Seorang perempuan cantik dan manis bernama Airi Miru, memiliki ide gila demi menyelamatkan hidupnya sendiri, ditengah tajamnya pisau dunia yang terus menghunusnya. Ide gila itu, bisa membawanya pada jalur kehancuran, namun juga bisa membawakan cahaya penerang impian. Kisah hidupnya yang gelap, berubah ketika ia menemui pria bernama Kuyan Yakuma. Pria yang membawanya pada hidup yang jauh lebih diluar dugaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherry_15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Tenggelam Dalam Melodi
Tanpa terasa, santapan mereka telah habis, bersama dengan bianglala yang perlahan membawa mereka kembali ke bumi. Ryuka dan Airi menuruni wahana itu dalam diam. Entah mengapa, mereka terbiasa tenggelam dalam kebisuan di tengah kebisingan.
Sesaat setelah keluar dari bianglala, mereka memutuskan untuk membeli minuman hangat di salah satu stan di pasar malam tersebut.
Seperti biasa, Airi memesan Hot Lychee Tea—minuman favoritnya. Ryuka sempat heran melihat gadis itu selalu memilih menu yang sama. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah Airi tidak pernah minum air mineral?
Saat mereka berjalan tanpa arah, sesekali menyesap minuman, retina Airi menangkap cahaya warna-warni yang menyorot langit, bergerak ke sana kemari.
Tentu saja, hal itu menarik perhatiannya. Terlebih ketika telinganya menangkap suara ramai yang berpadu dengan melodi merdu. Matanya berbinar penuh antusias.
“Festival musik!” serunya riang, menunjuk ke arah panggung.
“Apa? Musik?” Ryuka terkejut, sedikit trauma melintas dalam benaknya.
“Itu, di sana! Kita nonton, yuk!” Airi berseru, melompat kecil seperti anak-anak.
“Jangan bercanda, Airi! Hari sudah semakin malam, ayo pulang!” Ryuka menolak, pikirannya mulai dipenuhi kenangan manis dan pahit tentang musik.
“Kenapa? Pasti seru kalau kita menonton sebentar!” Airi merengek dengan nada manja.
“Kau lupa, aku sedang apa di kota ini!?” Ryuka memberi isyarat agar Airi memahami situasinya.
“Oh, ayolah! Jangan terlalu serius begitu! Kau pakai masker, kan? Tak mungkin ada yang mengenalimu, Ryuka!” Airi terus membujuk.
“Aku takut, Airi...” Suara Ryuka bergetar, begitu juga tangannya. “Kenangan itu... menggerogoti otakku.”
Airi menatapnya pilu, prihatin melihat pria di sebelahnya didera ketakutan. Tapi tak lama kemudian, ia meraih kedua tangan Ryuka, menggenggamnya erat sambil tersenyum lembut.
“Hei, dengar. Rasa takut itu akan selalu ada dalam hati manusia. Sejujurnya, aku juga takut menaiki bianglala. Aku phobia ketinggian. Tapi begitu sudah berada di atasnya... ternyata ketinggian tidak seburuk yang kubayangkan.” Airi menatapnya dalam. “Aku harap kau mengerti maksudku... dan berani menghadapi rasa takutmu.”
Kata-kata itu menembus relung hati Ryuka. Seolah mendapat suntikan semangat, ia terdiam, larut dalam pikirannya sendiri.
Jika diingat lagi, musik adalah hal yang paling ia cintai. Musik adalah jati dirinya. Tapi sejak insiden itu, ia telah kehilangan jati diri. Bahkan, ia sampai jauh lebih nyaman dengan nama samarannya di tempat perasingannya sekarang.
“Tapi aku tak akan memaksamu,” lanjut Airi, memecah keheningan. “Aku tahu, menghadapi rasa takut itu tidak mudah. Jadi, kalau kau masih merasa tidak nyaman, mari kita pulang.”
