Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 13
“Thariq Alamsyah? Loh_ kau datang bersama dia, Nak?” Wanita berwajah ramah, senyum hangat menular itu terlihat kebingungan, sampai melerai pelukan Sahira.
“Bunda kenal sama Bang Thariq?” pertanyaan dibalas tanya, Sahira sampai mundur satu langkah memindai ibu pantai dan calon suaminya.
“Thariq Alamsyah ini, donatur terbesar dan tetap di panti asuhan kita.” Selina menarik lembut lengan Sahira untuk dia genggam. “Kalian datang bersama, atau kebetulan hanya bertemu di depan rumah?”
“Enggak_ eh … iya Bun, kami satu mobil. Dia yang Hira maksud sewaktu kemarin kita mengobrol di telepon.” Sahira menunduk malu-malu.
Bertambah terkejut saja Selina, terlebih dia mengenal Thariq yang sudah beristri.
“Tante.” Thariq mengulurkan tangan, yang disambut ragu-ragu.
“Kita bicarakan di dalam saja!” usul suami Selina, menarik lengan istrinya yang masih mencoba mencerna dan menerka.
.
.
Saat empat sosok orang dewasa sudah duduk di sofa ruang tamu, ketegangan begitu terasa.
“Saya kesini ingin meminta restu sekaligus melamar Sahira secara resmi, Tante, Om.” Thariq menatap serius lalu mengangguk pelan.
“Kau sudah beristri kan Arimbi, Thariq! Mengapa ingin menikahi Sahira? Kalian tak lagi berbuat hal melanggar moral dan Hira tidak hamil kan?” pertanyaan lebih ke tuduhan itu terlontar dari bibir Selina yang duduk di sofa tunggal.
Sahira menatap takut sosok yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri, lalu memandang Thariq, sorotnya sendu dengan pelupuk digenangi air mata.
Thariq membalas tatapan sayu Sahira dengan sorot mata tegas, menguatkan sekaligus meyakinkan kalau semuanya bisa terlewati dengan baik. “Saat ini tidak Tante, tapi dua tahun yang lalu iya.”
“Tolong ceritakan!” titah Kafka tegas, suami Selina.
Tidak ada raut gugup apalagi takut, Thariq benar-benar definisi pria sejati, berani berbuat dan tanpa dipaksa ia langsung bertanggung jawab. Menceritakan bagaimana dulu dirinya dijebak entah oleh siapa, meminum jus yang sudah dicampur pil perangsang, berakhir menodai Sahira.
“Mengapa kau tak pernah cerita, Nak? Aku ini Bunda mu, meskipun tak mengandung dan melahirkan mu, Sahira! Ya Tuhan, tak bisa Bunda bayangkan bagaimana kau melalui hari-hari panjang dengan kenangan menyakitkan itu.” Selina pindah tempat duduk, memeluk erat bahu Sahira, ia menangis pilu.
“Maafkan saya, Tante. Ini semua murni kesalahan saya.” Thariq menunduk dalam, sementara Kafka menarik napas berat.
“Kau yakin ingin menikahi Sahira? Sedangkan dirimu telah beristri. Apa ya iya bisa berlaku adil? Kalau berat sebelah, kasihan nanti ada yang terluka diantara mereka!” cecar Selina.
“Saya takkan berjanji, tapi langsung membuktikannya.”
“Thariq, bila niatmu menikahi Sahira hanya dikarenakan rasa bersalah dan cuma sebatas tanggung jawab, lebih baik urungkan saja! Pernikahan dilandasi cinta pun banyak mengalami kegagalan, apalagi ini yang pondasinya begitu rapuh.” Selina membenahi duduknya, menghadap Thariq. Tangannya tetap menggenggam jemari Sahira.
Thariq menatap tegas pada netra Selina, sedikitpun tak ada keraguan. “Entah itu cinta ataupun bukan, yang jelas saya memiliki perasaan untuk Sahira, ingin melindunginya, membuatnya nyaman, memastikannya aman.”
Mendengar jawaban tegas, menyakinkan itu, Selina dan juga Kafka terlihat pasrah.
Diam-diam Sahira melirik pria yang terlihat lebih serius daripada beberapa hari terakhir ini.
“Mau dimana diselenggarakan pernikahan itu? Apa Arimbi setuju untuk dimadu?” tanya Kafka.
Thariq pun menceritakan percakapan serius pada masa lampau setelah dirinya menodai wanita asing yang tidak lain adalah Sahira.
