuduk Dinda meremang.
Tanpa aba-aba, Adlan sudah menikmati leher jenjang Dinda, kemudian beralih menyatukan bibir mereka. Dinda dibuat kelabakan dengan Gerakan Adlan juga tangan suaminya yang sudah meraba tubuhnya.
Cukup lama Adlan menikmati candunya dan Dinda yang biasanya kaku, mulai ikut menikmati. Tetapi Adlan tahu, istrinya masih belum siapuntuk melangkah lebih jauh.
Adlan melepaskan Dinda perlahan dan menyandarkan dagunya di Pundak kanan Dinda.
“Aku tahu kamu masih belum siap. Aku akan menunggumu.”
“Maafkan aku, Kak.” Jawab Dinda dengan lemah.
Untuk menerima Adlan sebagai suaminya, Dinda sudah bisa melakukannya. Tetapi untuk memenuhi hak Adlan, Dinda masih enggan.
Ia tahu, dosa baginya menolak permintaan suaminya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagai istri. Tapi entah mengapa hatinya masih terasa berat.
“Aku akan memberikanmu waktu yang cukup untuk mulai mencintaiku. Tapi aku tetap akan marah jika kamu menyimpan perasaan untuk laki-laki lain.” Dinda menegang.
Apa ia masih menyukai Gibran? Apa hatinya masih terasa berat karena ia belum menyukai suaminya?
“Katakan, apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu melupakannya?” tanya Adlan yang kini menatap ke dalam bola mata Dinda.
“Aku harus jawab apa?” batin Dinda.
Adlan yang tahu tidak bisa memaksa istrinya, menahan dirinya. Ia melepaskan Dinda dan masuk ke dalam kamar mandi untuk menenangkan diri.
Bagaimanapun, Adlan adalah laki-laki dewasa yang sehat. Dengan pakaian yang dikenakan Dinda, sudah cukup membuat reaksi biologis, apalagi ia sempat merasa tubuh istrinya yang hanya dihalangi kain tipis.
Sungguh, ini adalah cobaan terbesarnya sebagai laki-laki yang selama ini telah mengendalikan hasratnya.
.
.
.
.
.
Maafkan author yang tidak sempat up kemarin... huhu