Airi perlahan melepaskan genggamannya dan mulai melangkah santai ke arah gerbang pasar malam.
Ryuka tersentak. Dengan spontan, ia meraih tangan Airi dan menggenggamnya erat.
“Kau benar... Rasa takut itu harus dihadapi,” ucapnya mantap. “Lagipula, aku juga sangat merindukan musik. Jadi, mari kita nonton bersama!”
Airi tersenyum riang, hatinya lega sekaligus bahagia. Ia bangga—meskipun perlahan, Ryuka telah berani menghadapi traumanya.
Mereka pun berjalan mendekati panggung, tetap menjaga jarak aman di antara kerumunan penonton. Dari kejauhan, wajah para musisi yang tampil di panggung mulai terlihat.
Ryuka sedikit terkejut. Para pemuda itu tampak familiar, tapi ia tidak ingat kapan dan di mana pernah melihat mereka.
Sementara itu, Airi langsung mengenali mereka dan tanpa sadar bergumam, “Oh, Tsukiyama?”
Ryuka menoleh, matanya melebar. “Kau mengenalnya?”
Airi mengangguk. “Dia Tsukiyama, vokalis Lunar Hare. Kalau tidak salah, mereka debut di agensi Light’s Art Entertainment beberapa bulan sebelum Silent Cold Fire hiatus. Kau tidak pernah mendengar mereka?”
Ryuka makin membelalakkan matanya. Band baru? Di Light’s Art Entertainment!? Itu agensinya dulu! Pantas saja terasa familiar!
Bahaya!
Ia tak boleh berlama-lama di tempat ini. Bagaimana kalau mereka mengenalinya!? Pengasingan dirinya bisa gagal total!
Dengan menelan ludah, Ryuka berusaha tetap tenang. “Pernah sekilas, tapi aku tidak terlalu memperhatikannya.”
“Begitu?” Airi sedikit menyindir. “Kau tipe orang yang careless, ya?”
“Ya, begitulah. Sudah cukup, kan? Sudah bisa pulang sekarang?” Ryuka mulai tak betah.
“Baru juga mulai! Masa sudah mau pulang!?” tolak Airi.
Ryuka menghela napas panjang, lalu bertanya, “Kau menyukai mereka?”
Airi mengangguk mantap. “Gaya bermusik mereka mirip Silent Cold Fire. Suara Tsukiyama khas dan bikin candu. Lirik-liriknya penuh metafora. Meski baru debut, band dari Light’s Art Entertainment memang selalu berkualitas!”
Ryuka tersenyum kecut di balik maskernya. Senang atau kesal?
Ia senang karena agensinya dipuji, tapi juga kesal karena Airi begitu mengagumi band lain.
“Cih! Kualitas mereka jelek! Masih bau kencur!” gerutunya. “Chord musiknya sederhana, vokalisnya fals! Aku heran kenapa Light’s Art Entertainment mau mengorbitkan band cupu seperti ini.”
“Eh? Menurutmu begitu? Tapi bagiku, mereka tidak jauh berbeda dengan Silent Cold Fire, kok.”
“Jangan dibandingkan!” Ryuka mendengus. “Silent Cold Fire jauh di atas mereka!”
Airi tertawa kecil. “Kau cemburu, ya?” godanya.
“Jika kau tidak menyukai mereka, pulang duluan saja,” lanjutnya santai.
“Mana bisa!? Kalau kau diculik, bagaimana!?”
“Kalau penculiknya Tsukiyama, aku rela.”
“Airi, kumohon!” Ryuka jengkel.
“Festivalnya sebentar lagi selesai. Tunggu sampai akhir, ya?” bujuk Airi.
Ryuka menghela napas pasrah. “Baiklah.”
Mereka kembali larut dalam musik. Airi menikmati setiap melodi yang ia dengar, sementara Ryuka tetap waspada agar identitasnya tidak terbongkar.
