Berniat berlari dari penagih utang, Kinan tak sengaja bertabrakan dengan Reyhan, laki-laki yang berlari dari kejaran warga karena berbuat mesum dengan seorang wanita di wilayah mereka.
Keduanya bersembunyi di rumah kosong, sialnya persembunyian mereka diketahui oleh warga. Tanpa berpikir lama, warga menikahkan paksa mereka.
Keinginan menikah dengan pangeran yang mampu mengentaskan dari jerat utangnya pupus sudah bagi Kinan. Karena Reyhan mengaku tak punya kerjaan dan memilih hanya menumpang hidup di rumahnya.
READER JULID DILARANG MASUK!
Ini hanya cerita ringan, tak mengandung ilmu pelajaran, semoga bisa menjadi hiburan!
Tik tok : oktadiana13
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Okta Diana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Klorofilnya Lupa
Waktu sudah larut malam, tapi Rey belum kunjung datang. Segala macam sudah ku persiapkan. Mulai makan malam yang akhirnya makan sendirian. Berluluran, berdandan, menghias kamar. Tapi mana?
Aku bosan, membolak-balikan badan di atas ranjang seperti tak punya kerjaan. Mencoba memejamkan mata tapi, bayangan Rey terus mengahantuiku seolah-olah tak rela jika tertidur tanpa menunggunya pulang.
"Nyebelin." Aku memukul-mukul bantal. Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Ditelepon pun percuma dia tak mau mengangkatnya. Aku membanting ponsel ini. Dasar tukang bohong.
Aku kini berbaring, menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Memejamkan mata mencoba melupakan janji-janji palsunya.
...****************...
Hari sudah berganti. Kepalaku sedikit sakit akibat kurang tidur, menunggu laki-laki buaya itu. Pasti dia lagi bersenang-senang dengan wanita selingkuhannya. Harusnya aku tak perlu menawarkan diri seperti kemarin.
Aku melihat ponsel tapi tak ada pesan darinya. Siapa yang tak geram? Cukup sekali, tak akan mengulanginya lagi. Aku benar-benar malu dan menyesal.
Selesai mandi aku langsung membuat sarapan. Sop ayam sepertinya pas untuk menghilangkan kejengkelan.
Baiklah semua bahan sudah aku keluarkan dari kulkas. Tinggal memotong, aku mengambil pisau berwarna merah muda yang menjadi senjata kesanyangan saat di dapur.
Namun, di luar seperti mendengar ada suara mobil berhenti di carport rumahku.Aku menaruh pisau dan berjalan melihatnya. Jangan-jangan Rey.
Yang benar saja, reptilia berkaki dua itu datang juga dengan satu koper besarnya. Aku langsung kembali ke dapur tanpa menyambutnya. Memasang wajah cemberut dan mulut mengerucut. Dengan tangan sibuk memotong-motong sayuran.
"Baby ...." Dia langsung masuk rumah tanpa mengetuk pintu. Aku langsung memalingkan muka. Kali ini tidak akan aku maafkan.
Langkah Rey terdengar semakin dekat menghampiri dan aku menoleh ke arahnya. "Untuk apa kamu pulang?" teriakku geram.
Dia langsung memelukku dari belakang. "Katanya suruh pulang?" Tangannya sibuk menyibakkan rambut panjangku.
"Gak usah pegang-pegang aku!" Aku mencoba melepaskan diri darinya.
"Aku pergi lagi nih!" ancamnya yang membuatku memberi senyum setengah.
"Ya udah sana pergi! Dasar laki-laki omongannya gak bisa dipegang."
"Yang bisa dipegang ini nih!" Dia menunjuk ke arah celananya. Aku menggedikkan bahu geli.
Rey semakin mempererat pelukannya. "Maafkan aku!" bisiknya di telinga kananku. Sedikit geli. Dia mendaratkan kembali dagunya di bahuku kemudian mencium pipi.
Aku memotong wortel di talenan sampai berbunyi keras. "Ouh," keluhnya. "Aku ngilu banget dengarnya baby."
Aku langsung membalik badan dan menunjukan wortel yang tinggal setengah itu ke depan matanya. Dia memundurkan kepalanya. "Jangan seperti itu!" Rey mengambil wortel dari tanganku dan menaruhnya di talenan kembali.
Buncis yang berada di dekat wortel itu ku ambil dan ku patahkan di depan matanya. Dia terkekeh. "Itu terlalu kecil, punyaku gak kayak buncis dan wortel, kayak ini nih ...." Rey mengambil mentimun dan menunjukan padaku.
"Dasar laki-laki gila," Aku tak sanggup menahan tawa sehingga menyibukan diri kembali mengiris sayuran. Rey terdengar masih tertawa dibelakangku.
"Kasih tau aku, bagaimana agar kamu mau memaafkanku?" tanyanya seraya kembali memelukku erat dari belakang. Itu pertanyaan yang aku tunggu-tunggu sedari tadi.
"Kamu masak nih!" Aku memberikan pisau itu padanya. "Pokoknya harus enak. Gak enak, gak usah nyentuh aku!"
Dia mengerutkan kening. "Aku mana bisa masak."
"Itu urusanmu!" Aku mendorongnya dan berjalan menuju kamar kemudian berhenti sebentar dan menengok kebelakang. "Aku kasih waktu satu jam sop ayam itu harus sudah matang." Aku membanting pintu kamar dan tidur kembali di atas tempat tidur.
-
-
-
-
Satu ciuman mendarat lagi di pipi. Aku terbangun dan memicingkan mata. "Sudah siap! Perawan pagi-pagi kok tidur," ledeknya.
"Ini gara-gara semalam nungguin kamu. Aku gak bisa tidur." Aku langsung turun dan keluar kamar. Rey mengikutiku. Kami duduk bersama di meja makan.
Aroma sop ayam itu begitu sedap. Aku menyunggingkan bibir. Tapi, ini baru aromanya. Coba rasanya. Aku mencicipi dengan mengambil sedikit kuah dengan sendok makan.
Terdiam sejenak dan ... seperti ada yang kurang.
"Enak 'kan?" Rey sangat berbesar kepala saat ini.
"Iya sih, cuma kok seperti kurang sesuatu apa ya?" Aku mencoba mengingatnya.
"Oh iya klorofilnya lupa belum aku masukin." Dia memukul dahinya. Aku mengernyit menatapnya.
"Sayur sop tanpa daun seledri bukan sayur sop bagiku." Aku berdiri dan menaburi dengan klorofil yang dia maksud kemudian memakannya.
"Berarti dimaafkan ya?"
Aku memicingkan mata. "Kasih tau dulu! Kamu tuh semalam kemana? Terus kerjamu itu apa? Tinggal dimana? Keluargamu siapa aja?"