Setelah terusir dari rumah dan nyaris menjadi korban kebejatan ayah tirinya, Lisa terpaksa hidup di jalanan, berjuang mati-matian demi bertahan.
Ketika kehormatannya terancam, takdir mempertemukannya dengan Javier Maxim, CEO muda nan arogan, yang muncul sebagai penyelamat tak terduga.
Namun, kebaikan Javier tak datang cuma-cuma. "Tuan bisa menjadikan saya pelayan Anda," tawar Lisa putus asa.
Javier hanya menyeringai, "Pelayanku sudah banyak. Aku hanya memerlukan istri, tapi jangan berharap cinta dariku."
Dan begitulah, sebuah pernikahan kontrak pun dimulai. Sebuah ikatan tanpa cinta, yang hanya berfungsi sebagai kunci bagi Javier untuk mengklaim warisannya. Namun, seiring waktu, pesona dan kecantikan Lisa perlahan menyentuh hati sang CEO.
Seiring kebersamaan mereka, sebuah rahasia besar terkuak: Lisa bukanlah wanita sembarangan, melainkan pewaris tersembunyi dari keluarga yang tak kalah terpandang.
Mampukah cinta sejati bersemi di tengah perjanjian tanpa hati ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Hati Mulai Goyah
Mobil melaju pelan di bawah langit malam yang mulai menggelap sempurna. Lampu-lampu kota memantul di kaca depan, menciptakan bayangan yang menari di wajah Lisa yang duduk diam menatap jalan.
Javier melirik sekilas ke arahnya. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Bukan lagi tentang warisan. Bukan tentang ancaman Keyra. Tapi tentang wanita di sampingnya.
Lisa terlihat begitu tenang. Tapi ia tahu, dalam dirinya pasti sedang terjadi badai.
Tadi saat Lisa berdiri di hadapan Nyonya Angelina, tak menunduk, tak mundur, tak menangis—Javier untuk pertama kalinya melihat kekuatan dalam diri wanita itu. Bukan sebagai kontrak. Bukan sebagai alat untuk menutup celah warisan.
Tapi… sebagai seseorang.
Sebagai wanita yang… luar biasa.
‘Dia bukan siapa-siapa... Tapi kenapa bisa berdiri setegak itu?’ pikir Javier, tangan kirinya masih menggenggam kemudi.
Matanya kembali melirik Lisa. Gadis itu kini menunduk pelan, entah karena lelah atau sedang mengumpulkan emosi. Rambutnya sedikit berantakan, tapi tak mengurangi ketegasan wajahnya.
Tadi di hadapan Nyonya Angelina, Lisa tidak membela diri dengan air mata. Ia bicara dengan kepala tegak. Dengan suara tenang. Dengan kalimat yang tajam tapi tetap sopan.
Dan itu... membuat Javier terguncang.
Ia tidak menyangka wanita yang awalnya hanya ia pilih karena tak memiliki beban sosial, karena tidak akan menuntut apa pun, bisa menunjukkan ketegasan seperti itu.
‘Dia bukan tipeku,’ pikir Javier lagi.
Lisa bukan seperti wanita-wanita yang dulu dekat dengannya. Ia bukan Jesika yang elegan dan punya nama besar. Bukan pula wanita sosialita yang tahu cara memikat para konglomerat.
Lisa... hanya Lisa. Sederhana. Pendiam. Tapi tadi... ia berdiri di tengah badai Maxim dengan kepala tegak.
"Tuan," suara Lisa tiba-tiba pelan, memecah keheningan.
Javier tersentak kecil. "Ya?"
Lisa menatap ke depan. “Tuan menatapku seperti aku ini makhluk aneh.”
Javier tak menjawab. Ia tidak tahu harus berkata apa. Karena kenyataannya memang begitu.
Lisa tersenyum tipis, lalu kembali memandang ke jendela. “Tuan tak perlu takut aku akan jatuh cinta padamu. Aku tahu peran kita.”