Baik keluarganya maupun sang mertua, dan juga Arimbi. Sudah mengetahui karena dia tidak ingin ada yang ditutupi. Mereka semua setuju serta sepakat dan akan mengizinkan Thariq menikahi wanita tersebut. Arimbi sendiri dengan tegas berucap mau dimadu.
Tak ada lagi yang bisa dikatakan apalagi dicari cela untuk melarang Thariq menikahi Sahira. Terlebih anak asuhnya mengangguk iya, kala ditanya bersedia tidak dinikahi oleh pria beristri di hadapan mereka ini.
“Perihal wali dan binti itu bagaimana, Tante, Om?” kali ini Thariq terlihat bingung, dikarenakan tidak tahu siapa orang tua kandung Sahira.
“Gunakan saja binti Pangestu. Nama keluarga Tante. Sahira sudah saya anggap anak sendiri. Dua puluh tahun lebih kami menanti kedatangan serta kabar berita tentang orang tua kandungnya, tapi sampai kini tak ada yang berkunjung.” Selina mengusap lembut lengan Sahira dalam rangkulan nya.
“Sebelum Sahira, ada juga dua orang putri yang bersama kami hingga dewasa dan menikah, mereka juga menggunakan binti Pangestu,” timpal Kafka.
“Sudah, jangan sedih! Ada Bunda, Ayah, serta saudara besar mu di panti. Kami semua keluargamu.” Ia cium lembut pipi Sahira, seraya menguatkan wanita cantik berhati lembut.
“Tak lama lagi, ada saya yang akan menemani kesendirianmu, Sahira,” sahut Thariq seperti tidak mau kalah.
Sahira memberanikan diri menatap dengan airmata membasahi pipi, bibirnya bergetar samar. “Terima kasih.”
“Kapan kalian akan menikah?”
Thariq menjawab pertanyaan Kafka. “Rencananya tiga hari lagi, syarat pernikahan kami pun sudah lengkap. Saya telah membooking kawasan ‘Taman Simalem Resort Lake Toba.’ Bila berkenan, saya ingin meminta Tante dan Om ... bersedia hadir menjadi saksi hari bahagia itu.”
“Sebelum kau meminta, kami akan memaksa untuk diikutsertakan.” Selina menyahut cepat.
"Terima kasih Tante, Om. Satu hal lagi ... apa boleh saya meminta bantuannya?"
"Apa itu?" Kafka yang menanggapi.
"Saya ingin menitipkan Sahira untuk sementara waktu. Di luar sana, bawahan papa Sigit terus mengintai. Meskipun bisa dicegah, tapi saya sedikit merasa resah. Oleh karena itu bila kalian berkenan, tinggallah di Resort sampai hari pernikahan kami dilaksanakan. Saya sudah membooking tempat itu selama satu minggu penuh, bagaimana Tan, Om?”
“Baiklah, bisa kami atur. Kau tenang saja! Om akan membantu semaksimal mungkin.” Kafka mengangguk meyakinkan.
Sebelum keluar dari villa pribadi Selina Pangestu, terlebih dahulu Sahira menumpang kamar mandi. Thariq terlihat begitu sabar menanti, ia akan menghantarkan calon istrinya ke Resort, setelahnya baru kembali ke kota lagi.
.
.
Brak!
“BODOH! TOLOL!” Sigit Wiguna membanting ipad milik asistennya. “Memantau satu orang saja tak becus! Bisa-bisanya kehilangan jejak Thariq, kapan hari berhasil dikelabui. Damar kalian anggap menantuku! Brengsek! Dasar tak berguna!!”
Wahyu menunduk dalam, mengakui ketidakbecusan nya. Beberapa hari memantau Thariq Alamsyah, hasil yang didapatkan hanya kegagalan, berujung kena makian sang atasan.
.
.
Lain halnya di resort mewah pada ketinggian di atas 1600 meter di atas permukaan laut, menyajikan pemandangan hamparan bukit hijau dan Danau Toba yang terlihat begitu mempesona, airnya berkilau tertimpa cahaya matahari.
“Sahira, sebentar lagi kita akan menikah. Sudah menjadi hak mu untuk mengetahui segala hal tentang saya, agar tidak ada kesalahpahaman dikemudian hari. Ini perihal tato bertuliskan ‘Pangestu', sebenarnya ….”
.
.
Bersambung.
Kamu bermain di mana ty???
kaya bunglon 🤓
kaya ada clue
Thoriq sebenarnya sudah tau niat awal Sahira 😃🤔