Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
Bab 23: Skakmat
“Sebentar… who’s Baskara?” tanya Prima. Ekspresinya tidak bisa dibaca oleh Selina, jadi dia anggap Prima belum tahu.
Selina, Leonhard, Prima, dan Raghav sedang duduk di meja paling besar yang ada di bar setelah dua hari percakapannya dengan Baskara. Sebelum jam buka, Selina memohon untuk mereka semua datang lebih awal untuk mendiskusikan sesuatu. Kali ini dia tidak akan membiarkan dirinya kalah lagi.
“Jadi gini… aku punya dosen namanya Baskara dan aku pikir—no. Aku yakin dia kembarannya bos kita,” ujar Selina sambil menatap Prima dan Raghav secara bergantian.
Prima dan Raghav tidak bergeming sampai Raghav bersuara.
“Hah?”
Selina memandang Prima dan Raghav dengan tatapan bingung. Kenapa mereka, orang yang dekat dengan Leonhard, seperti baru mendengar berita ini? Kenapa Selina merasa aneh dengan reaksi mereka? Sedangkan Leonhard hanya diam dari tadi, tidak berkata apapun.
“I said… aku confront Baskara kalau dia itu pasti punya kembaran,” Selina menjeda kalimatnya untuk menujuk Leonhard yang duduk di depannya. “Leoanhard—tapi dia gak ngaku. Now… I need you—my boss—to admit it.”
Prima langsung terbatuk kecil, hampir menyemburkan air yang baru saja diteguknya.
“Lo confront dosen lo yang lo suspect sebagai kembaran… Leon?!” Suaranya naik satu oktaf.
Raghav yang ada di sebelahnya juga ikutan kaget. Dia menurunkan kaleng bir yang tidak jadi diteguk ketika mendengar kalimat yang keluar dari bibir Selina. Alisnya berkerut dalam ekspresi what the fuck did I just hear.
“Oh hell no you did what?!”
Selina menatap mereka berdua dengan serius. “Kalian gak salah denger. Also! Why didn’t you guys inform me about this twins thingy?” protes Selina kepada Prima dan Raghav.
“Ah… pasti si bos ini yang ngebungkam kalian kan?!” tambah Selina, matanya melirik Leonhard tajam.
Prima dan Raghav saling pandang, lalu melirik ke arah Leonhard yang menatap mereka. Sekejap, mereka menerima sinyal dari mata Leonhard—dia memberi anggukan kecil sebagai sinyal go along with it. Gerakan mereka terlalu gesit untuk Selina ikuti, untungnya.
“Wait. What twins?!” Raghav membelalakan mata—rasanya dia cukup pandai berekting. “Jangan menyamaratakan posisi gua dama Prima, Sel. What do you mean… bos kita punya kembaran?”
Mata Raghav melirik ke arah Prima sekejap dan menangkap sorotan tajam itu. Prima dijebak. Dia dijadikan kambing hitam.
“Apa sih?! Jangan asal kalo ngomong!” ujar Prima cepat menyangkal tuduhan palsu Raghav, tangannya terangkat defensif. “Gua juga baru denger soal kembaran ini… sumpah.”
Raghav langsung menunjuknya dengan ekspresi dramatis. “Muka muka lo tuh kayak lagi cover up something.”
“Gak usah ngarang! Jangan-jangan lo yang tau ini tapi bikin alibi yang merugikan gua,” balas Prima tidak mau kalah dengan permainan Raghav. Dia melirik Selina beberapa detik, melihat ekspresi wajah yang tampak… sepertinya dia tidak jatuh dalam bualan ini. Prima sedikit melotot ke arah Leonhard, meminta bantuan, tapi tidak digubris.
“You guys are unbelievable,” desis Selina. “Aku tau kok kalian lagi komplotan sandiwara. Aku bisa baca cara mainnya Leonhard.”
“Komplotan? Sel… yang kita komplotin paling cuma nilep satu botol Dalmore 62 waktu stocking.”
Tanpa sadar, Prima malah menjatuhkan bom baru untuk Leonhard. Raghav menendang kakinya di bawah meja. Dia melirik Leonhard yang sudah menatapnya tajam. Prima membeku, bibirnya setengah terbuka, sadar dia baru saja melemparkan kalimat bodoh.
“Ah—gak sering, sumpah. Cuma sekali,” ujarnya cepat, mencoba menambal lubang yang sudah keburu lebar.
Lirikan mata Leonhard beralih ke Raghav yang dari tadi tidak berkutik. Raghav menyenggol bahu Prima. “Lo kenapa ngomongin itu?” bisiknya.
“Keceplosan…”
Leonhard membuka satu kancing kemejanya sehingga tato nada di dadanya terlihat lebih jelas. Tatapannya ke Prima dan Raghav datar.
