NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:686
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 28 - Menjagamu

Tyler

Keesokan harinya, aku datang lebih pagi dari biasanya. Kupikir, kalau aku tiba sebelum Vee, aku bisa sedikit menata pikiranku. Aku sudah memantapkan hati aku akan menjaganya—atau mungkin, menjauhinya—seperti yang Thomas minta, atau peringatkan.

Seharusnya tidak sulit. Aku pernah hidup seperti ini: teratur, dingin, profesional. Tapi semua itu sebelum dia datang dan membalikkan caraku memandang dunia.

Studio pagi itu masih setengah ramai. Cahaya lampu set memantul di lantai yang mengilap, suara orang-orang yang sibuk memasang peralatan bercampur dengan dengungan mesin pendingin ruangan. Aku menyalami beberapa crew, mencoba terlihat biasa.

Saat itu Vee lewat di depanku, mengenakan headset dan clipboard di tangan, rambutnya diikat rapi seperti biasanya saat bekerja. Ia menatapku sekilas—senyum kecil, sopan, datar. Senyum yang dulu selalu membuatku hangat, kini terasa asing. Dan aku tahu, dia juga sudah mengenakan topengnya.

Jadi aku kenakan punyaku. Topeng lama yang sudah kukenal dengan baik: Profesor Hill yang tenang, profesional, dan menjaga jarak dari semua orang. Termasuk dia.

Dari tempatku berdiri di pinggir set, aku memperhatikan. Vee menyalakan monitor, mengecek angle kamera, menatap layar dengan fokus penuh.

“Claire Bastien sudah selesai make-up?” suaranya menggema, tegas tapi lembut, suara yang dulu hanya memanggil namaku dengan nada seperti itu, sekarang hanya bagian dari instruksi kerja.

Derek berlari kecil ke ruang make-up dan kembali membawa Stella yang sudah berbusana lengkap. Vee menatapnya sekilas, mengangguk puas. Lalu matanya beralih, menatap mataku.

Cuma sedetik, tapi waktu seolah berhenti.

Aku sempat berharap dia akan tersenyum lagi—bukan senyum sopan seperti tadi, tapi senyum kecil yang biasa muncul saat dia gugup, atau saat aku memujinya karena satu take yang sempurna. Tapi tidak, dia berpaling lebih dulu, seolah pandanganku terlalu berat untuk ditahan.

Mungkin aku seharusnya lega. Mungkin ini memang bagian dari “menjaga jarak.” Tapi tidak ada yang menyiapkanku untuk rasa kehilangan ini, kehilangan seseorang yang masih ada di hadapanmu.

Sepanjang hari aku hanya berdiri di pinggir set. Mengawasi, memberi isyarat kecil jika dibutuhkan, tapi tidak benar-benar terlibat. Hanya bayangan di balik layar, seperti figuran dalam kisah yang dulu aku tulis bersama seseorang, tapi kini aku tonton dari jauh.

Dan setiap kali ia lewat di depanku, setiap kali suaranya terdengar lewat headset, semua kenangan itu datang lagi tanpa permisi, ciuman di ruanganku, tawa kami di Spectrum, makan malam di rumahku, aroma rambutnya di bahuku saat ia tertidur.

Sekarang semua itu terasa seperti mimpi yang kabur, dan aku takut suatu hari nanti, aku bahkan akan lupa rasanya.

Hari berjalan panjang, senyap. Vee tak lagi menoleh ke arahku, bahkan untuk hal-hal kecil. Aku tahu itu bukan kebetulan. Dia menjaga jarak. Dan aku… membiarkannya.

Di penghujung hari, aku sedang memeriksa catatan kamera bersama Chloe saat suara langkahnya terdengar di belakangku. Langkah yang tegas, tapi pelan, seolah menahan sesuatu. Aku menoleh.

Vee berdiri di sana, clipboard di tangan, ekspresinya sulit kubaca. Ada sesuatu di matanya, kelelahan, tapi juga keputusan.

“Kita perlu bicara,” katanya. Hanya itu.

Suara yang tenang, tapi cukup untuk membuat jantungku berhenti berdetak sejenak. Aku menelan ludah, lalu mengangguk. “Baiklah.”

Dan untuk pertama kalinya hari itu, aku benar-benar takut, bukan karena rumor, bukan karena Thomas, tapi karena aku tahu, apapun yang akan ia katakan setelah ini akan mengubah segalanya.

\~\~\~

Vee

Aku menariknya ke ruang kecil di lantai dua, ruang kosong di sebelah ruang editing yang belum digunakan siapa pun. Udara di sana lebih dingin dari luar, dan aroma cat dinding yang belum lama mengering membuat napasku terasa berat.

Langkah Tyler terhenti beberapa meter di belakangku. Aku bisa mendengar deru napasnya, pelan tapi berat, seperti seseorang yang tahu percakapan ini tidak akan mudah. Aku berdiri memunggunginya sejenak, mencoba mengatur napas, menenangkan gemuruh di dadaku. Satu bagian diriku ingin tenang, rasional, seperti sutradara yang selalu ia puji karena pikirannya jernih.

