NovelToon NovelToon
EMPRESS ELARA (Transmigrasi Kedalam Tubuh Permaisuri Lemah)

EMPRESS ELARA (Transmigrasi Kedalam Tubuh Permaisuri Lemah)

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno / Masuk ke dalam novel / Mengubah Takdir
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Senja Bulan

Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12, Kaen ku terkurung

Pagi itu langit tampak abu-abu, sisa hujan semalam masih menggantung di udara.

Kabut tipis menutupi taman istana, membuat suasana seolah bernafas pelan di bawah dinginnya udara.

Elara berjalan di samping Kaisar Kaelith menuju gudang senjata utama.

Tak ada kata-kata yang keluar di antara mereka, hanya suara langkah sepatu di lantai batu dan desir angin yang memecah keheningan.

Para pelayan dan penjaga menunduk, menahan napas melihat keduanya berjalan berdampingan pemandangan langka yang membuat suasana terasa menegangkan.

“Tempat ini seharusnya dijaga lebih ketat,” kata Elara datar, matanya menyapu deretan penjaga di depan pintu besi besar.

“Sudah,” jawab Kaelith tenang. “Tapi jika benar ada yang menembusnya, berarti ada pengkhianat di antara mereka.”

Elara berhenti, menatap gerbang besi itu dalam diam.

“Kalau begitu, pengkhianat itu pasti seseorang yang memiliki akses langsung ke perintahmu.”

Kaelith melirik sekilas.

“Kau menuduh penjagaku?”

“Aku menuduh siapa pun yang punya tangan kotor,” balas Elara dingin. “Termasuk mungkin… tangan yang berkuasa.”

Kaelith menatapnya lama. Bibirnya melengkung tipis.

“Kau benar-benar tak tahu takut.”

“Takut hanya memperlambatku,” jawabnya tanpa ekspresi.

Mereka memasuki gudang senjata yang sunyi dan berbau besi tua.

Lampu obor berkedip, memantulkan bayangan panjang di dinding batu.

Di antara rak berisi senjata, satu peti besar terlihat sedikit terbuka.

Elara mendekat perlahan.

Kaen yang mengikuti dari jauh menegakkan tubuh, siap jika sesuatu terjadi.

Ia membuka peti itu dengan hati-hati di dalamnya bukan pedang, melainkan gulungan kertas dengan cap lilin bergambar ular hitam.

“Simbol ini…” gumam Elara, jemarinya menyentuh tepi gulungan. “Kelompok Ular Hitam. Mereka bergerak lebih cepat dari dugaan.”

Kaelith mendekat, mengambil surat itu dan membukanya.

Matanya menyipit membaca baris-baris rencana yang ditulis rapi tentang pengiriman senjata, sabotase perayaan, dan seseorang dari dalam istana yang akan membuka jalan.

“Ini bukti,” katanya pelan.

“Atau jebakan,” balas Elara cepat. “Tinta ini masih basah. Artinya seseorang baru saja menaruhnya di sini.”

Kaelith menatapnya curiga.

“Bagaimana kau tahu?”

“Aku mengenali aroma tinta baru,” jawab Elara santai. “Dan lumpur di ujung peti ini ,bukan dari halaman istana. Bau tanahnya berbeda. Ini dari utara.”

Kaelith menatapnya lama.

“Kau mempelajari lumpur sekarang?”

Elara menatap balik tanpa gentar.

“Aku mempelajari cara bertahan hidup.”

Keheningan jatuh di antara mereka.

Tatapan Kaelith berubah, bukan lagi dingin melainkan berisi rasa ingin tahu yang tak ia tunjukkan sebelumnya.

“Kau bukan wanita yang sama seperti dulu,” katanya pelan.

“Yang dulu terlalu mudah mati,” jawab Elara datar.

Ia melangkah menjauh, tapi Kaelith menahan langkahnya.

“Apa yang kau inginkan dari semua ini?”

“Kebenaran,” jawabnya singkat. “Dan kebebasan untuk bertindak. Jika aku menemukan pengkhianat itu, aku tak ingin ada tangan lain ikut campur.”

“Dan jika kau salah menuduh?”

“Aku tidak pernah salah membaca manusia,” balas Elara pelan. “Cukup lama hidup di antara kebohongan membuatku tahu bau pengkhianatan.”

Kaelith menatapnya, menimbang setiap kata.

Lalu ia berkata, lebih pelan dari sebelumnya,

“Baik. Tapi jika kau menyentuh hal yang bukan wilayahmu—”

“—kau akan menghukumku?” potong Elara dingin. “Silakan. Tapi pastikan kau punya cukup alasan untuk itu.”

Senyum samar muncul di sudut bibir Kaisar.

