NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN DENDAM

PERNIKAHAN DENDAM

Status: tamat
Genre:CEO / Pengantin Pengganti / Dendam Kesumat / Balas Dendam / Tamat
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30

Bau obat-obatan dan antiseptik memenuhi ruangan.

Lampu putih menyorot tajam, menciptakan bayangan lembut di dinding.

Helena terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat namun tenang. Balutan perban putih melilit lengannya, tempat peluru tadi bersarang.

Selang infus menetes perlahan di sisi tempat tidur, dan monitor jantung berdetak stabil bukti bahwa ia masih hidup.

Karan berdiri di samping ranjang, masih mengenakan kemeja yang berlumur darah Helena.

Tangannya gemetar, matanya merah karena lelah dan cemas.

Dokter baru saja keluar, memberi kabar singkat sebelum menutup pintu.

“Pelurunya sudah kami keluarkan, Tuan Karan. Syukurlah tidak mengenai tulang. Tapi dia butuh istirahat total. Luka emosionalnya mungkin lebih berat dari fisiknya.”

Pintu menutup, meninggalkan Karan sendirian bersama istrinya.

Helena membuka mata perlahan, pandangannya kabur, namun begitu melihat sosok Karan berdiri di samping ranjang, ia tersenyum samar.

“Mas…” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Karan langsung menggenggam tangannya erat, suaranya parau menahan emosi.

“Hel, kamu jangan bicara dulu. Istirahat saja.”

“Aku nggak apa-apa, asal kamu selamat.”

Karan menggeleng, matanya menatapnya tajam tapi penuh luka.

“Kenapa kamu melindungi aku?” suaranya bergetar, hampir seperti orang marah, tapi sebenarnya ketakutan.

Helena mengerjap pelan, mencoba mengatur napas.

“Karena kamu suamiku,” jawabnya lirih.

“Karena aku tidak mau kehilanganmu lagi, Mas…”

Karan menunduk, menekan keningnya ke tangan Helena yang dingin.

“Tapi kamu bisa mati, Hel. Kamu bisa mati di depan mataku lagi…”

Helena tersenyum tipis, mengelus rambut Karan dengan tangan yang lemah.

“Lebih baik aku yang terluka, daripada melihat kamu yang jatuh lagi seperti dulu.”

Air mata Karan akhirnya jatuh, menetes di tangan Helena.

Ia menarik kursi dan duduk di tepi ranjang, menatap wajah istrinya lama, seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa semua ini nyata.

“Hel, kamu tahu nggak, waktu kamu tertembak tadi aku pikir dunia berhenti,” ucapnya pelan.

“Aku pikir aku akan kehilanganmu lagi, dan kali ini selamanya.”

Helena menatap wajah suaminya yang sedang mengajaknya bicara.

“Tapi aku masih di sini, Mas. Aku masih di sini karena cinta yang kamu tanam di hatiku lebih kuat dari semua kebohongan yang mereka buat.”

Karan memejamkan mata, tangannya

menggenggam tangan Helena lebih erat lagi.

“Jangan bicara seperti itu. Aku janji mulai sekarang, aku yang akan melindungimu. Aku yang akan berdiri di depanmu, apa pun yang terjadi.”

Helena tersenyum, bibirnya bergetar.

“Janji itu jangan pernah kamu langgar, ya, Mas.”

Karan mengangguk pelan, lalu menunduk dan mencium punggung tangan Helena dengan lembut.

“Aku bersumpah, Hel. Tidak akan ada satu pun yang bisa menyakitimu lagi. Tidak Firdaus, tidak musuh mana pun.”

Helena menutup mata perlahan, membiarkan air mata hangat mengalir di pipinya.

Karan masih duduk di sampingnya, memandangi wajah yang dulu hilang, kini kembali dalam luka dan darah, tapi tetap indah di matanya.

Di luar kamar, Dion berdiri di depan pintu, menatap ke dalam dengan ekspresi tegang.

Ia menatap seorang polisi yang berjaga di samping pintu.

“Pastikan tidak ada satu pun yang masuk tanpa izin,” katanya pelan. “Kita belum tahu siapa yang menyerang rumah tadi.”

Langit di luar jendela rumah sakit tampak kelabu, diterangi lampu kota yang berpendar redup.

Di dalam kamar perawatan, suasana heninh dan hanya suara beep lembut dari mesin monitor yang masih terhubung ke tubuh Helena.

Karan berdiri di sisi ranjang, menatap istrinya yang mulai tampak tenang.

Ia mengusap pelan rambut Helena, menatapnya dengan penuh sayang sekaligus kekhawatiran.

“Aku keluar sebentar, Hel. Aku harus bicara dengan dokter soal hasil rontgenmu,” ucapnya lembut.