Tapi bagian lain… bagian yang terluka karena jarak yang tiba-tiba ia ciptakan, sudah terlalu lama menahan diri.

Aku berbalik perlahan, menatapnya. Ia berdiri di ambang pintu, diam, matanya menatap lantai seolah takut bertemu pandanganku. Dan entah kenapa, justru sikap itu yang membuat dadaku pecah.

“Kenapa?” suaraku pelan, tapi tajam. “Kenapa kamu begitu menyebalkan hari ini?” Kata-kata itu keluar sebelum sempat kutahan, tapi nadanya goyah—setengah marah, setengah gemetar.

Tyler menatapku akhirnya. “Vee…” suaranya nyaris berbisik, rendah dan berat, seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang tak bisa diambil kembali.

Dan saat mendengar suaranya, amarahku perlahan berubah bentuk. Rasanya bukan lagi marah, lebih seperti sedih yang terlalu dalam untuk bisa diucapkan.

Aku menatapnya. Ia terlihat begitu… lelah. Matanya merah, tapi bukan karena marah. Seperti seseorang yang sudah memutuskan sesuatu yang menyakitkan, jauh sebelum aku mengetahuinya. Aku melangkah mendekat, hampir bisa merasakan panas tubuhnya di udara di antara kami.

“Derek bilang padaku, ada rumor tentang kita,” kataku. “Tentang hubungan kita. Di tim produksi.”

Tyler mengangkat wajahnya, menatapku. Sekilas kaget, tapi tak lama, seperti seseorang yang sudah mendengar kabar buruk yang sama dua kali.

“Thomas juga tahu,” katanya akhirnya. “Dia memintaku… untuk berhenti. Untuk melindungimu.”

“Melindungiku?” aku tertawa pendek, getir. “Dengan bersikap seperti orang asing?” Nada suaraku bergetar, marah dan sakit berbaur jadi satu. “Tyler, aku tidak peduli dengan rumor itu. Aku peduli kamu bersikap seperti aku tidak pernah berarti apa pun.”

Ia menutup matanya sejenak, seolah sedang berjuang menahan sesuatu yang tidak bisa dikeluarkan. Saat ia membukanya lagi, matanya penuh rasa bersalah.

“Vee…” katanya pelan. “Aku sayang kamu. Tuhan tahu betapa aku sayang kamu. Tapi setiap kali aku melihatmu di set, aku sadar, aku bisa menghancurkanmu dengan satu langkah yang salah.”

Aku berdiri mematung. Suaranya pecah. Matanya berair tapi ia tidak menangis. Dan aku tahu, kalimat itu bukan kebohongan.

Aku mendekat lagi. Jarak kami tinggal beberapa sentimeter. Aku bisa mencium aroma kayu dari parfumnya, aroma yang sama seperti malam aku tertidur di rumahnya. Tanganku terangkat, menyentuh pipinya. Kulitnya dingin.

“Lihat aku,” bisikku. “Kalau kamu benar-benar ingin melindungiku… maka jujurlah. Jangan bersembunyi di balik alasan.”

Matanya bertemu mataku, dan di sana, ada cinta. Begitu besar, begitu jujur, tapi juga begitu putus asa.

“Aku mencintaimu, Vee,” katanya akhirnya, suaranya parau. “Dan justru karena itu aku harus berhenti.”

Kata-kata itu memotong udara di antara kami. Aku merasakan dadaku nyeri, seperti ada sesuatu yang robek dari dalam.

Ia mendekat, tangannya bergetar saat menyentuh pipiku. Lalu perlahan, ia menciumku, bukan seperti sebelumnya, bukan dengan keinginan, tapi dengan kesedihan. Ciuman yang pelan, dalam, dan putus asa. Ciuman yang terasa seperti perpisahan.

Air mataku jatuh di pipinya, tapi ia tidak mundur. Aku menggenggam bajunya, ingin menahannya, ingin menghentikan waktu, tapi ia justru melepaskan diri perlahan.

Ia menempelkan dahinya di dahiku, matanya terpejam. “Seharusnya aku melindungimu dari ini sejak awal,” bisiknya. “Tapi aku gagal. Maafkan aku.”

Aku tidak menjawab. Tidak bisa. Tangisku sudah tidak bersuara lagi, hanya gemetar kecil di bibirku.

Ia menyentuh rambutku sekali lagi, dengan gerakan lembut seperti menghafalkan setiap helai rambutku. “Fokuslah pada film ini, Vee. Aku akan menjauh. Aku janji.” Ia menarik napas panjang. “Dan kalau dunia akhirnya berhenti menatap kita… aku akan datang lagi.”

Aku membuka mata, dan kali ini ia benar-benar pergi. Pintu tertutup perlahan di belakangnya, meninggalkan suara kecil yang entah kenapa lebih keras dari teriakan apa pun.

Aku berdiri di sana cukup lama, sendirian, di tengah ruang kosong itu. Masih bisa mencium sisa aroma parfumnya di udara. Masih bisa merasakan bekas hangat di bibirku.

Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar paham arti kehilangan, bukan ketika seseorang pergi, tapi ketika seseorang tetap hidup di dalammu, dan kamu harus belajar melanjutkan hidup seolah dia tidak pernah ada.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!