Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Star Nine
Beberapa hari sebelumnya...
Sore hampir berganti malam. Angin semilir menyapu taman belakang rumah keluarga Wijaya. Di sudut paling sepi dari kompleks itu berdiri sebuah bangunan mungil berarsitektur modern—paviliun satu lantai yang kini menjadi tempat tinggal Arka sejak resmi diumumkannya perjodohan.
Di dalamnya, suasana tenang. Hanya ada satu orang berdiri di depan jendela besar, memandangi langit jingga yang mulai berubah kelabu.
Arka, mengenakan kaos hitam polos dan celana linen gelap, berdiri diam. Cangkir teh di tangan kirinya sudah mulai dingin. Tidak ada ekspresi di wajahnya. Hanya sorot mata tajam, seperti sedang menembus waktu.
Di belakangnya, seorang pria bersimpuh, kepalanya sedikit tertunduk.
Sosok itu mengenakan mantel gelap panjang. Tubuhnya ramping namun aura yang mengalir darinya penuh tekanan. Wajahnya tersembunyi di balik topeng hitam, hanya matanya yang terlihat—dingin, jernih, dan mematikan. Tak ada yang tahu nama aslinya. Tapi di dunia bawah, orang-orang mengenalnya dengan sebutan Nocturne, sang informan paling terkenal di dunia bayangan.
Namun, hanya segelintir orang yang tahu—Nocturne merupakan salah satu bagian dari Star Nine, sembilan eksekutor bayangan yang hanya tunduk pada satu orang—Arka.
“Nocturne,” ujar Arka tanpa menoleh. Suaranya datar, nyaris malas.
“Ya, Tuan.” Suara pria itu pelan, tenang, dan tidak beremosi.
“Apakah kamu sudah mendapatkan informasinya?”
Nocturne mengangguk. Ia membuka saku dalam mantelnya, lalu mengulurkan satu amplop hitam dan sebuah flash drive.
Arka mengambilnya tanpa bicara, lalu berjalan ke meja kecil di sisi ruangan. Ia memasukkan flash drive ke laptop di atas meja. Seketika layar menampilkan data terkait pesta gala amal yang diadakan Reynald. Daftar tamu undangan, lokasi, hingga denah ruangan hotel tempat pesta itu diadakan tercantum dengan rinci dan lengkap.
Arka menyipitkan mata, menatap lekat-lekat layar laptop di depannya. Jarinya bergerak perlahan di atas kursor, menggulir baris demi baris informasi. Tidak banyak yang menarik perhatian Arka. Namun, tiba-tiba gerakannya berhenti.
Satu nama muncul dalam layar. Damian Lim.
Arka mengetuk-ngetukkan ujung jarinya pada meja, lalu membuka file detail tentang pria itu. Data-data pribadi langsung terpampang. Foto wajah yang tampak arogan, rekam jejak pendidikan, bisnis, hingga afiliasi gelap.
“Anak bungsu dari keluarga Lim... salah satu dari Sembilan Naga,” gumam Arka pelan.
Keningnya berkerut ketika membaca bagian yang disorot merah oleh Nocturne:
> “Aktif dalam perdagangan gelap—senjata, narkoba, hingga eksploitasi digital. Tapi selalu bersih di mata hukum.”
Namun yang paling menarik perhatian Arka bukan itu.
Di bagian bawah laporan itu, terdapat satu catatan kecil, ditulis dengan kode internal Star Nine. Arka membacanya perlahan, kata per kata:
> “Tahun ketiga SMA, Damian Lim terlibat penyelundupan narkoba ringan di lingkungan sekolah elitnya. Hampir tidak terdeteksi. Tapi laporan anonim yang kemudian diketahui berasal dari seorang siswi bernama Laras Wijaya berhasil membuat pihak yayasan sekolah bertindak secara diam-diam—Damian dikeluarkan tanpa penyelidikan resmi demi menjaga nama baik sekolah dan jaringan bisnis keluarga Lim.”
Mata Arka menyala tipis.
Ia memutar tubuhnya perlahan, menatap ke arah Nocturne.
“Dia dendam pada Laras?” tanyanya dingin.
Nocturne mengangguk sekali. “Informasi terbaru menunjukkan Damian masih menyimpan amarah itu. Dia menganggap Laras sebagai alasan pertama kenapa namanya tercoreng di kalangan keluarga besar. Selama bertahun-tahun, dia mencari cara untuk membuatnya ‘membayar’, tapi selalu ditahan oleh ayahnya.”
“Dan sekarang?” tanya Arka, suara yang awalnya malas berubah tajam seperti belati.
Nocturne menunduk sedikit. “Sekarang dia bebas. Ayahnya sakit keras. Damian mengambil alih operasional keluarga Lim dalam diam.”
