—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”
Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.
Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.
Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.
Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.
Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?
Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?
Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Ara membuka matanya perlahan. Cahaya pagi menembus sela tirai, memantul samar di dinding kamar. Tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak.
Itu…
Tempat tidur.
Berantakan.
Sprei kusut dan terbuka, selimut terlempar ke lantai, bantal berserakan ke segala arah seperti sempat terlempar saat seseorang—saat mereka—berjuang.
Tapi yang paling berantakan bukan ruangan.
Itu dirinya.
Dia menoleh perlahan, dan baru menyadari betapa asing tubuhnya sendiri terasa. Ada rasa sakit di antara pahanya—pegal dan nyeri, perih seperti habis dikoyak.
Tangannya bergerak kaku menyentuh kulit lehernya…
Ada bekas.
Bekas gigitan. Bekas ciuman.
Di leher.
Di bahu.
Di paha bagian dalam.
Tempat-tempat yang terlalu intim untuk sekadar candaan.
Tempat yang hanya akan dijamah… saat seseorang ingin memiliki.
Rambutnya kusut.
Kakinya gemetar saat mencoba duduk.
Nafasnya mulai memburu saat tatapannya tertuju ke sisi lain tempat tidur.
Kael.
Dia tidur dengan tenang. Terlalu tenang.
Dada telanjangnya naik turun teratur.
Dia juga… sama. Tanpa busana. Seluruhnya.
Seolah tak ada yang perlu disembunyikan.
Ara menahan napas. Ada getaran dingin yang merayap dari ujung jemarinya ke tengkuk.
“Tidak mungkin…” bisiknya.
Tapi tubuhnya memberi jawaban lebih jujur dari pikirannya.
Sesuatu telah terjadi.
Sesuatu yang nyata.
Sesuatu yang tidak bisa dia tarik kembali.
Kael membuka mata perlahan. Sekilas, ia tampak seperti lelaki yang baru saja terbangun dari mimpi panjang—tenang, tak tergesa. Tapi saat pandangannya jatuh pada gadis yang duduk kaku di ujung ranjang, rambut kusut, tubuh telanjang, mata penuh guncangan… dia tersenyum tipis.
Senyum yang membuat darah Ara terasa dingin.
“Kau bangun,” ucap Kael pelan, suaranya serak namun stabil. Tidak ada rasa bersalah. Tidak ada penyesalan. Justru sebaliknya—seolah apa yang terjadi tadi malam adalah sesuatu yang seharusnya terjadi.
Ara menatapnya. Napasnya tercekat. Tangannya meremas ujung seprai yang menutupi sebagian tubuhnya.
“Kael… kenapa…?” suaranya nyaris tak terdengar. Suara seseorang yang belum percaya bahwa realitas ini nyata.
Kael mengangkat alis, seakan bingung kenapa pertanyaan itu perlu diajukan.
Lalu dengan nada ringan yang justru membuat Ara semakin menggigil, ia menjawab:
“Kau salah minum obat. Itu obat… yang harusnya tidak untukmu.”
Ara terpaku.
Kael bangkit perlahan dari ranjang, berdiri telanjang seperti dewa yang baru saja menyelesaikan ritual pengorbanan. Otot punggungnya bergerak halus saat ia mengambil handuk yang tergantung di kursi, lalu melilitkannya ke pinggang.
“Itu obat pemberian ibuku,” lanjutnya tenang, seperti sedang membahas hal sepele.
“Dia berharap aku menyentuh perempuan lain. Tapi aku tidak pernah menyentuh mereka.” Kael menoleh sedikit, menatap lurus ke mata Ara.
“Aku menyimpan obat-obat itu. Tidak pernah meminumnya. Tidak pernah menyentuh siapa pun.”
Diam.
Hening.
Dan kemudian, kalimat yang menghancurkan logika Ara:
“Sampai kau yang meminumnya sendiri.”
Kael berjalan ke kamar mandi dengan langkah ringan, seperti laki-laki yang baru saja menjalani malam penuh cinta, bukan kehancuran. Tak ada satu pun tatapan permintaan maaf, tak ada keraguan di balik punggungnya yang menghilang di balik pintu.