“Iya, Mas. Aku tunggu di sini.”

Karan mencium keningnya singkat, lalu berbalik.

Langkahnya terdengar menjauh, hingga suara pintu klik menutup lembut di belakangnya.

Sekejap, ruangan itu menjadi sunyi, namun detik berikutnya, ekspresi Helena berubah.

Dengan tangan kiri yang masih terbalut perban, ia perlahan meraih sesuatu dari bawah bantal.

sebuah ponsel kecil berwarna hitam, berbeda dari milik pribadinya.

Layar menyala, menampilkan nomor tanpa nama.

Helena menekan satu tombol cepat. Sambungan langsung tersambung tanpa nada tunggu.

Suaranya berubah—tidak lagi lembut seperti kepada Karan, melainkan tenang dan profesional.

“Target selamat,” ucapnya singkat.

Suara di seberang terdengar berat dan berwibawa, mungkin seorang pria.

“Pastikan Tuan Karan tidak terluka. Perintahnya tetap sama. Jangan biarkan siapa pun mendekat padanya sampai semuanya bersih.”

Helena menatap lurus ke depan, matanya kosong namun tegas.

“Baik. Saya mengerti.”

Ia menutup telepon, menatap ponsel itu lama.

Napasnya bergetar, antara tangis dan ketegasan.

Dalam bisikan lirih, ia berkata pada dirinya sendiri,

“Maaf, Mas. Aku harus melindungimu, meskipun kamu tidak akan pernah tahu siapa aku sebenarnya.”

Helena kemudian menyembunyikan kembali ponsel hitam itu ke dalam bantal, lalu menutup matanya pura-pura tidur, tepat saat langkah Karan terdengar kembali dari luar.

Pintu terbuka pelan.

Karan masuk membawa map hasil pemeriksaan dan tersenyum lega.

“Hel, hasilnya bagus. Kamu akan cepat pulih,” ucapnya sambil menatap wajah istrinya yang tampak damai.

Helena tersenyum kecil, pura-pura baru saja terbangun.

“Syukurlah, Mas. Aku cuma mau cepat pulang…”

Karan mendekat, duduk di tepi ranjang, menggenggam tangannya lagi tanpa tahu

bahwa tangan yang sama barusan melaporkan sesuatu ke pihak yang selaa ini melindungi Karan.

Cahaya redup dari lampu baca di sudut ruangan menciptakan bayangan lembut di dinding.

Helena berbaring tenang di ranjang, selimut menutupi hingga ke dadanya. Napasnya perlahan, stabil.

Karan duduk di kursi di samping tempat tidur, menatap wajah istrinya yang tampak damai.

Ia mengusap rambut Helena pelan.

“Tidurlah, Hel. Dokter bilang kamu butuh istirahat penuh malam ini,” bisiknya lembut.

Helena mengangguk kecil, matanya perlahan tertutup.

“Terima kasih, Mas…”

Tak lama kemudian, napasnya terdengar dalam dan berirama tanda ia sudah terlelap.

Karan tersenyum samar, namun matanya menatap sesuatu di bawah bantal Helena.

Ada sudut kecil benda hitam yang menyembul sedikit dari balik kain putih.

Rasa penasaran menyalip kewaspadaan.

Ia menunduk perlahan, memastikan istrinya benar-benar tidur, lalu dengan hati-hati menarik benda itu keluar.

“Apa ini…” gumamnya pelan.

Ia menatap ke arah Helena yang masih terlelap, lalu menekan tombol daya.

Layar menyala tanpa sandi.

Begitu terbuka, Karan langsung terpaku.

Puluhan folder terpampang dan semuanya berlabel tanggal, jam, dan tempat.

Dengan tangan bergetar, ia membuka satu folder tentang dirinya.

Ada yang saat ia di kantor, saat ia keluar rumah, saat ia menjemput Helena di depan rumah sakit, bahkan saat ia sedang berbicara dengan Dion.

Setiap foto diberi keterangan singkat:

“Subjek aman.”

“Target bergerak ke arah barat.”

“Tuan Karan tidak curiga.”

Wajah Karan memucat. Jantungnya berdentum keras di dada.

Tangannya gemetar, menekan satu file video.

Rekaman muncul wajah Helena, berbicara pelan sambil memegang ponsel yang sama.

“Target selamat. Pastikan Tuan Karan tidak terluka. Perintah diterima.”

Ia menatap wajah istrinya yang tidur lelap di hadapannya.

Wajah yang selama ini ia perjuangkan untuk ditemukan kembali.

Namun kini, wajah itu terasa asing.Ponsel di tangannya hampir terlepas saat ia berbisik lirih, suaranya serak, nyaris tak keluar:

"S-siapa kamu sebenarnya…?”

1
Freya
semangat berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!