Naura, seorang gadis cantik, santun, cerdas dan selalu ceria. Dia seorang dokter spesialis anak di usia 28 tahun. Banyak laki-laki dekat dengannya namun orang tuanya tidak pernah menyetujui karena Naura tidak boleh menikah dengan orang lain!
Naura memiliki 3 orang kakak laki-laki. Fathur, seorang dosen di salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta, sudah menikah. Zamy, kakaknya yang nomor dua, seprofesi dengannya, seorang dokter kandungan yang bekerja dengannya di sebuah klinik yang dibangun orang tua mereka. Klinik terkenal ini berada di ibukota propinsi bernama Honey Bee buka mulai jam 4 sore.
Zamy dan Naura dekat sejak kecil. Zamy sangat menyayangi adik perempuan satu-satunya. Kakak yang ketiga adalah Rahman, pengusaha Rumah Makan Sea Food di kota kecil tempat ayah ibu mereka tinggal.
Hingga suatu hari, semua menjadi berubah ketika orang tua mereka membuka sebuah rahasia besar selama ini. Naura harus menikah dengan Zamy, kakak tersayang yang ternyata bukan saudara kandungnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afa's Mommy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Bayi Penyayang Itu
Masih ada 3 pasien lagi, waktu sudah menunjukkan pukul 23.57 menit WIB. Hampir jam 12 malam. Ibu sudah bolak-balik menungguku. Pasien di musim maraknya pandemi corona yang bahkan hampir merata mengganggu stabilitas kesehatan dan ekonomi dunia, menjadi pemicu pasien anak semakin banyak. Rata-rata orang tua terlalu paranoid dengan virus mematikan tersebut. Kadang mereka rela antri berjam-jam lamanya hanya untuk memastikan bahwa anak mereka hanya batuk pilek biasa.
"Biarlah bu besok biar kami yang bereskan." Saat pintu ruang praktik terbuka kulihat mak Yang mencoba merebut sapu yang digunakan ibu. Mungkin karena terlalu bosan menunggu akhirnya ibu menyapu ruang tunggu.
"Tidak apa-apa mak Yang, jarang-jarang ibu olahraga jam segini. Biasanya sudah empat kali ganti mimpi. Hahaha...." Ibu malah terkakak sambil berhenti menyapu. Dia memegang pinggang.
"Tuh buk pinggangnya sampai sakit. Masa iya nyapu malam-malam begini. Kami biasanya jam 3-an sore beres-beresnya." Mak Yang mengambil sapu di tangan ibu. Ibu menyerah. Dia memilih duduk di ruang tunggu. Tiba-tiba pasien terakhir sudah masuk Ela sudah menutup pintu, aku segera memeriksanya dan tersenyum geli melihat tingkah ibu di luar tadi.
"Kenapa sayang? Arkan kenapa meringis?" Aku menyapa pasien terakhir malam ini. Kata mak Yang mereka baru datang.
"Dia merasa nyeri saat kencing dokter. Setiap kencing dia sampai menjerit-jerit dan bahkan menangis." Ibunya Arkan menjelaskan.
"Oh begitu. Saat Arkan kencing sakitnya di sini apa di sini? Sampai berdarah nggak kencingnya?" Aku menunjuk sekitar perut dan area 'alat vitalnya. Arkannya tidak menjawab, malah menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Dia malu dok, katanya setiap mau kencing, itu tu, tit*tnya sakit." Ibunya menjelaskan. Aku tersenyum kemudian memeriksanya. Sedikit demam. Hanya infeksi saluran kemih.
"Arkan nanti kakak kasih obat ya harus diminum, ada antibiotiknya juga." Aku mempersilahkan Arkan duduk dan kembali ke meja meresepkan obatnya.
"Ini bu, tebus di apotik ya obatnya." Arkan sudah berdiri di depan pintu mau keluar ruangan. Aku memanggilnya disertai dengan lambaian tangan kananku.
"Arkan ke sini dulu sayang...."
"Ya bu dokter." Dia mendekat.
