Di dunia di mana sekte-sekte besar bersaing demi kekuasaan, lahirlah seorang pemuda bernama Lin Feng. Tidak memiliki latar belakang mulia, tubuhnya justru menyimpan rahasia unik yang membuatnya diburu sekaligus ditakuti.
Sejak hari pertama masuk sekte, Lin Feng harus menghadapi hinaan, pertarungan mematikan, hingga pengkhianatan dari mereka yang dekat dengannya. Namun di balik tekanan itulah, jiwanya ditempa—membawanya menapaki jalan darah yang penuh luka dan kebencian.
Ketika Pedang Abadi bangkit, takdir dunia pun terguncang.
Akankah Lin Feng bertahan dan menjadi legenda, atau justru hancur ditelan ambisinya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aku Pemula, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 - Tebasan Pertama yang Membelah Langit
Udara di halaman belakang puncak latihan terasa begitu sejuk pagi itu. Angin gunung yang berhembus membawa aroma segar dari pepohonan pinus, sementara cahaya matahari perlahan menembus kabut tipis yang masih bergelayut di sekitar tebing. Dari kejauhan, suara burung-burung kecil terdengar samar, seakan ikut menjadi saksi awal perjalanan baru Lin Feng.
Di tengah halaman itu, berdiri seorang pemuda dengan tubuh penuh semangat namun wajah yang masih memancarkan kelelahan akibat latihan kultivasi sebelumnya. Lin Feng menggenggam pedang panjangnya erat-erat. Matanya menatap kosong ke udara, tapi hatinya dipenuhi tekad. Di depannya, Yun Hai berdiri dengan sikap tenang, kedua tangannya di belakang punggung, jubah birunya berkibar ringan mengikuti angin gunung.
“Lin Feng,” suara Yun Hai terdengar dalam dan mantap, “hari ini kau akan memulai latihan jurus inti sekte, Tiga Tebasan Langit Biru. Jangan anggap enteng. Jurus ini bukan hanya sekadar teknik pedang, melainkan juga jalan untuk memahami hubungan antara tubuh, pedang, dan langit itu sendiri.”
Lin Feng menarik napas panjang. “Guru, saya sudah siap.”
Mei Xue yang duduk di pinggir lapangan memperhatikan dengan wajah cemas. Meski ia tahu Lin Feng punya ketekunan luar biasa, namun Tiga Tebasan Langit Biru dikenal sangat sulit dikuasai, bahkan oleh murid-murid jenius sekte.
Yun Hai mengangkat telunjuknya dan menorehkan gerakan ringan di udara, seolah menggambar sebuah garis tak kasat mata. “Dengarkan baik-baik. Jurus pertama disebut Tebasan Langit Terbelah. Gerakan ini sederhana, hanya satu tebasan lurus dari atas ke bawah. Tetapi kesederhanaannya menipu. Untuk menguasainya, kau harus mampu menyatukan kekuatan tubuh, aliran energi spiritual, dan niat hatimu dalam satu garis yang lurus sempurna.”
Ia menatap Lin Feng lekat-lekat. “Banyak murid gagal karena mereka hanya fokus pada gerakan tubuh, melupakan hati. Jurus ini menuntut keteguhan jiwa. Pedangmu harus menjadi perpanjangan dari tekadmu. Jika hatimu goyah, maka tebasanmu akan lemah.”
Lin Feng menelan ludah. Kata-kata itu sederhana, namun mengandung makna berat.
“Dan ingat,” Yun Hai melanjutkan, “meski ini baru jurus pertama, jangan meremehkannya. Bahkan Liu Tian dulu membutuhkan hampir dua bulan hanya untuk menguasainya di tingkat dasar.”
Ucapan itu membuat dada Lin Feng sedikit terhentak. Liu Tian selalu dianggap jenius di antara murid baru, namun ternyata ia pun butuh waktu lama. Bagi Lin Feng, ini menjadi cambuk sekaligus tantangan.
Lin Feng mengangkat pedangnya, menyiapkan postur sesuai arahan Yun Hai. Ia menutup mata, mencoba merasakan aliran energi spiritual dalam tubuhnya. Saat ia menebaskan pedang, suara angin berdesing, namun…
Clang!
Pedangnya bergoyang tidak stabil, ayunan itu terhenti di tengah jalan seolah kehilangan tenaga.
“Kau terlalu tegang,” komentar Yun Hai datar. “Tubuhmu kaku, energimu tidak mengalir. Coba lagi.”
Lin Feng mengangguk, mencoba kembali.
Hyaaa!
Tebasan kedua sedikit lebih baik, tapi tetap belum lurus sempurna. Pedangnya bergetar ketika mengenai tanah, menghasilkan suara sumbang.
Mei Xue menggigit bibir. Ia ingin bersuara, memberi semangat, tapi tahu bahwa jika ia mengganggu, justru akan merusak konsentrasi Lin Feng.
