Langit yang berwarna biru cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung, seperti janji yang pernah terucap dengan penuh keyakinan, namun pada akhirnya berubah menjadi janji kosong yang tak pernah ditepati.
Awan hitam pekat seolah menyelimuti hati Arumni, membawa bayang-bayang kekecewaan dan kesedihan, ketika suaminya , Galih, ingkar pada janjinya sendiri. Namun perjalanan hidupnya yang tidak selalu terfokus pada masa lalu, dapat membawanya ke dalam hidup yang lebih baik.
Akankah Arumni menemukan sosok yang tepat sebagai pengganti Galih?
ikuti terus kisahnya! 😉😉
Mohon kesediaannya memberi dukungan dengan cara LIKE, KOMEN, VOTE, dan RATING ⭐⭐⭐⭐⭐ 🤗🤗 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restu Langit 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelanggan terakhir
Seperti biasa, pak Beni belum akan menutup kedainya sebelum komandan Adit datang, padahal sudah mendekati jam sepuluh malam. Pak Beni masih clingak clinguk menatap luar, berharap pelanggan setianya itu akan datang.
Arumni sudah tampak sangat lelah, maklum saja karena ia belum pernah mencicipi kerja berat, ramainya pengunjung di malam minggu membuat dirinya ingin merebahkan tubuhnya di kasur.
Krek! krek!
Suara tubuh Arumni saat ia mengulet pun terdengar temannya.
"Capek ya, Arumni?" tanya Binar.
Arumni menganguk pelan.
"Ngak papa, itu karena kamu belum terbiasa, lama-lama juga akan terbiasa. Kamu harus bersabar, karena pak Beni masih menunggu pelanggan setianya."
Tidak lama, pelanggan setia yang ditunggu pun datang. Binar berdiri untuk menyambut.
"Maaf, pak Beni. Tadi ada sedikit acara, jadi telat datang."
"Tidak masalah ndan! belum terlambat kok."
Saat itu Binar yang melayani Adit, karena sudah tidak tega melihat Arumni yang terlihat begitu lelah, ia pun membiarkan Arumni duduk di belakang sambil bersiap akan pulang.
"Arumni, tidak terlihat, kemana dia?" tanya Adit sambil menyeruput teh hangat buatan Binar.
"Ada kok, di belakang. Sepertinya dia kecapekan, soalnya hari ini lumayan ramai." kata pak Beni sambil membenahi uang dari lacinya.
Dari belakang Binar mendengar percakapan Adit dan pak Beni, sementara Arumni masih menatap layar ponsel, ada rasa ingin bicara pada Galih, namun rasa kecewa akan tindakan Galih terus membayanginya. Hati dan pikiran seringkali bertarung, antara benci dan rindu bercampur jadi satu.
"Arumni!" Binar menyikut Arumni. "Komandan itu nanyain kamu." katanya.
Arumni tidak peduli, ia tetap menatap kosong layar ponsel yang dari tadi ia geser ke atas ke bawah.
"Kamu lagi ngapain sih, Arumni? Kalau mau telpon Galih telpon aja, kenapa cuma gesar geser doang?"
Arumni hanya melirik Binar sedikit lalu mematikan layar ponselnya. "Udah waktunya pulang belum sih?" ucapnya sambil clingukan.
"Bentar lagi, itu masih ada yang makan." bisik Binar sambil menunjuk ke arah Adit.
"Heran juga ya, Binar! kenapa pak Beni rela tutup malam hanya demi menunggu komandan itu?"
"Ssstttt! jangan keras keras!"
Tidak lama, Adit pun selesai makan, lalu pak Beni memangil Binar dan Arumni karena kedai akan segera tutup. Saat Binar dan Arumni keluar, Adit masih bersandar di mobil yang terparkir di depan kedai pak Beni. Arumni mengulas senyum saat menatap Adit.
"Mau aku antar lagi?" Adit mencoba menawarkan tumpangan pada Arumni.
"Duh! gimana sih, ini komandan? kan aku yang jalan kaki kenapa juga malah nawarinnya ke Arumni? " desis Binar dalam hati.
"Terimakasih, mas! Tapi aku bawa motor!" kata Arumni sambil naik ke motornya. "Ayo Binar, aku antar kamu dulu."
Padahal Binar sedang berharap Adit akan mengantarnya, "Iya, Arumni!" ucapnya sambil melirik Adit.
Adit tersenyum. "Hati-hati, ya?" katanya sambil melambaikan tangan.
Mereka pun berlalu.
**
Di sisi lain, Galih sedang gelisah tak dapat tidur, di jam tengah malam ia masih duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel, berharap Arumni akan menghubungi. Galih terus memikirkan Àrumni, Mita, istri keduanya itu cukup mengerti.
"Mas, kamu ngak telpon mbak Arumni?" tanya Mita sambil duduk menghadap Galih.
Galih hanya menatap Mita dengan pandangan sayu. Menaruh ponsel ke meja kemudian mengambilnya kembali.
Mita mengambil ponsel dari tangan Galih, ia tahu suaminya sudah pasti gelisah jika belum mendengar kabar Arumni. "Jam segini, mbak Arumni pasti baru sampai di rumah, kan?" ucapnya sambil mencari nama Arumni dalam daftar kontaknya. "Bicaralah, mbak Arumni pasti juga sedang menunggu." Mita tersenyum sambil memberikan ponsel Galih yang sudah terhubung dengan Arumni.