"Kamu harus banyak minum air putih ya, daaannn...."
"Dan apa dok?" Arkan bertanya. Aku mendekatkan mulut ke telinganya.
"Setiap kali habis pipis jangan lupa dicuci anunya...."
Arkan tidak menjawab lagi, dia cengengesan keluar ruang praktikku. Bocah 9 tahunan itu sepertinya malu-malu mendengarkan bisikanku tadi. Ibunya hanya tersenyum. Mereka pun pulang. Aku merapikan meja kerjaku. Mak Yang langsung masuk dengan laporannya.
"Maaf bu dokter, dokter Zamy minta kunci mobil dokter katanya." Ela melongokkan kepalanya di pintu.
"Bilang saja nanti saya nyopir sendiri." Aku menjawab santai.
"Dok! Dokter Zamy!" Ela memanggil bang Zamy yang sepertinya masih ngobrol dengan dokter Jefri.
"Kata dokter Naura, nanti dianya nyopir sendiri." Aku mendengar suara Ela dari luar ruang praktik.
"Iya La makasih ya. Hati-hati di jalan." Suara bang Zamy kepada Ela, salah satu asistenku yang segera akan pulang. Suara motornya sudah terdengar. Mak Yang juga berpamitan. Aku ikut mengemasi lagi meja kerjaku, lalu memakai sweater ungu yang pernah dipakai bang Zamy. Pulang. Aku keluar ruangan mencari ibu.
"Mang Ridwan lihat ibu?" Aku bertanya ke penjaga klinik yang bersiap mengunci semua pintu.
"Tuh buk dokter, bu Nia ada di ruangan pak dokter." pak Ridwan menunjuk pintu ruangan praktik bang Zamy yang masih terbuka. Kulihat ibu masih berayun-ayun, bahkan berputar-putar di kursi kerja bang Zamy.
"Bu apa ibu belum mengantuk?" Aku bertanya. Kutarik tangannya perlahan dari atas kursi. Dia berdiri dan mengambil hp di meja yang tadi dimainkannya, lalu memasukkannya ke tas hitam miliknya yang langsung kuangkat dari meja kerja bang Zamy. Aku membawa dua tas di tangan.
"Tadi ibu sudah tertidur di kamar Zamy. Sekarang malah ibu kehilangan kantuk. Ibu menjawab sambil mencari-cari seseorang.
"Mana Zamy?" Dia bertanya.
"Tuh sama dokter Jefri." Aku menunjuk dengan daguku ke arah etalase obat yang panjang tempat mereka ngobrol. Beberapa detik kemudian kulihat dua dokter itu sudah berpamitan.
"Jep, ibu pulang ya, besok mau ke Mentok. Ibu mendekati dokter Jefri.
"Iya bu Nia, semoga selamat sampai Mentok, salam sama pak Rey ya bu. Saya nggak ada lihat Bapak datang ke sini." Dokter Jefri menyalami ibu.
"Dia pekerja supersibuk. Ibu sudah lama menyuruhnya resign saja dari perbankan, jawabannya nanti nanti saja, setahun lagi, setahun lagi...." Ibu berpeluang meluapkan emosinya. Aku tersenyum.
"Hehe...." Dokter Jefri terkekeh. Kami berjalan ke arah mobilku di pinggir jalan. Kulihat bang Zamy sudah berdiri dekat pagar, mungkin dia mau berpamitan sama ibu. Matanya menunduk melihat hp, sementara kedua tangannya sibuk dengan keypadnya. Dengan siapa dia saling berbalas pesan sudah larut begini, pikirku dalam hati.
"Zamy kenapa mobilnya belum dihidupkan?" Ibu tiba-tiba saja bertanya.
"Ada yang mau nyopir sendiri bu." Bang Zamy memasukkan hp ke tas sandangnya. Dia memandangku tersenyum. Aku mengangkat alis setinggi-tingginya. Lalu tanpa menunggu ibu bertanya-tanya kepadaku, aku memberikan kunci mobil ke bang Zamy.