Setelah puluhan kali mencoba, keringat membasahi wajah dan tubuh Lin Feng. Nafasnya terengah-engah, tangannya bergetar. Pedangnya terasa semakin berat, seolah ingin menolak digenggam. Ia jatuh berlutut, pedangnya menancap di tanah.
“Apa yang salah dengan diriku…?” gumamnya pelan, hampir menyerah.
Namun seketika, ia teringat pada wajah gurunya yang pertama-Qingyun, pada hinaan Liu Tian, pada tekadnya sendiri untuk tidak lagi dipandang rendah. Kemudian Lin Feng melihat jimat batu giok warisan ibunya-hatinya bergetar, tapi kali ini bukan karena lelah, melainkan karena api semangat yang berkobar.
“Tidak… aku tidak boleh menyerah.” Ia menggenggam pedang lebih erat, bangkit perlahan meski lututnya masih bergetar.
Yun Hai tersenyum tipis. “Bagus. Inilah yang membedakanmu dengan yang lain. Banyak murid berhenti di titik ini, namun kau memilih bangkit. Ingatlah, jurus ini bukan hanya menguji tubuh, tapi juga keteguhan hati.”
Guru Yun Hai berjalan mendekat, lalu menepuk bahu muridnya. “Lin Feng, bayangkan pedangmu sebagai air terjun yang jatuh dari puncak gunung. Air tidak pernah berhenti di tengah jalan, ia selalu mengalir sampai ke dasar. Tebasanmu pun harus demikian, satu garis lurus, tak terputus, dari langit hingga bumi.”
Ia mengangkat pedang kayu di sampingnya, lalu mencontohkan sekali. Gerakan sederhana, namun aura pedang yang keluar begitu tajam sehingga tanah di bawahnya terbelah tipis.
Mata Lin Feng melebar. Itu baru jurus pertama, tapi kekuatannya terasa luar biasa.
Lin Feng menutup mata, menarik napas dalam-dalam, lalu mulai lagi. Ia mencoba membayangkan dirinya sebagai aliran air terjun. Perlahan, ia menurunkan pedangnya… kali ini gerakannya lebih halus, lebih lurus, meski masih ada sedikit goyangan.
Swish!
Angin dari tebasannya membuat dedaunan di sekitarnya bergetar.
“Lebih baik,” kata Yun Hai singkat.
Lin Feng mengulanginya lagi. Dan lagi. Dan lagi. Setiap kali, ia merasakan sedikit perbaikan. Lengan yang awalnya kaku mulai lebih rileks, aliran energi spiritual yang sempat tersendat kini lebih lancar.
Latihan berlangsung hingga matahari tenggelam. Cahaya senja menyoroti wajah Lin Feng yang penuh peluh. Namun di balik lelah itu, ada cahaya semangat yang semakin terang.
“Cukup untuk hari ini,” ucap Yun Hai akhirnya. “Istirahatlah, esok kita lanjutkan.”
Lin Feng terjatuh duduk, pedangnya ia tancapkan di tanah. Mei Xue berlari menghampiri, memberikan kain untuk menyeka keringat.
“Lin Feng, kau… kau luar biasa. Aku tidak pernah melihat seseorang berlatih sekeras ini.”
Lin Feng hanya tersenyum samar. “Aku tidak bisa kalah… tidak lagi.”
***
Hari-hari berikutnya, Lin Feng terus mengulang gerakan yang sama. Pagi, siang, hingga malam. Pedangnya menebas udara ratusan kali. Tangannya melepuh, tubuhnya penuh lebam, tapi ia tidak berhenti.
Pada hari ketujuh, sesuatu berubah. Saat ia mengayunkan pedang, terdengar suara angin pecah.
Whooosh!
Daun-daun kering beterbangan, seolah ditepis oleh kekuatan tak kasat mata.
Yun Hai tersenyum. “Itu dia. Kau mulai merasakan garis lurus yang sempurna. Lanjutkan.”
***
Pada hari ke empat belas, pagi yang cerah. Lin Feng berdiri tegak, matanya setajam elang. Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, lalu menurunkannya dengan satu tebasan lurus.
Zlaaash!
Tanah di depannya terbelah sepanjang tiga langkah, dedaunan beterbangan, udara bergetar.
Yun Hai mengangguk puas. “Lin Feng, kau baru berlatih dua minggu, tapi sudah mencapai apa yang biasanya butuh waktu berbulan-bulan. Bahkan Liu Tian dulu masih tertatih-tatih pada titik ini.”
Lin Feng menatap hasil tebasannya, matanya berkilat. Ia merasakan pedangnya benar-benar menyatu dengan tekad hatinya.
“Guru,” katanya sambil menunduk hormat, “apakah kita bisa melanjutkan latihan ke tahap berikutnya?.”