“Dalmore 62?” suaranya rendah, menyeret, bikin susasna mena semakin gelap.
Prima menghela nafas kecil. “Gua siap ganti, tenang aja.”
Selina mengerjap. “Itu mahal banget kan?” tanyanya polos.
Leonhard tidak menjawab, dia hanya menatap Prima dan Raghav bergantian seolah berbicara; we discuss this later. Raghav langsung memotong pembicaraan.
“Sel, fokus dong. Kita lagi bahas si Leonhard ini punya kembaran, bukan audit inventaris bar.”
Prima mengangguk cepat. “Topiknya jangan dialihin ke gua.”
“That’s suspicious. Kalian kenapa defensif banget?” tanya Selina. Kedua tangannya dilipat di depan dada, menatap dengan penuh kecurigaan.
“Sel…” bisik Raghav yang cukup terdengar untuk satu meja itu. Dia mencondongkan badannya mendekat Selina. “Lebih mending bahas kembarannya daripada bahas Dalmore 62 yang ditilep, bisa tinggal nama kita pulangnya,” tambahnya lagi sambil sepersekian detik melirik Leonhard.
Selina terkekeh kecil. “Alright. Demi keselamatan bersama. So… ngaku gak kalian semua sengaja nyembunyiin ini karena si Baskara itu dalang sebenarnya?”
Prima mengangjat kedua tangannya. “Woah… slow down FBI girl. Kita bahkan baru dengar ini dari lo.”
“Right. Lo dapet info darimana?” tanya Raghav penasaran.
“Well… I did some research—” ucapannya terjeda karean suara ketawa kecil tapi berat keluar dari mulut Leonhard. Selina menoleh ke arahnya. “What’s funny?” tanya Selina.
Leonhard menggeleng cepat. Dia jadi ingat dua hari lalu bagaimana Selina menjelaskan ‘research’-nya itu. Sangat lucu baginya. Stalking ala-ala disebut sebagai sebuah research.
Selina memutar kedua bola matanya. “Anyway… aku liat tato di lengan Baskara.” Dia langsung mengangkat lengan kanan Leonhard. “This… ujung pedang di tato bos kita… mirip banget sama yang di lengan dosen Baskara,” ujar Selina sambil menunjuk bagian yang menurutnya familiar.
Beberapa saat yang lalu, sebelum mereka bekumpul. Selina tidak sengaja memperhatikan lengan Leonhard yang sibuk menuangkan minuman ke gelas. Tato pedang, ujungnya runcing. Polanya sangat familiar, dan begitu saja otaknya memutar ke gambaran tato Baskara yang belum terpecahkan itu. Dia pun sempat kaget, kalau ujungnya begitu mirip dan semakin yakin kalau Baskara dan Leonhard memiliki hubungan, atau setidaknya mereka terlibat satu sama lain.
Prima dan Raghav sontak menegang. Keduanya saling bertukar pandang sekilas—gerak refleks yang jelas terbaca bagi seseorang seobservatif Selina. Raghav mencoba tersenyum, tapi sudut bibirnya sedikit tertarik gugup. Prima bahkan nyaris tersedak udara sebelum buru-buru menegakkan posisi duduknya.
Suasana meja berubah drastis. Kalau tadi penuh canda sinis dan saling lempar sindiran, kini terasa seperti pin granat yang menunggu ditarik untuk meledak.
Leonhard tetap duduk tenang. Bahunya tidak bergeming, ekspresinya datar tapi tajam. Tatapan matanya mengunci ke arah Selina seperti predator yang menilai mangsanya. Tidak ada reaksi berlebihan, tidak ada gestur gugup. Justru ketenangan yang terlalu tenang.
Selina sempat memperhatikan body language Leonhard dan dia berpikir; Leonhard seperti bukan manusia, dia begitu tenang dalam desakan yang mengancam titik amannya.
“Aku gak asal teori… ini buktinya.” Leonhard menarik paksa lengannya sambil membuang nafas berat.
“Bukti apa? Emangnya kalau kembar harus punya tato kembar juga?”
Pertanyaan Leonhard justru membuat Prima dan Raghav semakin ketar-ketir karena dari kalimat itu bisa saja Selina membuat premis baru—yang mereka hindari kalau saja Selina berhasil memecahkan kode: Leondar adalah Baskara, Baskara adalah Leonhard.
Leonhard akhirnya bersandar ke kursi. “Tato pedang, huh.” Nada suaranya rendah, tenang… tapi ada ketajaman samar yang membuat udara seolah mengeras.