"Tidak jadi nyopir sendiri nona?" Bang Zamy tersenyum menggodaku. Aku hanya menggerutu. Bang Zamy memencet tombol di remote, membuka pintu depan dan belakang. Kubantu ibu naik dan memastikan bajunya tidak nyangkut di pintu. Lalu akupun masuk. Bang Zamy sudah memanaskan mesin.
"Kalian kenapa sih nak?" Ibu bertanya. Matanya bergantian menatapku dan bang Zamy.
"Kenapa kenapa ibu?" Aku malah balik bertanya.
"Kamu dan abangmu kenapa? Naura masih marah sama Zamy?" Ibu membelai-belai pipiku sambil bertanya. Aku diam saja tak menjawab sambil membuka hp. Kulihat puluhan lebih pesan whatapp dari Irwan. Pesan-pesan alay bertaburan lope-lope. Aku mencoba menutup layar namun ibu sudah terlanjur melihatnya.
"Ih jijay ibu lihat pesannya. Siapa itu? Si polisi kenakan-kanakan itu ya? Anak si Sofie tuh pasti. Ogah ibu punya mantu dia. Mending ibu gak punya mantu. Idiiihhh..., amit-amit ibu besanan sama dia." Ibu mengangkat bahu, bergidik geli.
"Apa? Ibu kenal tante sofie ya? Kenal dimana bu? Kok ibu nggak bilang-bilang dari dulu." Aku antusias. Sementara bang Zamy mengangguk-angguk kecil mendengarkan alunan lagu, seolah dia tidak mempedulikan kami.
"Buat apa bilang-bilang kamu. Ketemu dia saja ibu malas." Ibu kelihatan mulai sewot.
"Lho kenapa ibu gak suka sama dia. Tante Sofie asyik lho bu orangnya. Haha iya dia nggak pernah benar memanggil namaku bu. Kadang Dora, kadang Laura, eh dibilangin lagi yang bener malah dipanggilnya Nora." Aku terkikik di dalam mobil. Ibu memencet hidungku.
"Nah yang begitu saja baru ada tawamu. Tapi sama abangmu sendiri kau diamkan." Ibu serius. Aku berhenti tertawa. Sementara bang Zamy melirikku dan ibu melalui kaca spion.
"Ih ibu kenapa sih? Wong memang lucu tante Sofienya, bikin Naura pengen ngakak kalau ingat tante itu." Aku menggamit lengan ibu.
"Ibu nggak suka dia." Ibu cemberut.
"Kenapa bu?" Aku bertanya lagi.
"Ya kalau nggak suka ya nggak suka saja, nggak harus kenapa-kenapa?"
"Lho?" Aku heran.
"Eh apa dia tahu kamu anak ibu dan ayah?" Ibu bertanya lagi.
"Nggak tahu bu."
"Nggak tahunya gimana? Nggak tahu kamunya bu Sofie tahu apa tidak? Atau kamu tahu si Sofie nggak tahu kamu anak ayah dan ibu?" Ibu bertanya membingungkanku.
"Lha ibu nanyanya apa ya?" Ibu bahkan balik bertanya pertanyaannya. Dia bingung sendiri.
"Tahu bulaaattt... digoreng dadakan...." Bang Zamy nyeletuk sambil ketawa ngakak. Aku tersenyum lucu dibuat ibu.
"Ah sudahlah, yang pasti ibu nggak mau kamu dekat-dekat lagi sama tuh Arwin."
"Arwin siapa bu?" Aku malah balik bertanya.
"Itu anaknya si Sofie. Siapa namanya?"
"Irwan bu Irwan."
"Ya Irwan. Ibu nggak mau kamu dekat lagi sama dia." Ibu diam. Dia memainkan ujung matanya memandangi anak gadis dan anak bujang. Aku diam dan memilih duduk bersandar saja. Ada lelah yang baru terasa setelah menyelesaikan pekerjaan sampai larut. Aku memeluk tasku di dada, sementara ibu, dia bahkan menegakkan lagi sandaran kursinya. Sejenak hening, hanya sesekali terdengar suara deru kendaraan yang melintas. Beberapa truk pengakut barang mulai memasuki kota Pangkalpinang. Kami melewati lampu merah. Mobil melaju dengan pelan.