“Kau berbahaya, Elara.”

“Aku tahu.”

Sore harinya, Elara berdiri di balkon kamarnya, memandang taman yang basah oleh sisa hujan.

Kaen melapor dari balik pintu.

“Kami mengikuti jejak yang Anda perintahkan, Permaisuri. Seseorang dari dapur istana keluar diam-diam semalam dan menuju sisi barat.”

Elara menoleh sedikit.

“Tangkap. Hidup-hidup.”

“Dan jika dia melawan?”

“Pastikan dia bisa bicara sebelum kau berhenti memukulnya.”

Kaen menunduk.

“Baik, Yang Mulia.”

Ketika Kaen pergi, Elara menatap langit yang mulai merah senja.

Suara tawa para dayang di kejauhan terdengar samar seolah dunia di sekitarnya masih berjalan normal, padahal badai mulai terbentuk di dalam istana.

Ia berbisik pelan,

“Semakin banyak yang aku buka, semakin busuk semuanya terlihat.”

Malamnya, Kaisar berdiri di depan jendela ruang kerjanya.

Cahaya bulan menyoroti wajahnya yang tegang.

Ia menatap tangan kanannya yang masih menggenggam surat dari gudang tadi pagi.

“Elara…” gumamnya lirih. “Apa sebenarnya yang kau sembunyikan?”

Ia tidak tahu kenapa pikirannya terus kembali pada wanita itu.

Mungkin karena keberaniannya.

Atau mungkin karena matanya mata yang tidak takut menatap siapa pun, termasuk dirinya.

Dan jauh di sisi timur istana, Elara berdiri di jendela kamarnya yang terbuka, memandang langit yang sama.

Wajahnya tenang, tapi di balik ketenangan itu, pikirannya berputar cepat dan tajam.

Ia tahu, semakin dalam ia melangkah, semakin besar kemungkinan rahasianya terbongkar.

Namun satu hal pasti:

sebelum itu terjadi, ia akan memastikan siapa pun yang mengancam istana ini berakhir lebih dulu

dengan tangannya sendiri.

Fajar baru saja menyentuh atap istana ketika Elara terbangun.

Udara masih lembap, dan embun menempel di dedaunan yang mengintip dari balik jendela.

Ia belum tidur semalaman, memandangi laporan yang Kaen tinggalkan di mejanya.

Tulisannya rapi, tapi kalimat terakhir membuat jantung Elara berhenti sejenak:

“Tersangka yang keluar malam itu bukan pelayan dapur… melainkan pengawal dari pasukan dalam. Namanya Kaen Vare.”

Tangannya mengencang memegang kertas itu.

Rasanya mustahil.

Kaen adalah orang pertama yang percaya padanya sejak ia “berubah”.

Orang yang tahu rahasia yang tak boleh diucapkan yang tahu dirinya bukan lagi wanita yang dulu.

“Tidak mungkin…” gumamnya pelan.

Matanya memantulkan cahaya pagi yang dingin. “Tidak mungkin dia mengkhianati aku.”

Sore itu, istana sepi.

Kaelith memerintahkan semua pasukan berkumpul di pelataran barat untuk latihan mendadak.

Elara tahu, itu bukan latihan itu penyelidikan yang disamarkan.

Ia melangkah menuju aula belakang, tempat para pengawal diperiksa satu per satu.

Ketika sampai di sana, ia melihat Kaelith berdiri di tengah aula, mengenakan pakaian hitam sederhana tanpa mahkota.

Wajahnya tenang, tapi tajam.

Di hadapan mereka, Kaen berlutut, kedua tangannya terikat.

Wajahnya kotor, tapi matanya tetap tajam seperti biasa.

“Kau keluar dari istana tanpa izin,” suara Kaelith dingin. “Dan jejakmu ditemukan di dekat gudang senjata.”

Kaen menunduk.

“Aku hanya mengikuti perintah Permaisuri,” katanya tegas.

Semua mata langsung beralih pada Elara.

Ruangan mendadak hening, seolah udara berhenti bergerak.

Elara melangkah maju pelan, lalu berhenti di depan Kaen.

“Kau bicara apa?” tanyanya datar.

Kaen menatapnya, ada sesuatu yang bergetar di sorot matanya antara penyesalan dan kesetiaan.

“Aku tidak bisa menjelaskan, Yang Mulia. Tapi aku melakukan itu untuk melindungi Anda.”

“Dengan mencuri peta istana?” sela salah satu penjaga. “Kau ingin menjualnya ke utara?”

Kaen menggeleng cepat.

“Tidak! Aku hanya… menemukan surat yang akan ditanamkan di gudang. Aku ingin mengambilnya dulu sebelum mereka menuduh Anda”

“Cukup.”