Dari atas panggung, Tsukiyama sedikit kehilangan fokus. Tatapannya tertuju pada pria tinggi bermasker hitam di antara penonton paling belakang.
“Aku mengenalnya...”
Tanpa sadar, bulir air mata mengalir di pipinya.
“Akhirnya aku menemukanmu, Rakuyan.”
Di penghujung festival, kembang api melesat ke langit, mekar dengan indah.
Airi menatapnya takjub. “Wah... indahnya!”
Ryuka mengangguk pelan. “Ya. Ini indah.”
Tapi bukan kembang api yang ia lihat. Yang ia anggap indah adalah wajah Airi yang tersenyum bahagia.
Tanpa sadar, ia melangkah sedikit lebih dekat pada gadis itu, ingin melihatnya lebih jelas.
Merasa dirinya sedang diperhatikan, Airi pun menoleh pada Ryuka dan terkejut melihat pria itu sudah teramat dekat denganya. Degup jantung mendebarkan dadanya, rona merah menghiasi wajahnya.
“A-ada apa?” tanya Airi, gugup.
“Acaranya telah usai. Ayo pulang!” ajak Ryuka singkat, dengan nada bicara yang lembut.
Airi mengangguk pelan sembari tersenyum manis. “Terimakasih ya, Ryuka. Aku sangat bahagia hari ini.” ucapnya hangat.
“Hmm!” jawab Ryuka singkat, sembari melangkah pulang. Airi mengikutinya dari belakang.
Beberapa langkah berjalan, Ryuka menghentikan gerakannya. Airi hampir menabrak punggungnya, karena belum siap dengan keberhentian yang begitu tiba-tiba.
Ryuka menoleh ke arah Airi, seraya berkata. “Apa yang kau lakukan dibelakangku? Ayo, berjalanlah di sebelahku!”
Airi tersenyum lagi, lalu menyejajarkan dirinya dengan Ryuka. Meski hanya masalah posisi, keduanya diam-diam menyimpan rasa bahagia yang begitu mendalam, ketika bisa berjalan berdampingan.
Perlahan, keramaian festival mulai mereda. Langkah-langkah kaki yang tadinya riuh kini berganti menjadi gema samar di antara tiupan angin malam. Ryuka dan Airi berjalan berdampingan, membiarkan kebisuan mengisi celah di antara mereka.
Airi melirik sekilas ke arah pria di sampingnya. Wajahnya masih tersembunyi di balik masker, tetapi dari sorot matanya, ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih lembut dari biasanya.
"Ryuka..." panggilnya pelan.
"Hm?" Ryuka menoleh, menatapnya dengan ekspresi datar.
Airi menggigit bibir bawahnya, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kau... bahagia hari ini?"
Ryuka terdiam. Ia menoleh ke depan lagi, menatap jalan yang mulai lengang. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ia menjawab, suaranya hampir berbisik, "Mungkin... ya."
Jawaban itu membuat Airi tersenyum. Meskipun singkat, itu lebih dari cukup baginya.
Angin malam berembus lembut, membawa harum manis permen kapas dan sisa aroma kembang api. Langkah mereka terus melaju, meninggalkan gemerlap festival di belakang.
Namun, jauh di tengah lautan manusia yang mulai bubar, Tsukiyama masih berdiri di tempatnya. Matanya menyapu area penonton sekali lagi, berharap menemukan sosok yang tadi menarik perhatiannya.
Tapi sosok itu sudah menghilang.
Ia mengepalkan tangan, menahan kekecewaan yang menggantung di dadanya.
“Aku tahu itu kau, Rakuyan...” pikirnya. “Aku tidak akan berhenti mencari sampai kita bertemu lagi.”
Lampu-lampu festival mulai dipadamkan satu per satu. Tsukiyama menghela napas panjang, lalu berbalik menuju belakang panggung, membawa serta kenangan yang baru saja melintas dalam ingatannya.