NovelToon NovelToon
Immortality Through Suffering

Immortality Through Suffering

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.

Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.

Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.


Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebulan kemudian, latihan intesn!

Waktu di puncak gunung mengalir seperti aliran air jernih di antara bebatuan, perlahan namun tak terhentikan. Hari demi hari Xu Hao menjalani rutinitas yang semakin teratur. Pagi hari dimulai dengan latihan fisik bersama Lianxue, siang diisi dengan latihan jurus atau penguatan tubuh, malam hari dihabiskan bersama Cuyo untuk mendalami teknik pernapasan dan dasar kultivasi.

Kabut pagi yang dulu terasa menggigit kini hanya menjadi hembusan sejuk yang membangunkan tubuh. Otot-otot Xu Hao yang dahulu lemah dan mudah pegal, kini mulai terbentuk garis-garis kekuatan yang samar di lengan dan kakinya. Kulitnya yang pucat sedikit berubah menjadi warna sehat akibat sinar matahari pagi dan keringat yang menetes setiap hari.

Awalnya, setiap lari memutari halaman membuat paru-parunya terbakar dan kakinya terasa seperti dipenuhi timah. Sekarang, langkahnya lebih mantap. Napasnya stabil meski membawa beban atau menarik tali pengikat.

Lengan yang dulu hanya mampu mengayunkan pedang kayu dengan kekuatan seadanya, kini bisa menahan serangan Lianxue tanpa kehilangan keseimbangan. Bahkan, otot punggungnya mulai menampakkan tonjolan halus ketika ia mengangkat pedang.

Tulang punggungnya yang dulu sedikit bungkuk akibat kebiasaan malas, kini tegap. Gerakannya lebih luwes, seakan tubuhnya mulai memahami perintah tanpa harus dipaksa.

Selain fisik, ketahanan mentalnya juga berkembang. Dulu, saat Cuyo memintanya duduk bersila selama satu jam penuh, pikirannya cepat bosan. Kini, ia bisa bertahan bahkan dua jam tanpa gelisah, fokus pada tarikan dan hembusan napas yang mengalir dari dantian bawah menuju seluruh tubuh.

Lianxue tidak lagi harus selalu mengoreksi posturnya saat latihan pedang. Ia mulai mengerti kapan harus mengerahkan kekuatan penuh, kapan harus menahan, dan kapan mengalirkan tenaga dari putaran pinggang. Gerakannya belum sempurna, namun setidaknya ia tidak lagi tampak seperti orang yang memegang pedang untuk pertama kalinya.

Lianxue yang awalnya sering bersikap dingin kini kadang menampakkan senyum tipis saat Xu Hao berhasil melewati latihan berat. Ia tetap tegas, namun dalam nada suaranya mulai ada sedikit pengakuan atas kerja keras sang adik junior.

Cuyo, yang setiap malam membimbingnya, masih memberi nasihat keras, namun kini lebih sering menyelipkan cerita-cerita tentang pengalaman masa mudanya. Ia bercerita tentang perjalanan ke berbagai lembah terpencil untuk mencari ramuan, atau duel-duel melawan sesama kultivator demi mempertahankan kehormatan sekte. Cerita-cerita itu membuat Xu Hao semakin bertekad memperbaiki dirinya.

Meski fisiknya meningkat pesat, kultivasi Xu Hao tidak melonjak secepat harapannya. Dantian bawahnya mulai terisi Qi tipis, namun aliran di meridian masih sering tersendat. Cuyo menjelaskan bahwa tubuh Xu Hao memerlukan waktu lebih lama untuk membuka jalur energi karena kondisi dasarnya yang lemah.

Namun, ini tidak membuat Xu Hao putus asa. Ia ingat kata-kata Cuyo pada minggu kedua latihan, bahwa fondasi yang kuat adalah kunci untuk melangkah jauh. Jika tubuhnya sudah terbiasa dengan beban fisik, nanti setiap tetes Qi yang masuk akan mengalir lebih stabil.

Setiap pagi, Xu Hao memulai hari dengan berlari mengitari halaman rumah kayu sebanyak tiga puluh putaran. Beban batu di punggung menjadi sahabat sehari-hari, membuat punggung dan pinggangnya kuat. Setelah itu, ia melakukan serangkaian gerakan dasar pedang, mengulang hingga seribu kali tebasan.

Siang hari ia membantu Lianxue mengangkut air dari mata air di bawah lereng. Tugas ini awalnya terasa seperti hukuman, namun kini ia menyadari bahwa memanggul gentong air di bahu sambil berjalan di jalur berbatu adalah latihan keseimbangan dan kekuatan kaki yang sangat berguna.

Menjelang sore, mereka berlatih jurus-jurus pertahanan dan serangan, diiringi dengan latihan pernapasan yang disesuaikan. Napas harus stabil meski serangan datang bertubi-tubi. Sementara itu, Lianxue sesekali menyerang tiba-tiba untuk menguji konsentrasi Xu Hao.

