NovelToon NovelToon
Sang Pianis Hujan

Sang Pianis Hujan

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers / Rebirth For Love / Idola sekolah / Tamat
Popularitas:562
Nilai: 5
Nama Author: Miss Anonimity

Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.

Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.

Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 21 : Dimensi Setelah Kepergianmu

Koridor hotel terasa sunyi ketika Freya, Azizi, dan Danni keluar. Langkah mereka berderap cepat, tapi masing-masing terjebak dalam pikirannya sendiri. Freya berjalan paling depan, wajahnya tanpa ekspresi, namun matanya merah.

Azizi mempercepat langkah, sejajar dengannya. "Frey... kalau kau mau, aku-"

"Aku tidak mau membicarakannya sekarang," potong Freya, nada suaranya tegas tapi rapuh. Danni yang berjalan di belakang hanya menatap punggung mereka, memahami bahwa ini bukan saatnya mendorong Freya untuk bicara.

Begitu sampai di lobi, udara dingin dari pendingin ruangan menyambut. Freya berhenti sejenak, memejamkan mata, lalu menarik napas dalam. "Kita pulang," ucapnya singkat.

Azizi mengangguk, meskipun masih terlihat gusar. Dia ingin kembali ke atas dan menghajar Shani sekali lagi, tapi tatapan Freya saat tadi membersihkan luka pria itu membuatnya mengurungkan niat. Ada sesuatu yang lebih berat dari sekadar balas dendam di hati Freya.

Mereka keluar dari hotel, angin malam menerpa. Jalanan di depan terasa lengang. Danni menghentikan langkahnya di samping mobilnya, membuka pintu untuk Azizi.

Perjalanan pulang berlangsung tanpa banyak kata. Lampu jalan berkelebat di luar jendela, sementara di dalam mobil, hanya suara mesin yang terdengar. Azizi memandang Freya lewat kaca spion tengah, berusaha membaca pikirannya.

Sesampainya di depan rumah Freya, ia langsung turun. Azizi ingin ikut masuk, tapi Freya menghentikannya dengan anggukan pelan. "Aku ingin sendiri dulu."

Azizi menelan kata-kata yang sempat ingin diucapkan. Ia hanya mengangguk. "Kalau ada apa-apa, kabari aku."

Freya masuk kedalam rumah. Orang tuanya sudah bilang mereka akan kembali ke luar negeri, jadi Freya sendirian saat ini. Begitu pintu tertutup, ia bersandar di sana, membiarkan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. Tangannya meremas kain bajunya di dada, mencoba menahan perih yang seperti menggerogoti dari dalam.

Di kamar hotel lantai dua, Shani duduk termenung di lantai, punggungnya bersandar pada dinding. Gracia masih memeluk selimut, menatapnya tanpa suara.

"Kenapa kau bilang begitu tadi?" tanya Gracia akhirnya, suaranya rendah tapi mengandung kemarahan. "Kenapa kau bilang kau mencintai dia?"

Shani memejamkan mata. "Karena itu kenyataannya."

Gracia menggigit bibir, menahan kata-kata. Selimut di tangannya bergetar. "Tapi meski begitu, akulah pemenangnya." Shani tidak membalas. Sunyi terasa menyesakkan.

...***...

Keesokan harinya, Freya terbangun dengan mata sembap. Jelas sekali kalau dia menangis semalaman. Freya merasa kalau hari ini tubuhnya lemas. Ia mengambil handphone di atas nakas, kemudian mulai menghubungi Azizi.

"Hallo, Frey. Mau aku jemput gak?"

"Aku absen hari ini, aku tidak enak badan." Balas Freya.

"Ok, nanti sepulang sekolah, aku sama Danni bakal mampir. Kamu istirahat aja hari ini." Ucap Azizi.

"Terimakasih." Balas Freya, kemudian mematikan sambungan teleponnya.

Freya malas untuk bangun, tapi rasa lapar tiba-tiba menderanya. Freya menyingkap selimut dengan pelan, kemudian berjalan ke kamar mandi. Ia hanya mencuci wajahnya saja dengan singkat, kemudian keluar dari kamarnya.

...***...