Ucapan itu seperti tamparan. Bukan karena menyakitkan. Tapi karena… Javier sendiri mulai takut. Ia tidak ingin Lisa jatuh cinta padanya—karena ia yakin dirinya tak bisa membalas. Tapi yang lebih menakutkan adalah jika ia yang justru mulai goyah.
Javier menghela napas. “Kau tidak seharusnya bicara seperti itu.”
Lisa menoleh pelan, wajahnya datar. “Kenapa tidak? Ini kenyataan, bukan? Kau bahkan belum menjelaskan alasanmu memilihku untuk menikah, selain karena kebutuhan warisan.”
Javier menggertakkan rahang. “Karena kau... sederhana. Tidak rumit. Tidak akan memperumit semuanya.”
Lisa tertawa kecil. Pahit. “Lalu apa jadinya jika ‘yang tidak rumit’ ini ternyata lebih merepotkan dari yang Tuan kira?”
Diam. Sunyi lagi.
Javier mengencangkan genggaman di setir. Ia membenci percakapan seperti ini. Terlalu jujur. Terlalu membongkar celah dalam dirinya yang selama ini ia kunci rapat.
‘Aku tidak mungkin jatuh cinta pada wanita itu,’ ulangnya dalam hati. Berkali-kali.
Tapi suara Lisa saat menantang Nyonya Angelina.
Tatapan matanya saat menghadapi hinaan Keyra.
Keberaniannya berdiri di tengah dua keluarga yang ingin menelannya hidup-hidup.
Semua itu... bukan kualitas dari seorang “wanita biasa.”
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah mereka. Javier mematikan mesin dan membuka pintu lebih dulu, lalu berjalan memutari mobil untuk membuka pintu Lisa.
Lisa menatapnya, sedikit terkejut dengan perlakuan itu. Tapi Javier hanya menunduk dan berkata pelan, “Kau hebat tadi.”
Lisa mematung.
“Tadi... waktu kau bicara pada Angelina. Aku tidak menyangka.”
Lisa menunduk pelan, menghindari tatapannya. “Aku hanya tidak ingin jadi pecundang di mata orang-orangmu.”
“Bukan orang-orangku,” gumam Javier. “Mereka bukan siapa-siapaku.”
Lisa menatapnya, dalam. Lalu dengan pelan ia turun dari mobil, berdiri di sampingnya.
“Aku hanya berusaha berperan sebaik mungkin menjadi istri Tuan. Sesuai dengan kesepakatan di awal, mungkin ini sebagai bukti karena Tuan sudah menyelamatkan saya.”
Javier hanya menatapnya, tak mampu berkata-kata. Untuk pertama kalinya... ia tidak tahu bagaimana menghadapi Lisa.
Dan untuk pertama kalinya pula… ia takut.
Bukan takut akan warisan.
Tapi takut... jika benar ia mulai jatuh cinta.
Pada wanita yang seharusnya hanya kontrak.
☘️
Rumah itu sunyi saat mereka masuk. Hanya denting jam dinding di ruang tengah dan suara pendingin ruangan yang mengalun lembut.
Lisa meletakkan tas tangan pelan di meja konsol dekat pintu, lalu menghela napas. Ia masih bisa merasakan ketegangan di pundaknya, sisa dari pertemuan dengan keluarga Javier tadi—terutama Nyonya Angelina yang tajam seperti pisau, dan tentu saja… Keyra.
Javier berjalan lebih dulu ke dapur, membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol air dingin. Tapi bukannya langsung meneguknya, ia melirik ke arah Lisa yang berdiri tanpa bergerak di ruang tengah.
Ia mendekat.
“Minum dulu.” Javier menyodorkan botol itu.
Lisa menatapnya heran. “Untukku?”
“Kalau bukan untukmu, masa aku sodorin ke tembok?” jawab Javier datar.
Tapi Lisa bisa melihat ujung mulutnya terangkat sedikit—hal langka.
Dengan ragu Lisa menerima botol itu. “Terima kasih,” gumamnya pelan.