Arka menatap layar laptop di depannya tanpa berkedip. Wajahnya datar, namun sorot matanya menyiratkan badai yang sedang disusun dalam diam. Jemarinya bergerak ringan, menutup file tentang Damian, lalu mengalihkan pandangan kembali ke sosok bersimpuh di belakangnya.
“Nocturne,” panggilnya pelan, namun tegas.
Pria bertopeng itu langsung mengangkat kepala sedikit. “Ya, Tuan?”
“Selidiki lebih dalam tentang Damian dan seluruh jaringan keluarga Lim,” ucap Arka tanpa ragu. “Termasuk afiliasi bisnis gelap, catatan kriminal tersembunyi, hingga siapa saja yang terlibat dalam operasional saat ini. Aku ingin tahu setiap langkah yang mereka ambil, sekecil apa pun itu.”
Nocturne mengangguk. “Baik. Apakah ada batasan dalam penyelidikan ini?”
Arka mengangguk pelan, matanya kembali menatap langit malam yang mulai memucat. “Jangan sentuh mereka. Belum. Biarkan Damian merasa aman. Biarkan dia pikir tak ada yang mengawasinya. Aku ingin tahu siapa saja yang ia percaya... dan siapa yang cukup bodoh untuk mengikutinya.”
“Dimengerti,” balas Nocturne.
Sunyi kembali merambat. Angin di luar meniup tirai jendela, membawa aroma malam yang pekat.
Arka terdiam sesaat. Tapi kemudian, dengan suara pelan namun dingin, ia kembali bersuara.
“Tapi…”
Nocturne menoleh sedikit, menanti kelanjutan perintah.
Arka memejamkan mata sejenak, lalu menatap lurus ke depan dengan sorot yang tak bisa ditawar.
“Jika dia berani menyentuh Laras…” “…seujung rambut pun—jangan biarkan dia hidup dengan tenang.”
Kata-katanya tidak diucapkan dengan kemarahan. Tidak dengan teriakan. Tapi justru karena ucapannya begitu tenang, maka itu terdengar lebih mengerikan.
Nocturne menunduk perlahan. “Perintah diterima.”
Arka berdiri dari kursinya, berjalan pelan menuju jendela yang kini mulai temaram. Ia menyesap teh yang sudah dingin, lalu mendesah pelan.
"Sekarang kamu boleh pergi,” ucapnya tanpa menoleh.
“Baik,” sahut Nocturne.
Dalam sekejap, sosok di belakangnya menghilang begitu saja, seolah ditelan kegelapan. Seperti tak pernah ada di sana.
Di balik jendela kaca, cahaya bulan mulai naik perlahan. Arka berdiri diam, membiarkan angin malam menyusup ke dalam pikirannya. Wajah Laras perlahan terbayang di benaknya—sosok yang dulu memberi roti pada dirinya yang kelaparan, satu-satunya yang tak pernah menghakimi.
Dan sekarang, dia harus melindungi gadis itu... dengan segala cara.
Arka menatap langit yang mulai gelap, seolah sedang menghitung bintang. Tapi bukan bintang biasa.
Di kepalanya, sembilan nama bersinar.
Orang-orang yang selalu setia berjalan bersamanya.
___________
Di dunia yang hanya mengenal dua sisi. Terang dan gelap. Ada sisi ketiga, di mana kebenaran diselimuti sunyi, dan kekuasaan berjalan tanpa suara.
Di sanalah mereka hidup. Sembilan bintang tak bernama. Yang namanya hanya dibisikkan dalam malam paling sunyi. Mereka bukan mitos. Mereka adalah sistem. Mereka adalah kehendak.
Aurelius melangkah di lantai emas, kepalanya tegak di tengah badai negosiasi.
Valentia menari dalam senyap luka, tangannya menyembuhkan… atau mengakhiri.
Sirioth tertawa di tengah reruntuhan akal, eksperimen gila adalah bahasanya.
Pixie bermain-main dengan dunia digital yang goyah, jari mungilnya menaklukkan satelit dan sistem pertahanan negara.
Draven menghantam bumi dengan langkah perang, dengan darah sebagai garis takdirnya.
Nocturne menyelimuti dunia dengan mata tanpa kelopak, melihat segalanya—tanpa pernah terlihat.
Chimera mengganti wajah seperti mengganti takdir, muncul sebagai siapa saja… atau tak ada sama sekali.
Mirael diam di atas menara doa, tarikan pelatuknya adalah bentuk iman yang sunyi.
Velena berbisik dan dunia tunduk, tanpa paksaan, tanpa teriakan—hanya logika yang dibelokkan.
Sembilan rasi, berputar mengelilingi satu pusat yang tak terlihat. Tapi seluruh bintang tunduk padanya.
Arka.