NovelToon NovelToon
Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Light Novel
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: nazeiknow

Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.

Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.

Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.

Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.

Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 12: di lembah kematian

Oni besar itu berbalik tanpa berkata apa-apa, lalu mulai berjalan pelan menjauh, masuk lebih dalam ke hutan demi mencari kayu. Angin sejuk berhembus, menari-nari bersama daun-daun gugur yang berserakan.

Di sisi lain, Oiko sudah tertidur sambil duduk bersandar di pohon. Napasnya pelan, wajahnya tampak tenang walau tubuhnya masih penuh bekas luka. Rinya menatapnya dari samping, lalu muncul ide di kepalanya: “Aku mau ngagetin dia!”

Dengan pelan, Rinya melepaskan diri dari pangkuan Oiko, lalu berjingkat pelan ke belakang. Mikami melihat gerakan aneh itu, mengangkat alis. “Hei, kamu mau ke mana?” tanyanya curiga.

Rinya tak menjawab, hanya memberi isyarat ‘diam’ dengan jari telunjuk di depan mulutnya.

Begitu sampai tepat di belakang Oiko, Rinya mengangkat kedua tangan lalu berseru pelan,

 “WAAA!!”

Mikami menyipitkan mata, lalu menghela napas.

“Suaramu terlalu kecil... ditambah imut... Nggak akan bangunin dia,” komentarnya santai.

Dan benar saja, Oiko masih tertidur nyenyak, bahkan tak bergerak sedikit pun.

Beberapa menit kemudian, Oni kembali dari dalam hutan sambil menggendong tumpukan kayu besar di bahunya. Ia meletakkannya di depan Mikami, lalu berkata, “Tolong buatkan api.”

“Siap,” jawab Mikami singkat, langsung berdiri dari duduknya dan mulai menata kayu.

Sementara itu, Oni berjalan ke arah mayat serigala humanoid yang telah mati. Ia mulai menyeret tubuh besar itu menjauh, tanpa rasa canggung sedikit pun.

Di dekat api, Oiko akhirnya membuka mata. Kelopak matanya berkedip perlahan, pandangan buramnya mulai jelas. Ia melihat cahaya api yang mulai menyala.

Lalu, dari belakang, Rinya yang masih belum menyerah berseru lagi

 “WAAA!”

Namun kali ini Oiko hanya diam. Wajahnya datar. Ia mengangkat tangannya, lalu perlahan mengusap lembut telinga Rinya yang di atas kepala.

“Hei!” Rinya kesal, pipinya mengembung seperti balon kecil.

“Hmph!” serunya sambil cemberut.

Mikami hanya bisa tertawa kecil melihat aksi gagal Rinya, sementara Oiko tetap tenang, matanya kembali menatap ke arah nyala api yang mulai hangatkan suasana.

Oiko masih diam.

matanya menatap langit yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hutan. Cahaya matahari menyelinap lewat celah-celah daun, menari di udara yang mulai menghangat.

Tiba-tiba, plak!

Sebuah daun kering tertiup angin dan menempel di wajah Oiko.

“Ugh...” gumamnya pelan.

Ia mengangkat tangan, mengambil daun itu dari wajahnya, lalu membuangnya perlahan. Setelah itu, tatapannya kembali naik ke atas ke arah dedaunan yang seolah tak ada ujungnya, membentuk atap alami hutan.

Sementara itu, di dekat api unggun, Oni mulai menusuk daging menggunakan ranting pohon. Ia melakukannya dengan telaten, lalu menaruhnya di atas batu pipih yang diletakkan tepat di atas nyala api kecil.

Oiko masih menatap langit saat bertanya, “Nama kamu... ada nama, kah? Dari ras Ogre...”

Oni menoleh, menatap wajah Oiko dari samping, lalu menjawab dengan suara berat namun hangat, “Namaku Mous. Udah jelas, sekarang.”

Oiko mengangguk pelan. “Ohh...” gumamnya, masih dalam posisi santai, duduk dan menatap ke atas.

Tak lama, bayangan kecil masuk ke dalam pandangan Oiko—Rinya, dengan wajah cemberut, berdiri di hadapannya.

Oiko hanya menatapnya datar, lalu perlahan menutup mata.

“Dasar Oiko bodoh!” seru Rinya kesal.

Oiko membuka mata lagi dan tersenyum kecil, ekspresinya terlihat konyol namun hangat. Lalu dengan gerakan cepat, ia menjulurkan tangan dan menarik tubuh mungil Rinya ke arahnya.

“Ehhh?! B-bodoh! Bodoh! Mesum...!” Rinya memberontak pelan, namun akhirnya mendarat di pangkuan Oiko yang masih duduk bersandar.

Oiko mengusap pelan telinga-telinga Rinya yang berbulu halus di atas kepalanya. Rinya langsung memerah, wajahnya jadi merah tomat, mulutnya hanya bisa bergumam kesal tanpa daya.

Mous, yang sibuk memanggang daging, melirik sekilas dan tersenyum kecil. “Kalian akrab, ya,” katanya kepada Oiko dan Rinya.

Dari sisi lain, Mikami tertawa kecil sambil menusuk-nusuk potongan daging lainnya di atas ranting. Angin hutan berhembus pelan membawa aroma daging panggang dan udara segar memenuhi ruang.

Suasana mulai terasa hangat dan damai, meski mereka masih berada di Lembah Kematian yang penuh misteri.

...