Ara masih diam. Terbungkus sprei, tubuhnya gemetar.
Bibirnya bergetar, bukan karena dingin, tapi karena kebingungan yang mencengkeram hingga ke tulang.
Suara air di kamar mandi seolah menggema di seluruh ruangan. Membilas malam yang baru saja terjadi. Tapi tidak ada yang bisa membilas rasa asing yang kini tertanam dalam tubuh Ara… dan pikirannya.
Dia menatap tangannya sendiri. Jemarinya gemetar.
Tapi yang lebih membuatnya takut bukanlah rasa sakit di tubuh, bukan pula bercak merah di selimut putih…
Yang paling membuatnya takut adalah: dirinya tidak menolak.
Dia tahu Kael memperingatkannya. Dia tahu Kael memberinya kesempatan untuk mundur.
Tapi dia… tidak mundur.
Ara menunduk, ingin membenci dirinya sendiri. Tapi yang muncul justru luka—kabur, mengambang, tak terdefinisikan.
Pintu kamar mandi terbuka.
Kael melangkah keluar, tubuhnya basah, rambut meneteskan air ke bahunya. Handuk membelit pinggangnya, dan dia menatap Ara seperti—seperti seorang pria yang baru saja menyentuh kekasihnya untuk pertama kali.
Bukan pelaku dosa. Bukan penyesal. Bukan pelanggar.
“Kau tidak demam,” katanya sambil berjalan mendekat. Ia menyentuh kening Ara, dingin tapi tetap memeriksa, seolah ia benar-benar peduli.
Ara mundur sedikit.
Tapi Kael hanya menatapnya, matanya dalam, suaranya nyaris lembut.
“Kau tidak menyesal.”
Ara menoleh cepat, ingin menyangkal.
Tapi Kael tersenyum miring, pelan, seolah ia bisa membaca pikirannya.
“Atau… setidaknya, tubuhmu tidak menolak.”
Ara berdiri tiba-tiba, menarik seprai menutupi tubuhnya dan mundur ke arah dinding.
“Berhenti bicara seperti itu.”
Kael hanya mengangkat bahu, lalu duduk santai di sisi tempat tidur, tempat tadi mereka—
Dia tidak ingin memikirkannya.
“Ara, kau harus mengerti satu hal,” katanya pelan, tanpa menatapnya. Jemarinya menyentuh lipatan seprai yang kusut.
“Setelah malam tadi… aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu lagi…”
Ara membeku.
“Aku tidak main-main dengan tubuh perempuan. Dan aku tidak akan membiarkan perempuan yang pernah kumiliki—” ia mendongak, sorot matanya tajam, gelap, penuh keyakinan “—disentuh orang lain.”
“Kael, kau tidak bisa bicara seperti itu!”
“Kau yang memintaku untuk tidak berhenti, Ara.”
Suara itu rendah, tapi mengiris.
“Dan aku memang tidak akan berhenti. Bukan hanya semalam. Tapi untuk selamanya.”
...****************...
Begitu pintu terbuka, Ara tidak menunggu Kael untuk bicara apa pun.
Dia langsung berlari masuk. Langkahnya nyaris terpeleset di lantai marmer, tapi dia terus berlari—seperti gadis kecil yang baru saja lolos dari mimpi buruk.
“Elvero!”
Nama itu meluncur dari bibirnya seperti jeritan tertahan yang akhirnya bisa bernapas. Dan begitu melihat pria muda itu berdiri dari sofa, matanya melebar, Ara langsung memeluknya erat.
Begitu Ara melepaskan pelukannya, Elvero menatap wajahnya dalam-dalam. Pandangannya menyapu rambut Ara yang kusut, matanya yang sayu, dan cara tubuhnya sedikit gemetar meski ruangan itu hangat.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya lembut, tapi sorot matanya penuh kecemasan. Ia tidak langsung memeluk lagi. Tidak menyentuh. Ia hanya berdiri di sana—menunggu jawaban.
Ara menunduk sebentar, menarik napas pelan, lalu membalas dengan suara rendah,
“Kau kenapa? Ada apa?”