"Zamy!" Ibu tiba-tiba memanggil bang Zamy.
"Ya bu." Bang Zamy menatap ibu melalui kaca spion tengah. Ibu menatapku.
"Naura...."
"Kenapa bu?"
"Ibu pengeeennn..., sekali nimang cucu." Tiba-tba ibu bicara serius. Aku menegakkan dudukku.
"Kan sebentar lagi ibu punya cucu. Yuk Vioni kan hamil besar bu...." Aku menjawab.
"Bukan nak. Selain anaknya Fathur, Ibu juga pengen sekali punya cucu yang lain. Ibu pengen cucu dari pernikahan kalian. Ibu ingin kalian segera menikah." Aku tersentak. Bang Zamy tiba-tiba menghentikan mobil.
"Apa yang ibu bicarakan?" Aku bertanya karena merasa tak nyaman. Bang Zamy kembali melaju perlahan. Dia kembali menatapku dan ibu bergantian melalui kaca spion tengah. Mendengar pernikahan aku dan bang Zamy rasanya risih sekali.
"Apa kurang jelas nak? Ibu ingin sekali kalian segera menikah." Ibu menatapku serius.
"Zamy?"
"Ya bu."
"Bagaimana menurutmu nak?" Bang Zamy menatapku.
"Tanyakan Naura saja bu."
"Ibu tanya bagaimana menurutmu?" Ibu mendesak. Bang Zamy hanya diam. Dia membesarkan volume musik.
"Matikan musiknya Zamy. Ibu lebih leluasa bicara saat hanya bersama kalian berdua." Ibu kembali bicara. Bang Zamy menurut, menurunkan volume sampai nol. Ibu kemudian menatapku.
"Naura, ibu berharap besar Naura akan membayarkan nazar ibu nak. Kesepakatan yang sudah ibu buat puluhan tahun lalu."
"Kesepakatan dengan siapa bu? Itu yang ingin Naura tanyakan sejak mengetahui semuanya." Aku tak urung bertanya. Ibu pernah mengatakan telah membuat kesepakatan untuk menikahkanku dengan bang Zamy.
"Kesepakatan dengan Tuhan. Ibu telah berjanji kepada Allah, ibu bernazar jika kamu sehat ibu akan menikahkan kalian berdua."
"Kenapa bisa begitu bu?" Aku protes. Ibu memutar kakinya dan duduk persis menghadapku. Mobil terus melaju perlahan. Bang Zamy masih saja diam.
"Dengarkan Naura, dengarkan Zamy. Ibu belum sempat menceritakan semuanya." Ibu memegang lututku. Aku menopangkan kedua tinjuku ke dagu. Serius menatap ibu.
"Dulu nak..., dulu ada seorang bayi perempuan, usianya hampir empat bulan. Dia menjadi putri di dalam sebuah rumah. Ibu pun sudah kalah bersaing dengannya. Semua perhatian anggota keluarga tertuju kepada wajah cantiknya. Ketiga kakaknya sangat menyayanginya. Saat tidurpun bahkan ditunggui agar tidak ada nyamuk yang mengganggu. Dia bayi sedang lucu-lucunya. Siang hari di saat abang tertuanya di SD IT, abangnya nomor 2 di TK, dia dan abang nomor 3 di tempat pengasuhan. Jadi pagi-pagi mobil ibu mengangkut 4 penumpang kesayangan. 1 paling tua diantar ke SD IT dan pulang sampai jam 4 sore. Anak kedua sehabis TK jam 10 dia ibu antar dari TK ke tempat pengasuhan dua adiknya."
"Itu kami?" Aku memotong.
"Iya nak itu kalian."
"Terus bu?"