Malam hari adalah waktu yang ditunggu-tunggu. Saat bulan menggantung di langit dan kabut tipis menutupi lembah, Cuyo datang membawa aroma teh herbal. Mereka duduk bersila di halaman, mendengarkan suara malam, lalu memulai latihan pengumpulan Qi.

Sebulan lalu, Xu Hao hanya seorang remaja yang canggung, merasa asing dengan dunia kultivasi. Kini, meski masih di tingkat awal, ia mulai melihat bayangan jalannya sendiri.

Ia tidak lagi sekadar mengikuti perintah, tetapi mulai merasakan makna di balik setiap gerakan dan setiap tarikan napas.

Cuyo melihatnya dengan tatapan yang tenang, seakan menilai hasil pekerjaannya. Lianxue pun, meski jarang mengungkapkan, mulai menghargai ketekunan sang junior.

Bagi Xu Hao, ini baru awal dari perjalanan panjang. Ia tahu jalan di depan akan lebih sulit. Namun, dengan tubuh yang semakin kuat, napas yang semakin dalam, dan pikiran yang semakin mantap, ia siap melangkah lebih jauh.

Fajar merayap di puncak Gunung Tianhe seperti aliran cahaya yang lembut, menyapu kabut tipis yang bergelantung di antara pepohonan pinus. Udara pagi membawa aroma dedaunan basah dan tanah segar, menusuk hidung dengan rasa sejuk yang memaksa paru-paru terbuka lebar. Burung-burung kecil mulai berkicau, namun suara mereka terdengar jauh, seolah tertahan oleh lapisan kabut.

Di halaman rumah kayu, Xu Hao berdiri dengan mata setengah terpejam. Tubuhnya masih terasa pegal setelah latihan malam sebelumnya, tetapi hatinya dipenuhi semangat. Pagi ini, Lianxue telah berkata bahwa mereka akan menggabungkan latihan fisik dengan teknik pernapasan yang diajarkan oleh Cuyo.

Lianxue muncul dari dalam rumah, membawa sebilah pedang kayu di tangan kiri dan seutas tali tebal di tangan kanan. Ia mengenakan pakaian latihan berwarna putih yang terikat rapi di pinggang dengan sabuk merah. Rambutnya dikuncir tinggi, memberi kesan tegas namun tetap anggun.

“Kau sudah siap, Xu Hao?” suaranya jernih namun mengandung nada tegas yang tidak memberi ruang untuk keraguan.

Xu Hao menarik napas dalam-dalam, mengingat pelajaran semalam. “Siap, kakak.”

“Duduk bersila terlebih dahulu,” perintah Lianxue. “Kita akan mulai dengan sinkronisasi napas seperti yang ayah ajarkan padamu. Namun kali ini, setiap tarikan dan hembusan akan diiringi gerakan tubuh. Kau akan belajar menjaga ritme bahkan saat tubuh bergerak cepat.”

Xu Hao duduk, menutup mata, dan mulai menarik napas perlahan. Lianxue berjalan mengitari Xu Hao, mengawasi setiap gerakan dada dan bahunya.

“Jangan biarkan bahumu naik. Tarik napas dari bawah pusar, seperti semalam. Sekarang, saat menghembuskan, bangkit perlahan ke posisi berdiri. Saat menarik, kembali turun perlahan ke posisi duduk.”

Gerakan ini tampak sederhana, namun setelah beberapa kali, otot paha Xu Hao mulai terbakar. Menjaga napas tetap stabil sambil bergerak naik-turun ternyata menguras tenaga lebih dari yang ia duga.

Setelah pemanasan, Lianxue menyerahkan pedang kayu dan tali tebal. Tali itu diikatkan ke pinggang Xu Hao, sementara ujung lainnya diikatkan ke batang pohon pinus yang kokoh.

“Kau akan berlari mengelilingi halaman ini. Tali ini akan memberi tarikan balik yang memaksamu bekerja lebih keras. Ingat, setiap langkah harus diiringi dengan napas teratur. Jika ritmemu kacau, tenagamu akan habis sebelum waktunya.”

Xu Hao mulai berlari. Awalnya, tali itu terasa hanya seperti sedikit hambatan. Namun, semakin jauh ia bergerak, tarikan balik semakin berat, membuatnya harus mengerahkan tenaga ekstra di setiap langkah.

“Kau terlalu cepat,” seru Lianxue. “Atur napas seperti ini. Empat langkah untuk satu tarikan napas, empat langkah lagi untuk hembusan. Jangan biarkan rasa lelah memutus ritme.”

Peluh mulai menetes dari pelipis Xu Hao. Setiap kali napasnya mulai kacau, ia mengingat wajah Cuyo yang berkata bahwa napas adalah tuannya. Perlahan, ia mulai menemukan pola yang stabil, meski otot-ototnya menjerit minta berhenti.

Setelah berlari hingga kakinya bergetar, Lianxue melepas tali dan menyerahkan pedang kayu sepenuhnya ke tangan Xu Hao.

