NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Love-mie

Bagas dan Aruna berdiri di depan warung kopi itu seperti dua karakter yang baru saja tersesat dari drama mahal ke sinetron rakyat. Warung kecil dengan lampu neon kedap-kedip itu tampak ramai—meja-meja dipenuhi bapak-bapak bersarung, anak muda dengan gitar, dan ibu-ibu penjual sayur yang baru pulang kulakan.

Bagas menarik napas dalam, seolah mencium aroma nostalgia. “Aroma MSG dan kenangan masa muda,” ujarnya dramatis.

Aruna melirik ke dalam warung dengan ekspresi waspada. “Kalau ada tikus lewat, aku pulang.”

Belum sempat Bagas menjawab, seorang pria muda berbaju kaos oblong dan apron menyapanya, “Wah, Bagas! Jarang-jarang ke sini malam-malam. Bawa tamu spesial nih?”

Bagas menjabat tangan laki-laki itu. “Iya, Mas Rudi. Laper nostalgia. Mau pesan dong.”

Mas Rudi memandang Aruna dengan penasaran. “Ini adik kamu, Gas?”

Aruna hampir tersedak udara, tapi Bagas hanya tertawa dan menggeleng.

“Bukan. Nggak ada hubungan keluarga. Tapi istimewa.”

Aruna mendelik, tapi Mas Rudi sudah mengangguk-angguk sok paham. “Oke deh. Pesan apa nih?”

Bagas menoleh ke Aruna. “Kamu mau makan apa?”

Aruna masih agak ragu, tapi aroma warkop itu menggoda. Ia menghela napas. “Ada mie instan?”

“Ini warkop, Aruna. Mie instan adalah menu nasional.”

Aruna tersenyum kecil. “Mie kuah rasa ayam bawang. Pakai telur. Cabai rawitnya lima.”

“Siap, Princess Warkop,” jawab Bagas sambil menyenggol bahunya ringan. Lalu ia melanjutkan ke Mas Rudi, “Satu mie instan kuah pakai telur dan cabe rawit. Satu mie goreng. Tambahin mendoan, roti bakar coklat keju, tahu isi, kacang rebus. Kopi kayak biasa, dan teh hangat buat dia.”

“Mas, kamu mau makan atau traktir satu RT?” canda Mas Rudi sambil mencatat pesanan.

Bagas hanya tertawa dan menarik kursi kayu reyot di pojok warung. “Ayo duduk, nona. Sebelum semua gorengan ludes diserbu semesta.”

Aruna berjalan mengikuti, duduk dengan hati-hati seperti takut bangkunya patah. “Kamu beneran sering ke sini?”

“Dulu tiap malam Jumat. Sambil diskusi berat tentang hidup dan masa depan.”

“Dan ternyata masa depanmu ngajak cewek makan mie instan di warkop?”

Bagas menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap langit malam yang samar-samar terlihat di sela atap seng.

“Iya. Tapi sekarang, mie instan-nya jadi terasa lebih mewah.”

Aruna hanya menggeleng kecil, tapi sudut bibirnya tak bisa menyembunyikan senyum.

Dan di tengah keramaian warung sederhana, bunyi sendok, suara TV yang berisik, dan aroma kacang rebus yang menyengat… ada dua orang yang mulai terbiasa berada dalam keanehan satu sama lain.

Mangkuk plastik bening berisi mie instan kuah panas diletakkan di hadapan Aruna. Asapnya mengepul, harum gurihnya langsung memeluk hidung. Di atasnya, sebutir telur mengambang manis di antara potongan cabai rawit merah yang mengintip genit.

Aruna bersinar seperti anak kecil yang dibelikan mainan mahal.

"Wah... ini wangi surga," gumamnya penuh khidmat. Ia meraih sumpit, meniup sedikit kuah, lalu menyeruputnya dengan antusias.

Bagas mengamati dengan alis terangkat. “Kamu kelihatan bahagia banget cuma gara-gara mie.”

Aruna tak menjawab langsung. Ia menyeruput lagi, baru berkata, “Di rumah aku nggak boleh makan mie instan. Katanya nggak sehat, nggak cocok buat anak perempuan.”

Bagas bersandar santai, mengaduk kopinya. “Terus kamu makan diam-diam?”

Aruna mengangguk penuh kebanggaan. “Biasanya makan di sekolah, atau pura-pura ke minimarket. Yang penting Papa nggak tahu. Hari ini upgrade levelnya, makan mie instan bareng calon suami di warkop,” katanya dengan gaya dramatis.

Bagas tertawa. “Kita bahkan belum pacaran.”

“Justru itu lucunya,” sahut Aruna sambil mencelupkan cabai rawit ke kuah.

Sambil menyeruput tehnya, Aruna melirik Bagas. "Berapa banyak perempuan yang kamu ajak makan di sini?"

Bagas tampak terkejut. "Kenapa nanyanya kayak reporter infotainment?"

"Jawab aja," desak Aruna, setengah bercanda, setengah serius.

Bagas menatap mie-nya, lalu mengangkat wajah dan menatap Aruna. “Kamu yang pertama.”

Aruna menyipitkan mata. “Kamu yakin? Ini bukan kalimat template buat bikin cewek senang?”

“Kalau mau template,” kata Bagas, “aku bisa bilang kamu manis kayak gula, tapi itu nggak berlaku karena kamu lebih kayak cabai rawit.”