"Suatu malam, hujan lebat disertai petir dan mati lampu. Waktu itu Ayahmu sedang pendidikan selama 5 hari di Bogor. Ibu hanya ditemani nenekmu yang tidur di kamarnya. Tiba-tiba ibu terbangun karena tangismu yang perlahan dengan nafas lemah. Ibu menghidupkan lampu dari raket nyamuk. Badanmu panas tinggi. Naura demam. Nafasmu sudah sangat lemah dan benar-benar lemah. Ujung kaki tanganmu sepertinya ada kejang, bergerak-gerak sedikit. Ibu menangis membangunkan nenekmu. Dalam kepanikan menelpon ayahmu. Waktu itu hampir jam setengah dua pagi. Dahan kedondong tetangga terdengar jatuh menimpa atap rumah. Ibu semakin takut. Di dalam kamar merasa sendirian dengan keempat anak kecil. Ibu akan membawamu ke rumah sakit. Sesegera mungkin ibu mengganti baju panjang, menggendongmu dengan kunci mobil sudah di tangan. Ibu meminta nenek menjaga ketiga abangmu. Tiba-tiba belum lagi ibu keluar menuju garasi. Nafasmu semakin lemah-perlahan-lahan melemah dan tidak ada lagi sama sekali. Perutmu sudah datar. Wajahmu pucat. Kakimu tak bergetar lagi. Ibu dekatkan berkali-kali mulut ke mulutmu. Tak ada nafas lagi...." Ibu berhenti sejenak. Matanya kembali menganak sungai. Aku ikut menangis.
"Naura sudah meninggal?" Bang Zamy menepi. Dia menetralkan mobil dan membalikkan kepala menatap ibu serius.
"Iya nak. Naura sudah tidak bernyawa lagi. Ibu nangis meraung sejadi-jadinya. Namun karena cuaca dingin Fathur sama Rahman tidak terbangun sedikitpun. Hanya kau Zamy. Kau bangun merangkak naik ke atas kasur ibu. Nenek pun menangis. Aku memeluk Naura yang sudah kaku. Tiba-tiba saja. Keajaiban itu terjadi. Kau duduk mendekati Naura. Sambil mengucek-ngucek matamu yang masih mengantuk. Kau panggil Naura. Kau tepuk-tepuk dadanya yang terbuka karena ibu mengeceknya tadi. 'Dedek angun..., dedek angun ibu angis..., dedek angun..., dedek angun dedek, iat tu ibu angis acian, angunlah Ula angunlah ibu angis....'" Bahu ibu kembali bergoncang hebat. Dia menangis lagi. Akupun tak tahan lalu ikut menangis bersama ibu. Kupeluk ibu, aku duduk di kursi yang sama dengannya. Bang Zamy mengelap air matanya. Dia masih menepikan mobil.
"Kau tau Naura? Zamy kembali menepuk-nepuk dadamu. Waktu itu Zamy masih cadel walaupun usianya sudah 4 tahun. Dan Zamy, kau terus saja membangunkan adikmu. 'Angunla Ulaaa..., angun, angunlah dek, angun ibu angis.' Begitu katamu sambil menepuk-nepuk dada adikmu. Sementara Ibu sudah putus asa, hanya tangis yang semakin menjadi. Nenek mendekati Naura dan Zamy yang masih saja memanggil Naura. 'Sudahlah cu, adikmu sudah tiada, dia sudah meninggal.' Begitu kata nenekmu. Namun Zamy, kau membantah dengan gayamu. 'Adek Ula dak inggal, adek Ula acih boboookkk...,' setengah marah Zamy terus saja memanggil-manggil dan menepuk bahkan menciumi Naura. Sementara ibu menelpon ayahmu dan menceritakan semuanya. Namun tiba-tiba cerita ibu berubah. Entah karena tepukanmu Zamy di dadanya Naura, atau karena mendengar panggilanmu tiada henti, tetapi intinya Allah belum menakdirkanmu untuk meninggal. Allah tidak ingin ibu kehilangan anak gadis kesayangan. Allah tidak ingin Zamy kehilangan adik kesayangannya. Tiba-tiba suara tangismu pecah Naura. Ibu melompat mendekatimu kembali, Ibu meraba nafas di perutmu ada lagi. Ibu menangis haru. Ibu melihat matamu perlahan membuka. Lalu ibu mengambil kain bludru hangat. Menyelimutimu, menggendongmu dan kembali mengambil kunci mobil yang terjatuh tadi. Ibu berpamitan kepada nenekmu untuk menjaga anak ibu yang lainnya. Ibu akan pergi sendiri. Tiba-tiba Zamy turun dari tempat tidur. Masih sempoyongan dia bilang. 'Abang Amy itut bu....' Zamy menggapai tangan ibu. Ibu meraihnya. Lalu dengan langkah pasti Zamy mengayuhkan semangat ikut menemani ibu mengantar Naura ke rumah sakit. Di tengah derasnya hujan dan kilat petir menggelegar, jalanan bahkan sudah menggenang hingga sejengkal. Sebelum pergi, waktu memanaskan mobil di garasi, Naura masih nangis di pelukan ibu, kemudian Ibu bicara kepada Zamy yang duduk di kursi sebelah ibu.
