Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.
Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. M3sum
SMK Bina Karya. Sebuah sekolah menengah atas yang berdiri megah di tengah kota, dengan dua lantai dan halaman yang cukup luas. Di salah satu sudutnya, seorang siswa tengah duduk santai sembari mengamati sekitar. Bibirnya terus menggumamkan sesuatu yang tak lama kemudian, membuatnya tersenyum.
"Bro, lagi ngapain? Kantin yuk."
Seorang siswa lain menepuk bahunya, mengajak pergi. Namun dibalas gelengan kepala dan kode tangan, seakan mengusir.
"Husst, husst. Gue lagi nunggu pangsit, eh wangsit. Siapa tahu ketiban rejeki nomplok, Nayna misalnya."
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi, membuat dia menoleh dengan wajah masam. Sementara pelaku tak henti tertawa. "Jam segini udah mimpi? Gila lu, Ndro!"
"Heh, gue Sandy bukan Sandro!" ucapnya kesal.
Temannya hanya menggeleng dan berlalu pergi, meninggalkan Sandy yang masih tersenyum sendiri di tempatnya.
Tak lama kemudian, datang seorang gadis berambut panjang dengan gelang hitam di tangan. Wajahnya terlihat khawatir. Berulang kali, Sandy menatap mata lentik yang semakin mendekat itu melirik kanan kiri dengan gusar.
"Nay, kamu kenapa sih? Kek mau transaksi narkoboy aja. Apa mau maling? Maling hatiku aja, Nay. Dengan senang hati, aku ikhlas." Sandy tertawa menatap wajah Nayna yang kini berada di sampingnya.
"Mau apa? Cepet bilang, waktuku nggak banyak," bisik Nayna masih dengan melirik sana-sini.
Sandy yang melihat itu seketika terdiam dan tersenyum kecut. "Apaan juga, bel masih lama, Nay. Tenang aja, Mr. Jhono nggak masuk, ambeiennya kumat. Kebanyakan marah-marah mulu sih ... "
"Kamu ngajak aku ketemu buat bahas itu?" Nayna menatap Sandy tak percaya. Entah mengapa, setiap dia dekat dengan laki-laki itu dan menatapnya, seakan mereka pernah bertemu, tapi di mana?
Kali ini, giliran Sandy yang melirik kanan kiri, lalu mendekatkan bibirnya ke wajah Nayna. Refleks, gadis itu menjauh dan bersiap melayangkan tangannya. Dengan sigap, Sandy menangkap dan terdiam beberapa saat. Dia menatap gelang hitam yang masih dipakai Nayna. Hm, apa itu gelang yang dulu? Apa dia beli lagi? Tapi motifnya sama kok.
"Lepas! Dasar mesum!" Nayna berdiri lalu pergi dengan wajah merah.
Gila apa. Dasar cowok sableng! Sandy edan!
Nayna berlari ke toilet untuk membasuh wajah, namun karena terburu-buru, dia menabrak seseorang di koridor yang lengang. Dia yang sejak tadi menunduk, seketika mengangkat wajah dan detik berikutnya, tatapan mereka bertemu.
"Maaf, Nay. Kamu nggak papa?"
Nayna memilih berlalu tanpa membuka suara. Langkahnya semakin cepat dengan debar jantung yang terdengar di gendang telinganya sendiri.
Kenapa harus dia? Dunia sempit banget sih.
Sementara itu, Sandy menatap kepergian Nayna dalam diam. Matanya terus mengawasi punggung gadis itu hingga hilang di persimpangan.
Kenapa nggak gue 'gas' aja tadi, mumpung sepi. Mana udah deket banget! Ah, bego!
Eh, eh, lo mau apa? Kan niat awal mau bisikin soal itu, kenapa malah mau nyosor aja? Sing eling, ini sekolah. Kena BK baru tahu rasa lo!
Sandy kembali tertawa mendengar debat di kepalanya. Dia langsung terdiam dan menoleh kanan kiri.
Untung nggak ada orang, bisa disangka gila beneran.
Cowok itu bangkit, melangkah ke arah koridor untuk menuju kelas.
Lho, tu bapak ondel ngapain di situ? Wah, wah, muka aja cool, tapi otaknya mesum.
Sandy mengendap, mendekat ke arah toilet wanita. Di mana ada Aksara yang berdiri tak jauh dari sana. Sandy menahan napas di balik dinding, kala Nayna keluar dan bertatapan dengan Aksara yang jelas tengah menunggunya.
Tak jelas apa yang dikatakan cowok itu, Sandy hanya melihat Nayna berlalu pergi dengan ekspresi datar.
"Kenapa, Bang? Dicuekin lagi? Haha, lagian ngapain si ngejar bini orang. Lo kan udah punya sendiri, Nyonya ondel yang cetar membahenol ... tapi gue nggak minat sama sekali sama yang bahenol model dia," ucap Sandy yang berdiri di belakang Aksara dengan bersandar dinding. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, sementara satu kakinya sengaja dilipat ke belakang.
