Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berusaha
Si mbok pergi diantarkan ojek, namun di perjalanannya ban motor itu tiba-tiba kempes, bapak ojek pun menghentikan lajunya, dia memeriksa apa yang terjadi pada motornya dan ternyata ada sebuah paku yang menembus ban motor.
"Mbok, maaf. Saya nggak bisa antar si mbok ke desa sebelah, saya harus nyari bengkel," ucap si bapak ojek dengan menatap serius pada si mbok.
Mbok Sum mengangguk, tak ada pilihan lain Mbok Sum pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Wanita berkebaya coklat itu berjalan seorang diri, melewati sawah juga kebun-kebun yang terlihat sepi di sore hari. Orang-orang yang tadinya beraktivitas sudah kembali ke rumah masing-masing.
Dan bukan hanya langkahnya saja yang cepat, tapi degup jantungnya juga beradu, perasaannya tidak tenang, merasa seperti ada yang mengawasi dari belakang sana. Tapi, saat menoleh mbok Sum tak melihat siapapun.
Mbok Sum kembali menatap ke depan, namun dia terkejut bukan main, tiba-tiba saja ada wajah Kin tepat di depannya, wajahnya pucat, menatapnya tajam seperti hampir lepas mata itu.
Si mbok pun otomatis terjengkang, tak tertinggal dengan jeritannya, wanita itu sadar kalau dirinya kini tak lagi memiliki perisai semenjak dukun langganannya itu tewas mengenaskan.
Lalu, apakah sekarang gilirannya?
Mbok Sum mencari-cari sosok yang sedang menghantuinya, dia menatap ke langit yang tertutup rimbunnya dedaunan. Suara desiran angin yang meniup dedaunan kering terdengar seperti sedang menertawakannya.
Lalu, mata Mbok Sum berhenti di sebuah pohon rambutan tua, di belakangnya ada Kin yang sedang berdiri, tersenyum datar, seperti sedang memberitahu bahwa sekarang adalah gilirannya.
"Aku nggak ono hubungan e karo koe, Kin! Ojo ganggu aku!" teriak si mbok yang ternyata memiliki keberanian juga untuk bicara dengan arwah penasaran itu.
Kin tertawa terbahak-bahak, hantu wanita itu mendekat ke arahnya, lalu memutari si mbok dengan cepat. "Kau memang nggak ada hubungan sama aku, tapi kau tega mengarang cerita, Sum!"
Ucapan itu menggema di udara, padahal, si mbok Melihat Kin yang hanya memutarinya dengan tatapan tajam, mulutnya terkunci rapat.
"Manusia, sangat menjijikkan!" ucap Kin lagi dan sekarang wanita itu menghilang dari pandangan si mbok. Dia hilang, tapi bukan berarti melepaskan, sekarang segumpal rambut yang kaku seperti sapu ijuk merambat ke punggung si mbok, lama-lama rambut lebat hitam itu menjerat ke lehernya.
"Uhuk... uhuk!" si mbok mulai hampir kehabisan nafas.
"Siapa yang berani berniat menyingkirkanku, maka dia yang harus mati!" ucap Kin bersamaan dengan rambut yang semakin kuat menjerat leher si mbok.
"HAHAHAHAHA!" Suara tawa Kin terdengar sangat menggema, seolah sangat puas dengan penderitaan si mbok.
"Ya Allah, tolong aku!" batin si mbok, matanya terpejam, tak tahan lagi dengan sakitnya jeratan rambut itu, rasanya sesak, seperti nafasnya hampir terputus dengan paksa.
"Aaagghhhhhhh," erang si mbok yang sedang menahan sakit, dia memejamkan mata, bayangan Melati dan Kemuning kecil melintas, betapa dia sangat menyayangi mereka, si mbok berpikir kalau sekarang ini sudah dekat dengan ajalnya dan satu sesalnya yaitu belum menceritakan semua kebenarannya pada Melati.
Tiba-tiba saja, si mbok merasa ada yang menepuk bahunya. "Mbok," panggilnya, si mbok pun membuka mata lebar, dia menoleh ke kirinya, di sana ada seorang pria tua yang sedang memperhatikannya.
"Sudah mau maghrib, kenapa masih di kebun?" tanya pria itu seraya membantu si mbok untuk berdiri.
Terlihat wanita itu mengusap-usap lehernya, tepatnya mencari sesuatu yang tadinya sempat menjerat lehernya.
Namun, si mbok tak menemukan apapun.
"Mbok asalnya dari mana? Sepertinya saya baru liat si mbok, apa orang baru di desa sini?" tanya si bapak itu yang masih memperhatikan wanita tua linglung itu.
