Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Minggu Yang Kacau
Hari minggu adalah surga bagi Vania, hari bebas dari rutinitas yang menyesakkan. Ia hanya ingin hibernasi layaknya beruang, walau terik sang surya menyelinap masuk dari celah jendela.
Ditariknya selimut hingga menutup kepalanya rapat, tak ingin terusik, ia ingin kembali larut dalam mimpi. Namun, suara Sekar terdengar di balik pintu, membuat matanya terpaksa terbuka perlahan.
“Apa, Ma?” sahut Vania malas dengan suara parau.
“Mama berangkat, sarapan ada di kulkas, nanti kalau mau makan tinggal diangetin aja.” kata Sekar di balik pintu, setelah itu ia pergi bersama suara langkah di tangga yang kian menjauh.
Vania kembali menutup mata, namun lagi-lagi tidurnya terusik, kali ini deretan notif pesan di ponselnya. Suara itu menggema dalam kamarnya, membuatnya terpaksa bangkit dan mengambil benda pipih itu.
Ting!
Ting!
Ting!
Ting!
Ting!
“Siapa sih? Berisik banget?” keluhnya kesal, alisnya menyatu, mencoba memfokuskan pandangannya yang masih buram karena sehabis tidur.
Namun, Vania tak mengenali nomer asing itu, mungkinkah spam penipu? Pikirnya. Lantas ia membuka dan membacanya.
“Pagi, Vania cantik,”
“weekand ini ada kesibukan apa? Ada rencana keluar?”
“Kalau gue sih free ya. Siap datang kapan aja, kalau lo butuh bantuan apapun.”
“Btw lo udah bangun belum?”
“Van?”
“Belum bangun ya?”
Vania memejamkan matanya, menghela panjang napasnya, ia menahan amarah yang tiba-tiba tersulut selepas membaca spam chat itu. Vania menatap jengah ke arah luar jendela, mengetahui dengan pasti siapa pengirim pesan yang tak lain—Rayhan.
Ia meletakkan kembali ponselnya, di reganggakan tubuhnya untuk menghilangkan ototnya yang tegang. Bersamaan dengan hilangnya kantuk karena ulah Rayhan. Ia berjalan menuju kamar mandi, sekedar membersihkan wajah dan giginya.
Masih dengan piyama putih bermotif beruang yang melekat di tubuhnya, Vania membuka jendela, angin sejuk dan bau embun pagi menyeruak memasuki biliknya. Di seberang sana, Rayhan melambaikan tangan dari balkon kamarnya. Mengenakan kaos putih dan celana pendek, tangannya memegang cangkir yang masih beruap panas. Senyumnnya tak lepas dari wajah tampannya.
“Hari mingguku yang tenang hilang sudah,” gumamnya pelan, menatap malas Rayhan yang masih memamerkan gigi putihnya.
Ia membalikkan badan, melangkah menuju dapur untuk menyantap sarapan yang sudah tersedia.
Sementara Rayhan, mengamati dalam-dalam kepergian Vania. Mengagumi penampilannya yang bangun tidur, dengan rambut berantakan, kulit wajahnya yang putih dan segar tanpa riasan. Mungkin ia memang beruntung, bisa menyaksikan sosok Vania yang jarang orang lain lihat.
“Dari jauh aja kelihatan cantik, gimana kalo dia bangun tidur di samping gue, ya?” celetuknya sembari terkekeh, ada nada jahil yang tak bisa ia sembunyikan.
“Siapa?” ucap Elsa yang tiba-tiba berbisik di telinganya. Membuat kopinya tercecer mengenai kakinya karena terkejut dengan kedatangan Elsa tanpa diduga.
“Aagghh! Bisa gak sih kalo masuk kamar gue tuh ketuk pintu! Minimal suara tapak kaki kedengeran! Kek kunti lo tiba-tiba nongol!” pekik Rayhan dengan nada tinggi. Kemarin Elma, sekarang Elsa. Mungkin dasarnya anak kembar, kelakuan usilnya pun sama, yaitu menjahili adiknya—Rayhan.
“Ya ampun! Mulut lo kayak cewek-cewek tukang gosip!” ujar Elsa, mengusap kasar rambut Rayhan hingga tak karuan. Sontak Rayhan menepis dengan kesal.
“Terus siapa tuh yang lo bayangin tidur di samping lo? Pagi-pagi pikirannya udah mesum, gue aduin bunda, ya.”
“Ng—nggak, lah. Salah denger itu, orang gue lagi liatin taman belakang,” elak Rayhan dengan mengalihkan pandangannya.
Elsa menyipitkan matanya, dengan senyum mengejek, terlihat jelas Rayhan mencoba menyembunyikan sesuatu yang menarik. Kian menggugah rasa penasarannya.
“Lagian ngapain kak Elsa ke sini? Ganggu orang nyantai aja.”
“Lo yang dipanggil dari tadi gak nyahutin, Oma nyariin, tuh. Udah sana turun, jangan ngeliatin cewek tetangga terus!” ujar Elsa sambil mengendus, alisnya terangkat naik turun seolah mengejek.
Rayhan pun keluar meninggalkan Elsa yang mengikutinya masih dengan ledekannya.
Vania berdiri dengan tangan berkacak pinggang, menghela napas panjang dengan tatapan tertuju pada wastafel. Ia memutar keran sekali lagi tapi tetap saja tak ada air yang mengalir. Padahal ia hanya ingin mencuci teplon bekas menggoreng telur.