Javier mengangguk, lalu duduk di sofa dan membuka kancing atas jasnya. Lisa berdiri canggung, bingung harus berbuat apa. Rasanya aneh. Biasanya, mereka masuk rumah dan langsung kembali ke kamar masing-masing.
Tapi malam ini… ada sesuatu yang menggantung di udara. Tidak jelas. Tapi nyata.
Lisa akhirnya ikut duduk di sofa lain, menyilangkan kaki sambil menatap karpet di bawahnya.
“Jadi…” suara Javier terdengar dari seberang. “Apa kamu baik-baik saja?”
Lisa menoleh cepat. Javier jarang, bahkan hampir tidak pernah, menanyakan hal pribadi seperti itu.
“Baik,” jawabnya pendek.
“Bohong,” balas Javier cepat.
Lisa terdiam. Lalu mengangguk kecil. “Ya. Sedikit… lelah.”
Javier menyandarkan kepala ke sandaran sofa. “Aku juga.”
Mereka duduk dalam diam. Tapi bukan diam yang tidak nyaman. Justru… seperti dua orang yang perlahan mulai menyesuaikan napas satu sama lain.
Lisa menyipitkan mata, lalu berdiri. “Aku buat teh, ya?”
Javier mengangkat alis. “Teh?”
Lisa mengangguk. “Daripada kita duduk kaku begini. Tuan tidak harus minum jika Tuan tidak mau.”
Beberapa menit kemudian, Lisa datang membawa dua cangkir teh di nampan. Ia meletakkannya hati-hati di atas meja. Javier menatapnya lama—entah kenapa, pemandangan Lisa yang sedang menuangkan teh malam itu terasa hangat. Aneh.
Lisa menyodorkan satu cangkir padanya. “Ini.”
“Terima kasih,” gumam Javier pelan.
Mereka menyeruput teh dalam diam. Javier memperhatikan tangan Lisa yang menggenggam cangkir, bibirnya yang sedikit terangkat saat menghirup aroma melati, dan helai rambut yang jatuh di pipi.
Ia terbatuk pelan. “Tehnya… enak.”
Lisa menoleh, menatapnya dengan mata berbinar. “Tuan serius?”
“Serius,” jawab Javier cepat. Lalu menyesal. Karena kenapa ia merasa dadanya jadi hangat melihat Lisa tersenyum seperti itu?
Lisa tertawa kecil. “Jarang-jarang Tuan memuji sesuatu. Terutama sesuatu dariku. Mungkin ini pertama kalinya."
Javier mengalihkan pandangan. “Aku juga manusia. Bisa kagum.”
Lisa membelalakkan mata. “Kagum?”
Javier meneguk tehnya cepat, seolah ingin menenggelamkan ucapan barusan. “Maksudku aku hanya bilang tehmu enak. Jangan besar kepala.”
Lisa pura-pura mengangguk dengan ekspresi serius. “Baik, Tuan Javier. Saya catat kagum \= teh enak.”
Javier menghela napas. Tapi sudut bibirnya jelas naik. “Kau mulai menyebalkan.”
Lisa tersenyum kecil. “Tuan juga.”
Setelah beberapa saat, Lisa berdiri. “Aku naik dulu, istirahat.”
Javier ikut berdiri, seperti refleks. Lalu keduanya terdiam. Berdiri berhadapan di tangga. Jarak mereka hanya setengah langkah.
Lisa menggigit bibir bawah. “Terima kasih sudah berdiri di sampingku tadi. Di depan ibumu. Dan Keyra.”
Javier menatapnya dalam. “Aku tidak berdiri di sampingmu karena kontrak.”
Lisa menatapnya. “Lalu karena apa?”
Beberapa detik hening. Javier membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Lalu akhirnya, ia hanya mengangguk pelan. “Selamat tidur, Lisa.”
Lisa menunduk pelan. “Selamat tidur, Tuan Javier.”
Dan saat ia menaiki anak tangga, Javier menatap punggungnya dengan perasaan yang semakin tak bisa ia definisikan.
‘Ini tidak boleh terjadi,’ pikirnya lagi.
Tapi kenapa... ia justru menunggu pagi?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...