Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai mengintai
Cahaya matahari masuk lewat jendela, tapi kamar Epi tetap terasa dingin. Gadis itu duduk di pojok tempat tidur, lutut terangkat, memeluk dirinya sendiri. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat, matanya sembab—jelas ia belum benar-benar tidur.
Pintu terbuka pelan.
Fandi masuk.
Bukan dengan langkah kasar, tapi justru terlalu tenang. Itulah yang membuat Epi semakin mengecil di tempatnya.
Fandi: “Kau bangun.”
Epi langsung menunduk dalam. Tidak berani melihatnya.
Epi: “…iya.”
Fandi berjalan mendekat, kursi ia tarik pelan, lalu duduk di depan ranjang. Suaranya dingin, hampir tidak berintonasi.
Fandi: “Kita mulai. Aku butuh cerita lengkap. Tanpa kau tahan apa pun.”
Epi menelan ludah. Tangannya gemetar.
Epi: “A-aku… sudah bilang semua…”
Fandi menyipitkan mata.
Fandi: “Tidak. Kau masih sembunyikan sesuatu.”
Epi menggeleng cepat, tubuhnya makin meringkuk.
Epi: “Aku… aku takut…”
Fandi: “Takut pada siapa? Aku?”
Tatapannya tajam, dingin, tanpa belas kasihan.
Epi tidak menjawab. Itu sudah cukup menjawab.
Fandi bersandar sedikit, menautkan jarinya.
Fandi: “Kalau kau lihat aku sebagai ancaman… kau belum tahu apa yang menunggumu kalau Mahawira menemukanmu duluan.”
Epi memejamkan mata, bahunya naik turun menahan isak kecil.
Epi: “Mereka… mereka mau bunuh aku…”
Fandi: “Karena kau lihat semuanya. Maka ceritakan detailnya. Semua.”
Suaranya tetap tenang, tapi ada tekanan yang membuat Epi merasa tercekik.
Epi: “…aku… lihat orang itu… menembak Pak Hans… dari dekat…”
Fandi: “Sudut mana?”
Epi: “K–kanan… dari samping mobil…”
Fandi: “Jarak?”
Epi ragu. Tangannya menutupi wajah.
Fandi langsung mencondongkan tubuh.
Fandi: “Jangan tutupi wajahmu saat kau bicara denganku.”
Gadis itu tersentak dan menurunkan tangannya perlahan.
Epi: “Jaraknya… dekat… sangat dekat… mereka… mereka nggak ragu…”
Fandi: “Plat mobil yang menabrakmu. Ucapkan jelas.”
Epi: “B–… B 13… 92… Z—ZJ…”
Fandi mengangguk tipis.
Fandi: “Bagus. Itu cocok.”
Epi: “…lebih baik aku mati saja daripada di sini…”
Ia berbisik tanpa sadar.
Fandi berhenti. Menatapnya lama.
Lama… sampai Epi menggigil.
Fandi: “Jangan bilang begitu. Kalau kau mati, aku kehilangan saksi. Itu merepotkan.”
Itu bukan kalimat menenangkan—itu murni fakta dingin.
Epi makin meringkuk.
Fandi berdiri.
Fandi: “Hari ini aku akan verifikasi ceritamu. Kau tetap di kamar. Jangan buka pintu untuk siapa pun.”
Epi mendongak sedikit, suaranya serak.
Epi: “K-kau… mau kemana…?”
Fandi: “Mengintai tempat Hans dibunuh. Dan mencari siapa yang mencoba menghabisimu.”
Ia menatap tajam sekali, seperti menusuk.
Fandi: “Pastikan kau tidak bohong pada aku. Karena kalau aku menemukan lubang di ceritamu… kau akan bicara sama aku dengan cara yang kau tidak suka.”
Epi langsung menunduk gemetar.
Epi: “Aku… aku nggak bohong… aku beneran lihat semuanya…”
Fandi: “Baik. Jangan buat aku meragukanmu.”
Ia keluar tanpa menunggu jawaban.
Kei sudah berdiri bersandar di mobil, sambil menghisap permen mint.
Alfin memeriksa senjata kecil di pinggang, lalu mendongak saat Fandi keluar.
Kei: “Gimana? Dia ngomong?”
Fandi: “Lebih dari kemarin. Tapi masih ada kosong.”
Alfin: “Kosong gimana?”
Fandi: “Dia masih nahan sesuatu. Entah karena takut… atau karena dia pikir itu nggak penting.”
Kei bersiul pendek.
Kei: “Dia aja udah gemeter lihat lo. Lo mau apalagi dari gadis kurus kayak gitu?”
Fandi: “Kebenaran.”
Alfin menyeringai.
Alfin: “Aah… klasik Dirgantara.”
Fandi tidak menanggapi.
Ia membuka tablet, menunjukkan peta lokasi pembunuhan Hans.
Fandi: “Kita cek spot ini dulu. Mereka pasti ninggalin sesuatu. Panik selalu meninggalkan jejak.”
Kei mengangguk cepat.
Kei: “Anak buah sudah siap di titik dua dan tiga. Mereka mantau dari jarak aman. Kalau ada gerakan mencurigakan—”
Suara pesan masuk memotong.
Alfin membaca cepat.
Alfin: “Laporan dari tim dua: ada dua mobil hitam yang sejak subuh muter-muter dekat lokasi.”
Fandi tersenyum miring—senyum berbahaya.
Fandi: “Mereka lebih cepat dari perkiraan.”
Kei: “Mungkin mereka juga cari saksi.”
Fandi: “Ya. Dan itu berarti Epi benar-benar ancaman bagi mereka.”
Fandi memberi kode.
Empat pasukan langsung naik mobil.
Fandi: “Kita bergerak.”
Alfin menepuk dashboard mobil.
Alfin: “Hari yang bagus buat berburu.”
Kei menyeringai.
Kei: “Dan hari yang buruk buat Mahawira.”
Fandi memasuki mobil, suara pintu menutup terdengar berat.
Fandi: “Kalau Epi tidak bohong, kita akan tahu hari ini.”
Mobil-mobil elit hitam itu meluncur keluar halaman.
Tenang. Teratur. Mematikan.