Aroma daging panggang menguar hangat, perlahan mengisi udara hutan yang tenang. Api kecil memantulkan cahaya jingga ke wajah-wajah mereka. Beberapa potong daging tusuk telah matang, dan salah satunya sudah berpindah ke tangan Mikami.

Ia menggigit ujung tusukan itu, mengunyah pelan, lalu menelan. Setelahnya, Mikami mengangguk kecil dan berkata ke arah Oiko, “Ini... lumayan enak.”

Oiko hanya melirik sebentar dari tempatnya duduk. Rinya masih memeluknya dalam posisi tertidur, napasnya lembut. Oiko tak banyak bicara, hanya memandangi api dan mendengarkan suara malam.

Mous, si Oni, duduk bersila di depan api unggun. Tatapannya tenang, namun penuh rasa ingin tahu.

“Kalian...” katanya membuka percakapan. “Kenapa bisa sampai di sini?”

Oiko menghela napas pelan sebelum menjawab, “Kecelakaan...”

Mous mengangguk singkat. “Oh... Tapi bisa sampai sejauh ini juga bukan hal biasa.”

Mikami ikut menimpali sambil menggigit lagi daging tusuk di tangannya. “Memangnya kita ini... beneran di Lembah Kematian, ya?”

Mous mengangguk. “Iya. Tapi ini bagian paling ujung dari lembah ini, mendekati batas wilayah. Kalau bicara soal jarak dari tempat asal kalian...”

Oiko menoleh perlahan, matanya mulai serius.

“Sejauh apa...?” tanyanya hati-hati.

Mous menatap mereka satu per satu, lalu berkata, “Mungkin... sekitar 7.000 kilometer.”

Mikami yang sedang mengunyah langsung tersedak, tubuhnya condong ke depan. “O-ohok! Ohok! Haaah?! Sejauh itu?!”

Mous hanya tersenyum kecil. “Kalau jalan kaki tanpa henti, mungkin butuh dua ratus hari... atau lebih.”

Keheningan menyelimuti sejenak. Oiko menatap tanah, lalu mengangkat tangan pelan, meraih salah satu tusukan daging yang sudah matang.

Ia menatap daging itu sekejap, lalu menggigit perlahan dan menelannya.

“...Panjang juga perjalanannya,” gumamnya pelan, sambil menatap api yang terus berkobar.

Malam makin pekat. Tapi percikan api itu seperti memberi harapan di tengah gelapnya hutan dan jauhnya kampung halaman.

...

Oiko mengunyah daging tusuk dengan mulut penuh. Suara kunyahannya mendominasi, lalu ia mulai bicara, namun suara itu keluar dengan tak jelas, “Wowowusowo…”

Mikami yang duduk tak jauh hanya menatapnya datar.

Mous mengerutkan alis, “Hah? Kamu ngomong apa?”

Oiko buru-buru menelan, lalu mengulang, kali ini dengan lebih jelas, “Aku bilang, jadi... ini daerah paling kuat monster-nya, ya? Karena letaknya di ujung Lembah Kematian.”

Namun, jawaban Mous justru membuat mereka terdiam.

“Salah. Justru di sini tempat para monster yang lemah… kayak aku,” jawabnya sambil tertawa getir. “Kalau kalian ke bagian dalam, monster-monster di sana bisa 10 kali... bahkan 100 kali lebih kuat dari aku.”

Wajah Mikami langsung memucat, tubuhnya bersandar ke belakang. “Jadi... kita harus... masuk ke dalam?”

Oiko pun terdiam sejenak, matanya membesar. "Jadi ini... bagian terlemah?" pikirnya. Seketika panik mulai mengisi benaknya.

Namun sebelum ia sempat berkata lagi, sebuah gerakan kecil di pangkuannya membuatnya kembali sadar. Rinya mulai terbangun, masih dalam pelukan Oiko, matanya tertutup setengah.

“Hmmm…” gumam Rinya pelan, lalu hidungnya mencium aroma daging panggang. Perutnya mengeluarkan suara pelan, grrrkkk…

Lalu tanpa sadar, Rinya menggigit sesuatu—dan ternyata, bibir Oiko.

“EHHHH!!” Oiko kaget, tubuhnya tersentak.

“Aww! Sakit! Eh, eh, itu bibirku!”

Rinya membuka mata perlahan, melihat dirinya tengah menggigit bibir Oiko. Seketika wajahnya memerah seperti tomat matang. Ia buru-buru bangkit dari pelukan itu.

“U-u-uhhh... M-maaf!”

Lalu dengan gerakan canggung dan wajah memerah, Rinya berdiri di depan Oiko dan menunduk sambil memukulkan kedua tangannya ke dadanya sendiri, gemas.

“B-b-bodoh! M-mesum!” katanya dengan suara pelan tapi tajam, sebelum memalingkan muka, pipi masih memerah.

Oiko hanya bisa mengusap bibirnya yang sedikit perih sambil menatap kosong ke depan.

Mikami yang melihat adegan itu... hanya menggeleng sambil tersenyum geli.

1
Protocetus
jika berkenan mampir ya ke novelku Frontier
HarusameName
bukan hasil AI 'kan, ini?
HarusameName: Narasinya bagus, loh! Nice work.
nazeiknow: kalau ga libur up chapter nya per hari "Minggu"
total 4 replies
nazeiknow
JANGAN LUPA LIKE TEMAN BIAR SAYA LEBIH SEMANGAT MENULIS CERITA INI KALAU BISA LOVE LOVE DI PENCET 😉
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!