Siapa sangka Riana kembali bertemu dengan Brian, mantan suaminya, pria yang benyak menoreh kan luka pada pernikahan mereka terdahulu.
Rupanya semalam itu membuahkan hasil, dan kini demi status sang anak, mereka terpaksa kembali menikah, tentunya dengan banyak perjanjian dan kesepakatan.
Tanpa sepengetahuan Riana, Brian punya niat terselubung, setelah anak yang dia inginkan lahir.
Bagaimana reaksi kedua orang tua Riana, manakala mengetahui pernikahan Riana yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Bagaimana kelanjutan pernikahan mereka setelah Riana mengetahui niat jahat Brian menikahinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
BAB 13.
“Batalkan saja makan siangnya, aku ingin makan bersama anakku,”
“Jam 11 aku ada operasi penyempitan aorta, jadi kemungkinan aku akan makan siang di ruang operasi, apa kamu mau ikut makan siang bersama tim kami?” Riana buka suara tanpa menunggu Brian mengajukan pertanyaan.
Brian menggeram kesal, karena sudah bisa dipastikan siang ini ia tak akan bisa menelan makanannya.
“Kalau begitu, kita bertemu di jam makan malam, setidak nya sehari sekali aku ingin makan di dekat anakku.”
Riana mendongak dan langsung menatap pria yang kini duduk diam di sebelahnya, “Itu syarat kedua dariku.” pungkasnya, tak peduli bahwa Riana tengah meradang mendengar perkataannya.
Bahkan Riana yang meminta Syarat saja baru mengeluarkan poin pertama, tapi Brian sudah mengeluarkan poin kedua, “kamu benar benar pria paling menyebalkan, menjengkelkan, dan …”
“Dan jangan lupa, aku juga tampan,” dengan tingkat kepercayaan diri yang ekstra tinggi, Brian membanggakan wajah tampannya.
Fabian mengulum senyum mendengar perdebatan tuan dan calon nyonya nya, sudah lama sekali tuan Brian tak menemukan lawan berdebat, pada umumnya para wanita selalu mengangguk setuju dengan semua permintaan Brian.
Riana membuang pandangannya menatap pohon pohon di jalan.
🌹
🌹
🌹
“Nyonya Riana Gustav Agusto.” suara perawat membuyarkan lamunan Riana, ia ingin mengajukan protes terkait namanya, tapi …
“Iya …” Brian menjawab dan langsung berdiri, telapak tangannya terulur hendak membantu Riana berdiri, tapi Riana menepisnya, nampak sekali aroma permusuhan di matanya.
Brian menahan lengan Riana, “Aku tahu kamu tidak nyaman dengan ini, tapi demi anak kita, bisakah kamu berdamai sejenak dengan perubahan namamu?”
“Seperti aku punya opsi penolakan saja, aku tidak bisa menolak walau menangis sampai air mataku kering kan?” jawab Riana sambil lalu, menuju ruang praktek dokter Veronica, dalam hati Riana berdoa dan berharap, dokter veronica tidak mengenalnya, karena pastinya dokter Veronica mengenal Gadisya, yang juga sama sama berprofesi sebagai dokter Kandungan.
Riana menjalani proses screening sebelum berlanjut ke pemeriksaan USG.
Dokter menanyakan periode datang bulannya, sebelum kemudian menyebutkan tanggal perkiraan kelahiran bayinya. sekitar 7 bulan ke depan ia dan Brian menjadi orang tua baru, entah apa yang terjadi pada hari itu ia tak tahu, mungkin mereka akan berbagi peran sebagai orang tua yang berpisah, termasuk membagi jadwal kunjungan agar anak mereka tak kehilangan sosok daddy dan mommy.
Riana berbaring di bed pemeriksaan, Brian berdesir sesaat manakala pemandangan perut dan pinggang putih mulus Riana terpampang di hadapannya, sementara, sisanya tertutup selimut tipis.
Brian memalingkan pandangannya menatap monitor USG besar di ruangan tersebut, dokter Veronica menggerakkan transducer usai mengolesnya dengan gel bening, setelah beberapa saat mencari cari, “dapat…” ujarnya, ketika transducer menangkap gambar titik kecil di dalam Rahim Riana, “usianya 7 minggu, besarnya sekitar 10 mm, tapi organnya mulai berkembang, terutama otak, karena itulah pada usia ini kepala tampak lebih besar dibandingkan organ lainnya, selain itu, mata serta telinga bagian dalam juga terus berkembang, sel sel syaraf juga mulai menggandakan diri dan berkembang menjadi sistem Syaraf.” dokter veronica mengakhiri penjelasanya dengan senyuman.
Sepasang orang tua baru itu nampak masih terpaku menatap layar, mereka benar benar tak percaya, bagian dari diri mereka kini tengah tumbuh dan berkembang, hendak menunjukkan eksistensi dirinya.
“Ehm …” dokter Veronica berdehem, setelah dua menit berlalu sejak ia mengakhiri penjelasan, nyatanya baik Riana maupun Brian masih terpaku menatap monitor USG.