Galih pun pasrah, dari tadi Galih memang ingin menghubungi Arumni, hanya saja ada sedikit keraguan, takut Arumni akan mengabaikan.
Pangilan sudah terlanjur terhubung, Galih terpaksa harus bicara pada Arumni. Sudut bibir Mita melengkung membentuk bulan sabit, saat menatap wajah Galih terlihat sumringah.
"Arumni, suara mu terdengar serak, kamu sakit?" ucap Galih sesaat setelah Arumni menyapa diujung telpon.
"Ngak mas. Mungkin aku kecapekan, soalnya dari sore banyak pelanggan datang."
"Ya, sudah. Kamu istirahat saja, aku juga akan tidur supaya besok tidak kesiangan."
"Iya." Lirihnya lalu segera mengakhiri panggilan.
Arumni dan Galih merasa sangat lega, saat mereka sudah saling memberi kabar. Namun sering kali bayangan Mita muncul dalam ingatan, hingga membuat hati Arumni dipenuhi kekecewaan terhadap sang suami.
**
Hari minggu adalah hari untuk pak Arif merawat motor butut kesayangan, sebenarnya mudah saja bagi pak Arif untuk mengganti motor bututnya, dengan motor baru. Namun bagi pak Arif, motor bututnya itu bukan lagi sekedar motor, karena motor bututnya seolah sudah menjadi teman seperjuangan.
Hari itu bu Susi juga ikut libur, karena sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama pak Arif. Mereka berencana akan bertamasya berdua saja. Tidak jauh-jauh, cukup di tempat wisata yang ada di Wonosobo saja, setelah pak Arif selesai membersihkan motor bututnya.
Sementara Arumni tetap menghabiskan waktu di rumah. Merasa bosan karena tidak ada yang di kerjakan, Arumni pun mencabut rumput yang tumbuh di halaman rumah.
Rrrzzz!
Tiba-tiba suara mobil berhenti tepat di hadapannya, seketika Arumni berdiri menatap sang pemilik mobil, dengan kedua tangan terbungkus sarung tangan dan tangan satu memegang pisau yang ia gunakan untuk mencongkel rumput.
"Mas komandan?" Bisiknya dengan wajah terkejut, saat sang pemilik wajah rupawan itu turun menghampirinya.
Deg!
Tiba-tiba jantung Arumni berdenyut kencang, napasnya seolah memburu, bahkan ia belum pernah merasakan hal itu sebelumnya, "apa yang terjadi pada hati ku?" Bisiknya lagi.
"Arumni, pak Arif ada?" Tanya Adit sembari melepas kaca mata hitamnya.
Arumni menghela napas lega, karena ternyata Adit hanya akan berkepentingan dengan bapak mertuanya. "Kebetulan bapak sama ibu sedang pergi." ucapnya dengan wajah tertunduk.
"Yah, sayang sekali, sepertinya aku kurang beruntung!"
Alis tebal Arumni saling bertaut, rasa penasaran mendorongnya untuk bertanya. "Memangnya ada apa, mas?"
Senyum Adit melebar, menampilkan gigi giginya yang berjajar rapi. "Sebenarnya hari ini aku tugas malam, jadi aku pikir aku akan meminta ijin pada pak Arif untuk mengajakmu pergi."
Manik hitam Arumni membulat, bibirnya terkantup rapat, bagaimana bisa Adit mengajaknya pergi? sedangkan Arumni seorang istri dari anaknya pak Arif yang pernah menjadi gurunya dulu.
"Ya sudah, kalau begitu aku pergi saja, mungkin lain waktu aku akan lebih beruntung." Sambung Adit, sambil berjalan mundur menuju mobilnya.
Bahkan bibir Arumni seolah membeku, ia membiarkan Adit pergi tanpa menanggapi ucapannya.
**
Kedatangan Adit cukup membuat hati Arumni menjadi gelisah, sejak Adit pergi meninggalkan halaman rumahnya, ia tak hentinya memikirkan. Suara dering ponselnya membuyarkan lamunan, tidak lain itu Galih sang suami tercintanya.
Arumni segera mengeser tombol hijau demi menghubungkan panggilan, ia berharap suara Galih dapat menghilangkan rasa gelisahnya.
"Arumni! siang ini kamu lagi ngapain?" Tanya Galih, tidak begitu penting.
"Aku habis mencabut rumput, mas!" jawabnya ramah, meski rasa kecewa masih saja membayanginya, namun ia tidak ingin jatuh dalam pikiran yang salah, dengan memikirkan pria berwajah rupawan tadi.
"Oh, bapak dan ibu ke mana? ibu ke pasar ngak?"
"Bapak sama ibu sedang pergi jalan-jalan, katanya mau berdua saja."
"Sebentar lagi kita juga akan berdua saja seperti bapak sama ibu. Kamu sabar dulu ya? Mita akan melahirkan minggu-minggu ini, setelah itu aku dan Mita akan segera bercerai, jadi hubungan kita akan seperti semula."
Hening!
Dalam mata tertutup, Arumni menjatuhkan butiran kristal, semudah itu Galih mengucapkan kata pisah dengan Mita, yang tidak lain adalah ibu dari anaknya sendiri. Lalu bagaimana Arumni akan menjalani hidup dengan rasa bersalahnya?
...****************...
Semoga Arumi menemukan kebahagiaan dgn pria lain.
Komandan sdh nunggu janda mu tu Arumi.
karna alasan galih sdh menikah diam diam, kan beres
malah seperti nya kau lebih berat dgn Si Mita daripada dengan Arumi