“Sekarang, kita akan menggabungkan jurus dasar pedang dengan teknik pernapasan dalam. Setiap ayunan harus diiringi tarikan atau hembusan napas yang tepat. Tarikan saat mengangkat pedang, hembusan saat menebas. Tarikan saat mengubah arah, hembusan saat menusuk.”

Xu Hao mencoba. Di awal, gerakannya kaku. Napasnya sering terlambat mengikuti ayunan pedang. Namun Lianxue tidak segan mengoreksi.

“Terlalu lambat. Kau membiarkan napas tertinggal. Jika ini medan pertempuran, lawan sudah memenggal kepalamu. Ulangi.”

Xu Hao mengulang. Kali ini, ia membayangkan setiap tarikan napas adalah pengumpulan Qi di dantian bawah, dan setiap hembusan adalah pelepasan Qi melalui pedang. Perlahan, ayunan pedangnya menjadi lebih mantap, matanya lebih fokus.

Saat Xu Hao mulai terbiasa, Lianxue tiba-tiba melempar kerikil ke arah kakinya. Xu Hao kaget dan hampir tersandung.

“Jangan biarkan hal kecil mengganggu pikiranmu,” ujar Lianxue dingin. “Di dunia nyata, kau akan dikelilingi oleh gangguan. Teriakan, debu, bahkan darah. Napasmu harus tetap stabil. Pedangmu harus tetap tepat.”

Latihan dilanjutkan. Setiap beberapa jurus, Lianxue menambah gangguan: suara teriakan, tepukan keras di lantai, bahkan lemparan ranting. Xu Hao harus menjaga gerakan dan napasnya tetap sinkron.

Setelah hampir dua jam, Lianxue memberi waktu istirahat satu jam seperti kemarin. Xu Hao duduk bersila di tepi halaman, menutup mata, dan memusatkan pikiran pada dantian bawahnya. Ia mengatur napas seperti semalam, memulihkan tenaga sambil mempertahankan kehangatan Qi.

Lianxue duduk tidak jauh darinya, memperhatikan. Wajahnya tidak menunjukkan senyum, namun di matanya ada sedikit pengakuan bahwa Xu Hao mulai berkembang.

Sore hari, matahari condong ke barat, cahayanya menembus celah pepohonan dan memberi warna emas pada kabut tipis di sekitar puncak gunung. Xu Hao kembali berdiri dengan pedang kayu di tangan.

“Kita akan menggabungkan semua latihan hari ini menjadi satu rangkaian,” kata Lianxue. “Mulai dari lari melingkar, langsung masuk ke jurus pedang, lalu diakhiri dengan serangan bertubi-tubi sambil mempertahankan ritme napas.”

Latihan ini lebih berat dari yang dibayangkan Xu Hao. Kakinya gemetar, napasnya mulai memburu, namun ia memaksa dirinya mengingat semua pelajaran. Tarik empat langkah, hembus empat langkah. Tarik saat mengangkat pedang, hembus saat menebas. Fokus pada dantian, jangan biarkan pikiran terpecah.

Ketika latihan berakhir menjelang senja, tubuh Xu Hao nyaris roboh. Namun di dalam dirinya, ada rasa puas yang hangat. Ia tahu, sedikit demi sedikit, ia sedang dibentuk menjadi kultivator sejati.

1
Nanik S
Ditunggu upnya tor 🙏🙏🙏
Nanik S
Huo... nekat benar memberi pelajaran pada Pria Tu
Nanik S
apakah mereka bertiga akan masuk bersama
Nanik S
Huo memang Urakan.... memang benar yang lebih Tua harus dipanggil senior
Nanik S
Lha Dau Jiwa sudah dijual
YAKARO: itu cuma tanaman obat kak. bukan jiwa beneran
total 1 replies
Nanik S
Inti Jiwa...
Nanik S
Lanjutkan makin seru Tor
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Makan Banyak... seperti balas dendam saja Huo
Nanik S
Pil Jangan dijual kasihkan Paman Cuyo saja
Nanik S
Mau dijual dipasar tanaman Langkanya
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Ceritanya bagus... seorang diri penuh perjuangan
Nanik S
Cerdik demi menyelamatkan diri
Nanik S
Baru keren... seritanya mulai Hidup
YAKARO: Yap, Thanks you/Smile/
total 1 replies
Nanik S
Mungkin karena Xu Hai telah byk mengalami yang hampir merebut nyawanya
Ismaeni
ganti judul yaa thor?
YAKARO: enggak. Hidup Bersama Duka itu awalnya judul pertama pas masih satu bab, terus di ubah jadi Immortality Though Suffering. malah sekarang di ganti sama pihak Noveltoon ke semula.
total 1 replies
Nanik S
Xu Hai... jangan hanya jadi Penonton
Nanik S
Sebenarnya siapa Pak Tua yang menyelamatkan Hao
YAKARO: Hmm, saya juga penasaran/Proud/
total 1 replies
Nanik S
untung ada yang menolong Xu Hai
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!