“Oh … eh … maaf dok, saya terpesona,” jawab Brian, yang kemudian membantu Riana membenahi gaunnya yang sejak tadi tersingkap, pria itu bahkan meminta tissue tambahan untuk membersihkan gel yang masih tersisa di permukaan kulit Riana.
Walau kikuk, tapi Riana mencoba berdamai, jadi ia membiarkan saja brian melakukan apa yang dia inginkan.
“Tuan, tolong jangan biarkan istri anda kelelahan, karena trimester pertama masih masa masa rawan pendarahan, bahkan sangat mungkin terjadi keguguran jika istri anda terlalu lelah, atau kurang hati hati.” pesan dokter Veronica pada Brian, tapi Riana menyimak dengan seksama, ia hanya tidak ingin terlalu memperlihatkan, bahwa dirinya sendiri berprofesi sebagai dokter, walau bukan dokter kandungan.
“Baik dok, akan saya ingat,” jawab Brian tanpa membantah, bahkan terkesan menjadi bocah patuh lagi penurut.
“Mommy, pastikan untuk menkonsumsi buah, sayur dan makanan bergizi lainnya,” imbuh dokter Veronica kala menyerahkan resep vitamin dan asam folat pada Riana.
“Terima kasih dok, akan saya ingat.”
Sepasang mantan suami istri itu meninggalkan ruang praktek dokter, bahkan Brian masih sangat menikmati menggenggam tangan Riana, ia tersenyum sendiri manakala mengingat tuhan kembali mempercayakan kepadanya sosok makhluk mungil untuk ia jaga dan ia sayangi, walau entah ia belum memiliki perasaan sama sekali pada sang mantan istri.
“Kapan kamu akan melepaskan tanganku?” tanya Riana ketika mereka berjalan menuju Loby rumah sakit.
Brian yang terkejut sontak melepas genggaman tangannya begitu saja, dalam hati ia mengutuk tangan kirinya sendiri, karena bisa bisanya tak segera melepas genggaman tangannya.
Mereka segera meninggalkan rumah sakit, karena kesibukan keduanya sudah menanti.
Mereka berhenti di sebuah cafe yang menyediakan menu sarapan.
Fabian segera menyingkir menuju mejanya sendiri, agar Brian dan Riana memiliki privasi untuk membicarakan masalah mereka sendiri.
Riana memesan croissant dan coklat hangat sebagai menu sarapannya, sementara Brian memesan bacon, sosis telur dadar dan latte, kemudian keduanya sarapan dalam diam, tak lama waiters membawakan sepiring buah buahan segar kemeja Riana dan Brian.
“Kenapa hanya diam, ayo makanlah, anak anakku harus mendapatkan nutrisi penting untuk suplai makanannya, agar ia bisa melalui hari yang berat hari ini, aku heran, kenapa hanya memesan sepotong croissant untuk sarapan, sementara anakku butuh banyak makan, agar ia tumbuh hebat dan sempurna.” pungkas Brian, ditambah dengan serentetan pesan seperti emak emak rempong di pagi riweuh.
Melihat Riana hanya diam, Brian mengambil garpu lalu menyuapkan sepotong apel untuk nya, tapi Riana menolak, “sudah ku bilang, bersikaplah seperti dulu, itu akan membuatku merasa lebih baik.” Riana mengambil alih garpu dari tangan Brian, kemudian memakan buah potong yang terlihat segar menggugah selera tersebut.
Selama menghabiskan sarapannya, Riana sibuk dengan ponsel yang terus berdering, para dokter residen bawahannya, mulai bertanya ini dan itu agar mereka tidak salah mengambil tindakan untuk pasien, Riana benar benar mengabaikan keberadaan Brian, dan terus sibuk menerima panggilan, sembari terus mengunyah sepiring buah potong di hadapannya.
Bukan tanpa alasan Riana melakukan hal itu, karena selama 2 tahun menjalani pernikahan, Riana lebih sering sarapan di rumah sakit, ketimbang sarapan di rumah bersama Brian, jika mereka sedang menginap di mansion papa mertuanya, Riana hanya sarapan berdua dengan Roger, entah Brian sarapan dimana, Riana tak peduli.
“Segera selesaikan syarat yang inginkan, aku tak ingin menunda pernikahan ini lebih lama lagi,”
Mereka kini sudah tiba di lobi William Medical Center.
“Iya,” hanya itu jawaban Riana, seraya mengulurkan tangannya, “mana resep vitamin untukku? aku akan menebusnya.”
“Biarkan Fabian yang menebusnya, sejak saat ini, aku ingin membiayai apapun yang dimakan anakku.”
Tanpa mengajukan protes kembali, Riana membuka pintu mobil, namun sesaat kemudian Brian kembali memanggilnya, “nanti malam aku ingin makan malam bersama anakku.” lagi lagi Brian menggunakan anaknya sebagai alasan, padahal sesungguhnya, ia ingin bisa makan lebih nyaman tanpa gangguan pusing dan mual.
Riana mengibaskan tangannya, seakan ia sedang mengatakan ‘terserah apa maumu’.