"Kalian tidak sedarah nak, kalian tidak sepersusuan, tumbuh besarlah bersama dalam cinta dan kasih sayang. Jika Naura selamat malam ini. Adikmu ini akan ibu nikahkan padamu kelak besar nanti."
"Oke bu." Tiba-tiba Zamy menyahut omongan ibu sambil mengacungkan jempol tangan kanan. Ibu tersenyum, nyata-nyata ibu melihat matanya mulai terpejam karena masih mengantuk namun sempat meng'oke'kan omongan ibu."
Ibu berhenti bercerita. Aku dan bang Zamy bertatapan. Entahlah, tiba-tiba saja aku merasakan getaran yang sangat indah di dadaku. Getaran yang sangat membahagiakan. Ingin aku menghambur diri memeluk bang Zamynya, namun aku bukan adik kandungnya. Kutahan keinginan dengan menarik nafas sedalam-dalamnya. Ingin sekali rasanya kubersimpuh, bersujud kepada laki-laki di depan itu. Ingin sekali mengucapkan terima kasih. Namun aku tak mampu berucap lagi. Air mataku masih menetes. Ibu mulai menghentikan tangisnya. Dia menenggak air mineral sambil menatapku dalam.
"Sekarang ibu sudah lega, semuanya sudah ibu ceritakan. Ibu berharap kalian berdua bisa bijak menyikapi." Ibu bicara lagi. Bang Zamy mulai kembali memasuki laju jalan utama. Aku tidak bisa berkata-kata. Kupeluk ibu dengan erat, kubisikkan lagi.
"Aku sangat menyayangi ibu." Ibu tersenyum dan balas membisikkan sesuatu ke telingaku.
"Jika benar Naura sayang ibu, maka jadilah anak dan menantu ibu." Aku terdiam. Bang Zamy kembali menatapku dari kaca spion tengah. Pagi telah datang. Kisahku terus berjalan. Seperti waktu yang terus menapak, hidupku terus merangkak. Aku ingin selesaikan dengan indah kisahku dengan bayi laki-laki penyayang itu. Bang Zamy? Entahlah. Mataku mulai mengantuk, mobil perlahan menuju garasi. Ayah membuka pintu untuk kami saat mendengar mobil datang.
"Cantiknya dokter spesialis anak kesayangan ayah ini...." Ayah memelukku.
"Ini dokter spesialis kandungan juga gagah sekali." Ayah memeluk bang Zamy. Lalu ayah menatap ibu yang sudah tersenyum-senyum dari tadi.
"Lha ini mamanya mana? Anak siapa ini? Pasien siapa ikut ke rumah kita nak?" Ayah menggoda ibu. Ibu malah mencubit ayah dengan mesra. Senandung itu indah dan berbunyi, walaupun tak disuarakan, dia akan memantik sendiri di hati. Senandung cinta ayah dan ibuku. Malam kian jauh berlalu, berganti pagi yang semakin menanjak maju.