Suara Elara terdengar dingin tapi bergetar halus.

Kaen terdiam.

Ia tahu, nada itu bukan amarah. Itu luka.

Kaelith menatap Elara lama.

“Jika itu benar, maka dia melakukannya tanpa izinmu. Tapi jika tidak…”

Ia mendekat selangkah, menatap mata Elara lurus.

“Berarti kau menutupinya.”

“Aku tidak menutupi siapa pun,” jawab Elara pelan, namun matanya mulai berkilat. “Tapi aku juga tidak akan membiarkan seseorang yang telah menyelamatkanku dihukum tanpa bukti.”

“Kau membela pengawalmu di hadapan tahta?”

“Aku membela kebenaran, bukan posisi,” balas Elara tegas.

Suasana menegang.

Tak seorang pun berani bicara.

Hanya suara langkah Kaisar ketika ia berjalan pelan mengitari Kaen.

“Kau tahu,” ucap Kaelith akhirnya, “di istana ini, kesetiaan lebih berharga daripada darah. Tapi kebohongan bahkan yang kecil bisa memenggal kepala siapa pun.”

Kaen menunduk.

“Aku siap mati, Yang Mulia. Tapi jika aku mati, setidaknya biarkan Permaisuri tahu kebenaran tentang mereka yang bekerja di dapur malam itu.”

Elara menatap cepat ke arahnya, tapi sebelum sempat bicara, penjaga sudah menarik Kaen keluar atas perintah Kaisar.

Malamnya, Elara duduk sendirian di kamarnya.

Satu lilin menyala di meja, cahayanya menari di permukaan surat-surat.

Ia membaca kembali catatan yang Kaen tulis beberapa hari lalu tentang jalur rahasia, orang-orang yang ditemui, dan pesan singkat yang kini terasa seperti permintaan terakhir:

“Jika aku tak kembali, percayalah mereka bukan hanya di luar. Mereka di dalam.”

Matanya bergetar.

Ia menutup surat itu dan berdiri, langkahnya cepat menuju ruang kerja Kaisar.

Kaelith masih di sana, berdiri di depan peta besar yang terbentang di dinding.

Ketika Elara masuk, ia tidak menoleh.

“Kau datang untuk membela dia lagi?”

“Aku datang untuk menyelamatkanmu,” jawab Elara dingin. “Jika Kaen benar, pengkhianatnya bukan dia. Tapi seseorang yang jauh lebih dekat denganmu.”

Kaelith berbalik perlahan.

Tatapan mereka bertemu.

“Kau menuduh siapa?”

“Kepala istana bagian logistik,” jawab Elara tanpa ragu. “Hanya dia yang bisa mengatur siapa yang masuk ke dapur malam itu tanpa terdeteksi. Dan dia juga yang mengirim surat pemesanan minyak senjata minggu lalu padahal gudang kita sudah penuh.”

Kaisar mendekat, matanya menajam.

“Kau yakin?”

“Aku tidak menebak, aku menghitung.”

Keduanya saling diam.

Lalu, perlahan, sesuatu di wajah Kaelith berubah bukan kemarahan, bukan ketakutan, tapi sesuatu yang lebih dalam.

Kagum.

“Kau benar-benar berbeda dari siapapun yang ku temui ” katanya pelan.

Elara menatapnya.

“Dan kau terlalu sering meremehkan orang.”

Kaelith tersenyum samar.

“Itu sebabnya kau berbahaya.”

“Aku lahir untuk jadi berbahaya,” balas Elara, lalu melangkah pergi.

Ketika pintu tertutup di belakangnya, Kaelith menatap langit malam dari jendela.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa bukan hanya marah… tapi takut kehilangan sesuatu seseorang yang bahkan belum sepenuhnya ia miliki.

Di menara penjaga, Kaen terkurung dalam sel batu.

Namun di bawah cahaya redup, bibirnya melengkung pelan.

Dari balik bebatuan di lantai, ia menyelipkan gulungan kecil berisi catatan rahasia menuju seseorang yang ia percayai tanpa syarat.

“Permaisuri…” bisiknya pelan. “Aku hanya perlu sedikit waktu. Setelah itu… aku pastikan mereka semua berlutut.”

1
Murni Dewita
👣
Senja Bulan
Ada urusan 🙏
Siti
knp thor masa gk update seminggu🤔
Siti
Kapan update nya.....🙏
Siti
Aku suka ceritanya,jarang loh seorang wanita petinju masuk dunia novel. Apalagi aku suka karakter wanita badas .
Senja Bulan: terimakasih sudah komen kk🙏
total 1 replies
Dzakwan Dzakwan
Gak sabar nih thor, gimana kelanjutan cerita nya? Update yuk sekarang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!