Aruna mendengus. “Lelucon basi.”

“Masih lebih enak dari mie instan kamu,” balas Bagas cepat.

Aruna mendiam. Lalu bertanya, nada suaranya lebih pelan. “Mantan pacarmu... pernah kamu ajak makan beginian?”

Bagas mendadak diam, lalu menyendok sedikit mie-nya. “Aruna, makan dulu. Mie-nya keburu kembang.”

“Mas Bagas,” kata Aruna sambil mencondongkan tubuh sedikit ke arah meja. “Jawab dulu. Aku benci ditinggal gantung kayak novel yang akhirnya menggantung.”

Bagas menatapnya. Lama. “Nggak pernah,” katanya akhirnya.

"Yakin? Baiklah, kalau masih rahasia. Sesuatu yang rahasia biasanya baik."

Aruna melangkah keluar dari warung dengan tangan di perut dan senyum mengembang. Angin malam menyapa wajahnya, membawa aroma gorengan yang masih tersisa dari dalam warung. Ia menarik napas panjang.

“Ya Allah… kenyang banget. Rasanya seperti selesai ikut lomba makan,” katanya sambil menepuk pelan perutnya.

Bagas melewati tenda warung, lalu berjalan santai menyusul Aruna.

“Yang penting kamu kenyang dan puas. Kalau Om Agam nanya, aku tinggal bilang kamu tak terabaikan di tanganku,” ujarnya dengan senyum jahil.

Aruna mendelik ke arahnya. “Aku makan mie instan, Mas. Mie instan. Di warkop. Kamu pikir Papa bakal terharu? Yang ada malah kuliah pagi-pagi tentang nutrisi dan pola hidup sehat.”

Bagas tergelak, membuka pintu mobil untuk Aruna. “Kamu bisa bilang ini bentuk pembangkangan kreatif,” ucapnya sambil menunggu Aruna masuk.

Setelah keduanya duduk di dalam mobil, Bagas menyalakan mesin dan lampu jalan menerangi wajah mereka. Musik dari radio mengalun pelan, tapi tak ada yang berbicara selama beberapa detik. Jalanan mulai lengang, kota seolah sedang bersiap tidur.

Setelah beberapa menit, Bagas akhirnya membuka suara. “Aruna…”

Aruna menoleh, alisnya terangkat. “Hmm?”

“Kalau di sekolah... jaga diri, ya?”

Aruna menatap Bagas agak bingung. “Maksudnya?”

Bagas tak langsung menjawab. Tangannya menggenggam setir lebih erat, matanya lurus menatap jalan.

“Di sekolah semua orang temanku. Nggak ada yang bahaya,” kata Aruna pelan, berusaha menebak maksudnya. “Atau... kamu tahu sesuatu?”

Bagas masih diam. Seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tertahan di tenggorokan. Kata-kata menggumpal di mulutnya namun enggan keluar. Ia hanya menggeleng pelan.

“Cuma… jaga diri aja,” ulangnya.

Aruna tak menjawab. Ia memalingkan wajah ke jendela, memandangi lampu-lampu kota yang meluncur melewati matanya. Tapi senyumnya menghilang. Ada sesuatu di balik kata-kata Bagas barusan, sesuatu yang tidak dijelaskan—dan itu justru membuatnya gelisah.

Mobil terus melaju, sunyi di antara dua hati yang sama-sama menyembunyikan perasaan.

Bagas mengehentikan mobil di depan rumah Aruna. Lampu teras menyala hangat, dan di bawahnya berdiri sosok yang sudah tak asing—Pak Agam dengan jaket motor dan helm yang setengah dikenakan di kepala. Ia tampak santai, seolah sedang menunggu kedatangan keduanya.

Bagas mematikan mesin, lalu melirik ke arah Aruna. “Sampai juga,” katanya pelan.

Aruna mengangguk. Ia membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Bagas menyusulnya. Keduanya berjalan berdampingan menuju Pak Agam yang kini sedang mengecek dompetnya.

“Om Agam,” sapa Bagas ramah. “Mau pergi malam-malam begini?”

Pak Agam menoleh dan tersenyum melihat mereka. “Loh, kalian udah balik. Papa mau motoran sebentar, cari angin. Sekalian nyari makan. Lapar juga,” katanya santai sambil membetulkan posisi helm.

Aruna buru-buru memotong pembicaraan, takut Pak Agam melontarkan godaan yang lebih panjang.

“Terima kasih, ya, Mas Bagas, udah anterin,” ucapnya cepat sambil melirik ke arah ayahnya.

Bagas membalas dengan senyum tipis. “Kapan pun, Nona.”

Aruna tak menjawab, hanya menggeleng kecil dan segera masuk ke rumah. Pak Agam mengikuti putrinya dengan pandangan geli. Begitu pintu tertutup, ia menoleh pada Bagas.

“Kamu sabar juga, ya, nak,” katanya sambil menepuk bahu Bagas.

Bagas hanya terkekeh. “Namanya juga bagian dari pendidikan karakter, Om.”

Pak Agam tertawa, lalu menyalakan motornya. “Hati-hati di jalan,” ujar Bagas.

“Siap, calon mantu!” sahut Pak Agam sambil melaju pergi. Bagas sempat terbatuk kecil, lalu menggelengkan kepala sebelum kembali ke mobilnya—dengan perasaan yang entah bagaimana, terasa lebih ringan.

1
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!