Elvero mengernyit, tak menyangka Ara akan balik bertanya. Tapi ia menjawab dengan jujur.
“Kau sudah bisa tinggal di sini lagi. Aku sudah pastikan semua aman,” ujar Elvero pelan. Suaranya penuh kelegaan, seolah beban panjang yang dipikulnya berbulan-bulan akhirnya terangkat.
Kael masuk menyusul di belakang, tenang seperti biasa. Tak ada yang aneh dari kehadirannya—dia memang sudah terbiasa datang ke rumah ini. Tapi justru itulah yang membuat semua terasa lebih menyesakkan bagi Ara. Tidak ada tempat untuk bersembunyi… bahkan di rumahnya sendiri.
“Kau baik-baik saja?” tanya Elvero pelan, menatap wajah Ara yang lebih pucat dari biasanya.
Ara mencoba tersenyum, lalu justru bertanya balik, “Ada apa…? Kenapa kau bilang aku sudah bisa pulang?”
Elvero menarik napas dalam. “Kakakmu datang mencarimu kemarin. Ellion.”
Detak jantung Ara berhenti sejenak.
“Dia datang langsung dari istana. Bersikeras mencari tahu kemana kau menghilang dan tidak bisa dihubungi. Dia bahkan… hampir membongkar rumah ini. Karena itu, aku tidak punya pilihan selain memindahkanmu sementara dalam perlindungan Kael.”
Mata Ara membulat. Ia melirik Kael yang masih berdiri diam di dekat pintu, menyandarkan bahu ke dinding, wajahnya teduh dan tak menunjukkan emosi apa pun.
Elvero menatap Ara lama, sebelum akhirnya berkata dengan suara lebih pelan, hampir seperti bisikan:
“Dan… Ferlay juga datang. Di hari lain. Dia menemuiku.”
Ara membeku.
Napasnya terhenti sesaat. Ia menatap Elvero seolah baru mendengar nama hantu dari masa lalu. Hening menguasai ruangan beberapa detik.
“Ferlay…?” bisik Ara nyaris tanpa suara.
Tubuhnya mundur setapak, secara naluriah. Matanya bergerak ke Kael, yang masih berdiri tanpa ekspresi, namun pupilnya tampak mengecil tajam. Sorot matanya berubah gelap.
“Apa yang dia… katakan?” suara Ara bergetar, hampir takut mendengar jawabannya.
Elvero menatap Ara dalam-dalam, seakan menimbang seberapa jauh dia harus bicara.
“Dia bilang…”
Elvero berhenti sejenak, lalu menambahkan pelan, “dia akan menjemputmu sendiri, lain kali.”
Kael akhirnya bergerak. Langkahnya tenang, tapi auranya dingin dan menekan.
Dia berdiri di belakang Ara. Jelas tidak setuju
Ara memejamkan mata.
Dekat sekali. Nafasnya nyaris menyentuh tengkuk Ara.
“Elvero,” ucapnya, tenang… terlalu tenang. “Kau tidak seharusnya memberitahunya.”
Elvero menghela napas pelan. “Dia berhak tahu, Kael.”
Kael tetap diam.
Dia tak berkata apa-apa, tak bereaksi secara jelas—tapi sesuatu dalam dirinya berubah. Mungkin sorot matanya, mungkin gerak nafasnya, atau mungkin cara jari-jarinya mengepal ringan, seolah sedang menahan sesuatu.
Ara tidak berani menoleh. Dia bisa merasakannya—mata Kael tertuju padanya sekarang.
Matanya yang dingin. Dalam. Menuntut.
Elvero menoleh, memperhatikan Kael sebentar. “Kael…”
Kael mengangkat kepalanya perlahan, menatap balik Elvero tanpa ekspresi.
Itu cukup untuk membuat Elvero mengurungkan apa pun yang hendak dikatakannya.
Ara memejamkan mata.
Ia tidak tahu siapa yang sedang mengawasinya, siapa yang ingin memilikinya, siapa yang akan menyelamatkannya…
Atau siapa di antara mereka semua—yang akan menghancurkannya lebih dulu.