Setelah sarapan selesai, Freya berniat kembali ke kamarnya, tapi seseorang datang bertamu tanpa di undang. Freya berjalan untuk membuka pintu, tapi yang berdiri di sana, adalah orang yang membuatnya menangis semalaman. Keduanya hanya berdiri mematung tanpa kata.

"Shani.." lirih Freya.

"Kamu—sedang tidak enak badan? Wajahmu pucat." Ucap Shani. Dia sadar siapa yang membuat Freya seperti ini.

"Ada apa?" Tanya Freya datar.

Shani sempat ragu, tapi memang harus di katakan. Shani menghela nafas pelan, "Aku ingin minta maaf, untuk kesekian kalinya." Ucapnya.

"Aku sudah bilang kalau aku gak akan maafin kamu sampai kapanpun." Balas Freya, tanpa merubah ekspresi datarnya.

Shani mengangguk kecil memahami. "Aku memang tidak pantas untuk dapat maaf dari kamu. Meski hubungan kita sudah selesai, tapi belum berakhir secara resmi. Aku datang kesini, untuk mengakhirinya. Dan mengucapkan selamat tinggal."

Freya menatapnya lama, mencoba membaca niat di balik tatapan Shani. Tidak ada lagi panasnya amarah atau kilau kebohongan yang dulu pernah ia lihat—hanya kelelahan.

"Kalau begitu, silakan," ucap Freya pelan, tapi tajam.

Shani menelan ludah, lalu menunduk sedikit. "Aku nggak akan ganggu hidup kamu lagi. Aku harap… kamu bisa bahagia, meski bukan sama aku."

Freya memalingkan wajah. "Kebahagiaan itu nggak ada hubungannya sama kamu lagi."

Shani mengangguk, bibirnya bergerak seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Ia melangkah mundur, menatap Freya untuk terakhir kalinya, lalu berbalik pergi. Pintu menutup di antara mereka, meninggalkan hening yang menusuk telinga. Freya bersandar di pintu, menatap lantai kosong di depannya. Bagian dirinya ingin runtuh, tapi bagian lainnya justru merasa lega—seperti beban yang lama ia pikul akhirnya jatuh, meski menimpa kakinya sendiri. Di luar, Shani berdiri sebentar di teras, menarik napas panjang, lalu berjalan pergi.

Freya mengalami moment emosional setelah hari itu. Ia jarang berkumpul dengan Azizi dan Zheng Danni. Hidupnya kembali ditemani kesepian. Sejak hari itu, kehidupannya terasa lebih sunyi dari biasanya. Dinding kamarnya seakan memantulkan kembali setiap helaan napasnya, setiap langkah kecil yang ia ambil di lorong. Makan menjadi sekadar rutinitas tanpa rasa, dan tidur hanya menjadi jeda singkat dari pikiran yang berputar tanpa henti. Foto-foto di meja riasnya kini seperti barang asing—tersenyum, memandang, tapi tidak lagi menghangatkan. Sesekali ia menatap lama, berharap bisa merasakan kembali momen yang terekam di dalamnya, namun yang datang justru rasa sesak di dada.

Hari-hari di sekolah berlalu tanpa warna. Ia datang, duduk, mencatat, pulang. Tidak ada lagi percakapan panjang dengan Azizi atau tawa ringan bersama Danni di kantin. Mereka masih ada di sana, tapi jarak yang tidak kasat mata membuatnya sulit untuk benar-benar mendekat.

Malam adalah bagian terburuk. Saat orang-orang tertidur, pikirannya bekerja lebih keras. Kenangan masuk tanpa permisi—kilasan wajah, sentuhan, suara, semuanya bercampur dengan kenyataan yang pahit. Air mata sering jatuh begitu saja, meski ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti menangis. Namun, di sela-sela kesunyian itu, ada satu hal yang perlahan ia sadari, rasa sakit ini, meski menghancurkan, tidak sepenuhnya mematikan. Ada bagian kecil dalam dirinya yang tetap bertahan, menunggu saatnya untuk berdiri lagi. Tapi sampai saat itu tiba, ia membiarkan dirinya larut dalam sepi, memeluk kesedihan seperti sahabat lama yang tak diundang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!