Selina sedikit gelagapan. Yang dikatakan Leonhard ada benarnya, tapi feeling dia begitu kuat kalai mereka berdua adalah komplotan—sengaja membuat jejak yang sama.
“Ah itu mah akal-akalan kalian aja,” balas Selina, suaranya sedikit bergetar karena hampir goyah. “Apalagi kalau detailnya muncul dua kali di dua orang yang… kebetulan—” ia memberi penekanan, “—selalu ada di orbit yang sama.”
Prima menghela napas pelan. Shit… ini udah bukan game ringan lagi.
Raghav mencoba mencairkan, walau jelas suaranya agak bergetar. “Mungkin aja motif tato-nya populer? Banyak orang punya desain yang mirip.”
Selina langsung menoleh cepat. “Please. Motif pedang dengan ujung berlekuk dua dan pola knot di gagangnya? That’s not a common tattoo.”
“Tapi kamu sudah lihat keseluruhan gambar tato itu belum?” tanya Leonhard, menantang.
Selina bergeming. Dia menggigit pipi dalamnya sambil berpikir. Ahh… gak Leonhard, gak Baskara, mereka semua pintar membuat dirinya goyah dengan teorinya sendiri.
“Kalau belum,” lanjutnya pelan. “Berarti kamu belum cuma lihat potongan puzzle dan langsung bikin kesimpulan.”
Selina menahan nafas sesaat. Sialan. Mereka berdua memang pintar membalikkan keadaan. Semua potongan teorj di kepalanya seketika samar, tidak sesolid beberapa detik lalu. Gengsinya terlalu tinggi untuk mundur sekarang.
“Hold on.” Selina mengubah posisi duduknya, kini menyerong ke arah Leonhard. “Dari cara kamu menyangkal itu… mirip banget sama Baskara. Ayolah… apa susahnya ngaku, aku juga gak akan ngapa-ngapain sama identitas kalian.”
Leonhard menaikkan alisnya sambil tersenyum miringa. “Kamu beneran serius sama hal ini?”
“Serius.” Selina menjawab cepat dengan lantang. “Cara kalian bluffing itu satu pola. Muter-muterin argumen biar aku ragu sama argumen sendiri. Kalian itu literally satu otak.”
Prima dan Raghav menahan nafas, mereka tidak menyangka Selina akan menyerang sefrontal itu. Raghav bahkan sampai menyenggol Prima di bawah meja.
Leonhard hanya mengangguk, membiarkan Selina menang kali ini.
“Uhmm… gua mau nanya deh, Sel. Emangnya tujuan lo ngegali identitas mereka buat apa?” tanya Prima di sela-sela tatapan sengit antara Selina dan Leonhard.
Selina menoleh ke arah Prima, tapi tidak menatap matanya melainkan menatap kulkas pendingin di belakangnya. Pandangannya menjadi kosong. Kepalanya memutar mencari jawaban. Tiga pasang mata menunggu jawaban dari Selina membuat dirinya gemetar.
“Aku… aku gak suka… rahasia?” ujarnya tapi malah terdengar seperti pertanyaan dan pembelaan diri. Leonhard tentu menangkap itu seolah menemukan retakan kecil di tembok kokoh Selina.
Dia menarik napas dalam. Oke, mungkin awalnya sekadar rasa penasaran, tertantang pada misteri yang dibiarkan menggantung. Tapi semakin jauh dia masuk ke lingkaran ini, semakin dia sadar… ini juga soal harga diri. Soal perasaan dipermainkan. Baskara dan Leonhard—dua sosok itu seperti cermin ganda yang bikin dirinya bingung mana kenyataan, mana permainan.
Dan entah sejak kapan, membongkar rahasia mereka berubah jadi semacam pembuktian pribadi. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya sendiri.
Leonhard bertopang dagu di mena, matanya menyorot Selina yang tiba-tiba lebih kalem.
“Jadi semua ini karena kamu gak suka ada rahasia?” Nadanya tenang, setenang air laut sebelum terjadi tsunami.
“Tell me, Selina. Kamu sebenarnya berusaha cari kebenaran… atau cuma gak terima karena gak diajak main dari awal?” tambah Leonhard, kalimatnya menusuk pikiran Selina.
Raghav dan Prima otomatis menahan napas, suasana di meja seketika berubah. Selina menegakkan punggung, tapi detik itu juga jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
Sial… pikirnya. Dia tahu.
Leonhard tidak berhenti. “Kamu boleh observan dan keras kepala. Tapi jangan lupa, kamu masuk ke arena ini karena keingintahuan, bukan karena kami yang menarikmu ke dalam. Jadi sebelum kamu nuntut jawaban, tanya diri kamu dulu, kamu siap nerima konsekuensinya atau cuma pengin menang debat?”
Checkmate.