Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Elira sudah mencari ponsel miliknya ke setiap sudut yang bebas akses. Hingga yang tersisa, ia menemukan sebuah lemari nakas yang terkunci.
"Hah. Seingatku, di novel tak ada hal yang dirahasiakan di dalam ponsel itu." Elira berdiri, dengan tangan yang bertumpu ke meja rapi milik Cedric.
"Tapi kenapa dia menyembunyikannya dariku?" Elira memiringkan kepala heran sambil mengingat-ingat. "Atau ... apakah aku telah melewatkan sesuatu?"
Sepertinya ini memang tidak beres. Bahkan, Elira sendiri belum ingat apa yang sebelumnya terjadi hingga ia benar-benar menyatu dengan tubuh ini.
"Apa maksud dari semua ini? Apakah kutukan ini memberiku clue baru untuk menghukumku?" selidik Elira.
"HAHA!" gelak Elira tiba-tiba.
Apa-apaan alur hidupnya ini? Ini adalah lelucon, tetapi terlalu miris jika dianggap lucu.
Helaan kasar terdengar keras. Elira duduk di kursi empuk depan monitor.
"Jika terasa berantakan seperti ini, aku jadi tidak yakin dari mana aku harus memulainya."
Kedua tangannya saling bertaut dengan tatapan serius.
"Jika ada hal baru yang berubah seperti pentingnya ponsel itu ... bagaimana dengan orang-orang di sekelilingku?" gumam Elira dengan tatapan berpikir.
Wanita itu menggeleng. "Tidak, tidak. Aku yakin tidak serumit itu masalahnya."
Krak!
Elira sontak menoleh ke pintu ruangan Cedric yang masih tertutup. Ia mendengar suara lain yang kemungkinan ada di luar ruangan.
"Sial! Apakah itu Ann?" Elira beranjak dari kursi, lalu bergerak tak tentu arah untuk mencari tempat persembunyian. "Kenapa cepat sekali?" rutuknya dengan perasaan gelisah. Hingga akhirnya, ia bersembunyi di bawah meja.
BRAK!
Elira tersentak kaget. Seseorang telah membuka pintu ruangan Cedric begitu kasar. Di dalam persembunyiannya, Elira menutup mulut rapat-rapat.
"Sepertinya dia orang asing," batinnya was-was.
Perasaannya semakin berdebar tidak karuan saat langkah kaki itu kian mendekat ke arah meja. Kedua bola mata Elira membelalak saat melihat sepasang kaki berhenti tepat di dekat kursi meja itu.
"Apakah di maling?"
"Halo."
Elira terperanjat. Dengan posisi terpojok, ia terengah-engah sambil melotot pada lelaki yang berjongkok menatapnya.
"Apa yang kau lakukan di ruangan ayahku?!" geram Elira.
Arsen menyungging dengan tatapan dingin. "Ayah? Bahkan aku tak yakin, jika kau adalah Elira Maeven, satu-satunya putri kesayangan Tuan Cedric."
Deg!
"Apa maksud dari si brengsek ini?"
Elira mendorong kursi agar ia bisa keluar dari sana. "Minggir!"
Arsen berdiri, memperhatikan Elira yang cukup kerepotan saat berjalan berjongkok untuk keluar dari persembunyiannya.
"Apa tujuanmu datang ke sini?" Elira menatap Arsen dengan berani seperti di hari kemarin.
Kedua bola mata indah Elira seperti bara api yang sulit dipadamkan. Arsen tak pernah merasa segerah ini saat saling menatap dengannya.
"Menjemputmu," sahut Arsen sambil tersenyum.
"Apa?" Elira tertawa meledek. "Kau terlalu percaya diri, Tuan. Merasa tersanjung pun aku tak sudi."
Arsen menggaruk pelipis dengan telunjuk. Ia ikut terkekeh. "Apa yang membuatmu jadi nakal seperti ini?" Jemarinya mengusap lembut pipi Elira.
Elira hanya diam dengan tatapan bengis.
"Mau dengan cara lembut ..., atau kasar?" Arsen bertanya sambil memegang dagu Elira. Tatapan mereka pun saling bertumbuk.
"Sial. Aku sangat membenci pria seperti ini."
Dada Elira sampai kembang-kempis. Ia bahkan tak sudi menyingkirkan jemari Arsen dengan tangannya sendiri. "Singkirkan tangan kotormu dari wajahku."
Tak peduli dengan gertakan Elira, Arsen justru mendekatkan wajah.
"Cuih!"
Elira meludah di wajahnya, membuat yang terkena sasaran terdiam seketika. Namun, alih-alih memperlihatkan ekspresi jijik, Arsen justru malah menyeka saliva itu di pipinya sambil tersenyum.
"Kau menjijikkan." Elira terengah-engah menatapnya.
Di saat emosi Elira menunggi dan fokus pada wajah Arsen, lelaki itu mengeluarkan sapu tangan dari saku kemeja. Dengan tenang, ia membekap Elira dengan benda itu.
"Hmph!" ronta Elira.
Hingga tak butuh waktu lama, Elira pun hilang kesadaran.