Si mbok masih terdiam, dia benar-benar tak habis pikir, bukannya tadi dia sedang disiksa oleh Kin? Lalu, dimana dia? Apa hanya halusinasinya saja? Ketakutannya saja?
Ah, si mbok pun menghela nafas panjang lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi, si mbok tak berhenti mengucap syukur dan terimakasih pada si bapak.
"Matur suwun, Pak. Kalau nggak ada bapak, mungkin saya udah nggak bernyawa tadi," ucap si mbok dengan sedikit mengangguk.
"Oh, iya. Saya kira tadi jenengan ketiduran di bawah pohon rambutan ini, tapi kelihatannya lagi mimpi buruk," sahut si bapak.
"Kebetulan saya lewat, habis dari sawah, mau pulang," sambungnya, si mbok memperhatikan dengan sesekali mengangguk.
"Bapak asli orang sini?" tanya si mbok.
"Iya, mbok mau kemana?"
"Saya mau ke rumah Mbah Prapto, bapak tau rumahnya dimana?"
"Oh, iya tau. Rumahnya ada di ujung desa, kalau boleh tau kenapa nyari mbah Prapto?" tanyanya curiga.
"Ada urusan," jawab si mbok.
"Pasti, hanya saja saya mau berpesan, mbah Prapto ini sakti mandraguna, semoga niat si mbok ke sana hanya untuk berobat, bukan untuk hal yang menyesatkan."
Dan sekarang, mereka berjalan beriringan dengan saling bertukar cerita, sampai akhirnya si pria itu berbeda arah saat menuju ke rumahnya sendiri.
Sekarang, si mbok sendiri lagi, dia pun kembali merasa diawasi. Beruntung, rumah si mbah sepertinya sudah dekat, terlihat dari plang yang menunjuk ke arah rumahnya.
Walau jarak itu sudah terlihat dekat, tapi entah kenapa wanita itu seperti berjalan di tempat, hingga jarak itu terasa semakin jauh, padahal sudah sekuat tenaga untuk mempercepat langkahnya, apa yang dialami si mbok tentu saja membuatnya lelah, nafasnya engap sampai tersengal-sengal.
Tak menyerah, akhirnya Mbok Sum sampai di depan rumah si mbah. Sebelum mengetuk pintu rumah kayu itu, Mbok mengatur nafasnya lebih dulu, setelah sedikit teratur dia mulai mengetuk pintu.
Tuk... tuk... tuk.
Dan bukannya jawaban yang dia dapatkan, justru pintu itu terbuka dengan sendirinya seolah menyambut kedatangannya.
Melihat itu ada perasaan sedikit takut di hati si mbok, Mbok Sum pun melihat ke kanan kirinya. Pikirnya dukun itu sangat sakti sehingga pintu saja bisa terbuka sendiri.
Padahal, ada sosok yang tak terlihat, dia bertugas menjaga pintu, menyambut ketika ada yang datang.
Lalu, suara serak yang terdengar berat dari dalam mempersilahkan si mbok untuk masuk. "Masuk!"
Si mbok mengangguk, dia melihat seorang pria yang berpakaian santai, tidak terlihat seperti dukun. Tapi, dia sedang mengelap kerisnya yang terlihat amat dia sayangi. Pria yang duduk di kursi kayu ruang tamu itu menoleh ke arah Mbok Sum berdiri.
"Silahkan duduk!" perintahnya dan si mbok pun mengangguk, lalu melangkah mendekat, mulai duduk ke kursi yang disediakan untuk tamunya.
"Terima kasih, Mbah."
"Langsung saja, ada apa jenengan bertamu ke rumah saya?" tanyanya seraya bangun dari duduk. Menyimpan kembali kerisnya ke kotak yang ada di meja belakang kursi.
"Saya mau minta tolong, Mbah. Anak-anak asuh saya diganggu sama demit, sebelumnya sudah pakai jimat, tapi jimat itu nggak mempan, apalagi si mbah itu udah nggak ada, kami butuh bantuan mbah Prapto buat menangkal gangguan itu," tutur si mbok dan dijawabi anggukan oleh si mbah Prapto.
Dan saat itu, tiba-tiba saja angin kencang meniup seluruh ruangan menandakan hadirnya Kin di sana, sosok dengan rambut yang menutupi raut wajah yang dipenuhi amarah itu menatap Prapto tajam.
Apakah rencana Sumirah untuk menyingkirkan Kin akan berjalan lancar? Atau justru mereka yang akan lenyap dari dunia ini?
Jangan lewatkan keseruan cerita Kin, dukung juga ya, like, komen dan subscribe biar author semangat selalu. 😇