Aksara menoleh. Ekspresinya terlihat berantakan, terlebih saat dia mendapati Sandy yang seolah mengejek dengan tingkahnya.
"Bukan urusan lo!"
Aksara berlalu pergi, namun baru beberapa langkah, dia berhenti dan kembali menoleh saat mendengar kalimat yang Sandy ucapkan.
"Maksud lo apa?" tanya Aksara tanpa merubah posisinya. Sandy tersenyum lebar.
"Lo kan anak pinter ya, anak emasnya Bina Karya. Masa soal ginian nggak paham juga? Lo ngejar cewek, tapi tu cewek lo bikin trauma di masa lalu. Mau sampe kapan juga nggak bakal kena, Bro. Cewek gampang maafin, tapi susah buat lupain. Lo sendiri yang bikin sikap dia berubah gini. Nayna yang periang udah nggak ada lagi, cuma karena omongan lo yang sok banget! Sok kecakepan! Sok ngartis! Ujungnya sekarang jadi gembel yang ngemis-ngemis cinta. Hahaha."
Sandy melangkah ke arah berlawanan, meninggalkan Aksara yang masih terdiam di tempatnya.
Bener juga, ini semua salah gue. Gue yang bikin Nayna berubah. Gue yang nggak bisa jaga mulut, gue yang udah nyakitin perasaannya. Karma? Apa iya gue lagi jalanin karma itu?
*
Sepulang sekolah, seperti biasa, Nayna menunggu jemputan bersama Tania. Mereka duduk berdampingan di bawah pohon, dengan dua botol minuman dingin.
"Nay, aku mau ngomong, penting."
Tania merapatkan tubuhnya hingga lengan mereka bersinggungan. Nayna menoleh dengan kening berkerut, "ngomong apa? Serius banget."
Tania menarik napas dalam lalu menghembuskan perlahan.
"Tapi kamu jangan gimana-gimana ya, Nay. Aku tahu, ini pasti cuma fitnah."
Nayna semakin penasaran, dia memaksa Tania untuk menjelaskan semua.
"Jadi gini, Nay. Tadi, nggak sengaja pas aku di kantin. Orang-orang lagi nyeritain kamu. Mereka bilang, kamu ke sini cuma mau balikan lagi sama Aksara. Ada yang ngomong kalau kalian dulu pacaran waktu SMP. Aku nggak tahu itu bener apa nggak, tapi aku yakin, kamu ke sini bukan karena cowok kan, Nay? Iya, kan?"
Nayna terdiam, kepala dan hatinya berisik.
"Siapa yang ngomong, Tan? Ngapain aku jauh-jauh ke sini buat nyari cowok, di tempatku sana juga ada, kali. Kurang kerjaan banget tu orang ngomong kaya gitu," ucap Nayna dengan tawa kecilnya.
Namun, Tania masih menatap tajam ke arah Nayna, lalu membuka ponsel.
"Ini bener kalian, Nay?"
Deg!
Nayna merasa tanah yang dipijaknya runtuh, semua bergoyang, seakan terjadi gempa yang hanya dirasakan oleh dirinya sendiri. Kata demi kata dalam kalimat di video itu terdengar jelas, familiar dan Nayna sendiri hafal di luar kepala. Bahkan dengan segala gerak gerik dan keadaan sekitarnya -saat itu.
**
Di rumah, Nayna masuk kamar dan menangis. Bayang kejadian di masa lalu, kembali segar dalam ingatan. Dia juga dapat menatap jelas, raut wajah itu, yang menatapnya dengan pandang meremehkan, bahkan terkesan menghina.
Siapa yang nyebarin itu? Kenapa bisa ada yang tahu? Nggak mungkin dia sendiri yang nyebar, mau cari mati apa sama si Melda. Tapi siapa? Melda? Nggak mungkin, dia juga nggak tahu soal ini, apalagi dia bukan dari sekolah yang sama. Tapi siapa? Apa maksudnya? Dendam? Atau apa?
Nayna memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. Dadanya juga terasa pedih, entah mengapa lebih sakit dari luka itu sendiri.
Layar ponsel menyala, menampilkan notifikasi dari aplikasi instagram.
Nayna membuka dan membaca pesan yang masuk.
"Padma, plis aku mohon sekali. Kasih tahu aku alamat rumahmu, atau nomor hp-mu juga nggak papa. Aku beneran butuh temen ngobrol secara langsung, bukan via tulisan seperti ini. Aku tunggu secepatnya, kalau kamu masih keukeuh nggak mau, aku yang akan cari tahu sendiri. Jangan salahin aku kalau tiba-tiba aku ada di depan rumahmu."
Nayna meraih bantal, membenamkan wajah di sana, lalu berteriak kesal.
***