“Haahh ... pake acara rusak segala,” gerutunya, lalu iya pukul keran airnya karena kesal. Tanpa Vania duga, keran itu justru patah dan menyemburkan air hingga membuat dirinya basah kuyup.
“Sial banget sih pagi ini!” pekiknya, segera ia menyumbatnya dengan kain lap yang berada di jangkauan. Walaupun airnya masih merembes, itu mampu menunda sebelum tukang servis datang.
Vania menatap dengan jengah area dapur yang sudah kacau balau, ia mengambil alat pel, membersihkan lantai yang becek dengan malas. Bahkan ia belum sempat menyantap sarapannya. Sungguh pagi yang kacau!
Ding! Dong!
“Cepet banget udah dateng?” gumamnya pelan, terheran mendengar bel rumahnya, sebab baru lima menit lalu ia menghubungi tukang servis.
Ketika daun pintu itu terbuka, bukan tukang servis yang datang, melainkan Rayhan yang berdiri dengan wajah terkejut, tangannya membawa mangkok berisi soto.
“Rayhan? Ada perlu apa?” tanya Vania, keningnya berkerut, melihat Rayhan yang memalingkan wajahnya. Terlihat telinga dan tengkuknya memerah, kontras dengan kulitnya yang putih.
Rayhan mengarahkan telunjuknya dengan sedikit bergetar. Lantas Vania mengikuti arah, sontak matanya membelalak dan berlari kencang menuju kamarnya. Tanpa sempat menutup pintu rumah. Meninggalkan Rayhan yang menutup mulutnya menahan tawa.
Dalam larinya Vania berteriak. “Sial! Tutup mata lo, Rayhan!”
Tawa Rayhan pun pecah mendengar teriakan Vania, meski sempat tertegun melihat perawakannya yang basah kuyup. Piyama putih itu menempel erat, menjiplak lekuk tubuhnya hingga bayangan di baliknya pun terlihat jelas.
“Mimpi apa gue basa liat pemandangan kayak gini,” batinnya. Melihat kekacauan yang Vania buat.
Rayhan meletakkan soto ayam yang ia bawa ke atas meja. Kemudian meraih pel yang tergeletak, dan lanjut membersihkan lantai yang sempat Vania tunda. Terdengar langkah kaki menuruni tangga, kini Vania sudah mengenakan sweeter oversize dan leging panjang, ia berbatuk kecil sekedar memberi tanda kehadiran.
“Udah ganti baju?” tanya Rayhan dengan senyum mengejek.
“Lo gak liat, kan?” tangan Vania menyilang di depan dadanya.
“Hmmm ... cuma sepersekian detik?” jawabnya dengan mata yang menyipit.
Vania menutup wajahnya, rasanya ia ingin menggali tanah dan memasukkan kepalanya ke dalam. Rayhan selalu membuatnya kepalang malu. Entah karena ulahnya atau tingkahnya sendiri.
“Udah gak usah malu, udah kejadian juga.” Cetus Rayhan dengan tawanya.
“Sialan!” umpat Vania kesal.
Dapur yang penuh dengan air kini sudah mengering, Vania baru menyadari hal itu saat melihat alat pel di tangan Rayhan. Ia kesal sekaligus tak enak hati karena tanpa sengaja merepotkan orang lain. Vania bertanya dengan ragu, “Kenapa lo yang bersihin, sih? Gue kan gak nyuruh. Lagian lo ke sini mau ngapain?”
“Santai aja, udah biasa gue beresin kekacauan kaya gini,” jawab Rayhan, mengingat perbudakan yang Elsa dan Elma lakukan padanya.
“Gue ke sini cuma mau ngasih soto ayam buatan Oma, katanya bentuk terima kasihnya tempo lalu.” Imbuhnya sambil menunjuk semangkok soto di atas meja.
Vania berterima kasih dan menerima pemberian Oma Ida dengan senang hati, walau proses pemberiannya membuat ia kesal bercampur malu. Kemudian, Vania menyuruh Rayhan pulang karena urusannya sudah selesai, namun jawabannya justru membuatnya kembali kesal.
“Gue masih pengen di sini. Mau gue bantu benerin keran airnya?”
“Nggak perlu, gue udah panggil tukang servis. Bentar lagi juga dateng.” Ujar Vania. Ia hanya ingin Rayhan cepat-cepat keluar dari rumahnya.
Ding! Dong!
Suara bel kembali berbunyi, membuat Vania bersorak dalam hati, waktu yang pas untuk mengusir Rayhan pergi.
“Tuh, denger kan? Tukang Servis udah dateng, jadi lo pergi aja sekarang.” Usirnya, membuat Rayhan tersenyum masam, dengan berat hati ia berjalan mengikuti Vania menuju pintu keluar.
Di kala pintu terbuka, mata Rayhan berubah tajam. Sementara Vania mematung, pandangannya tertuju pada sosok pria di ambang pintu. Tanpa sadar Vania merapikan penampilannya, sebuah tindakan spontan yang menusuk Rayhan seperti pisau, bersama getir yang membakar diam-diam.
“Hai, Vania,” sapa pria itu dengan suara lembut dan hangat.
.
.
.
Bagus k, saya suka yg temanya sekolahan gini. jadi kangen masa” skolah 😄
aww gemes ih