NovelToon NovelToon
Si PHYSICAL TOUCH

Si PHYSICAL TOUCH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Beda Usia / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Harem
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: gadisin

Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.

"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.

"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.

Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.

Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ayah dan Ibun

Dalam tidur nyenyaknya Merzi diusik oleh sentuhan pelan di keningnya. Suara lembut mengalun indah memasuki gendang telinganya.

"Sayang, bangun. Sudah pagi. Saatnya bersiap untuk berangkat ke sekolah. Merzi. Sayang …."

Matanya bergerak perlahan dan terbuka. Ternyata sang ibu membangunkannya.

"Ibun?"

Ibunya balas tersenyum. "Selamat pagi, Putri Ibun." Katanya sambil mengecup kening Merzi.

Senyum Merzi seketika mengembang. "Pagi, Ibun." Balasnya lalu menarik tubuh agar duduk.

Nyonya Waiduri Oldrich menyampirkan anak rambut Merzi ke sela telinganya.

Tangan halus sang ibu membuat Merzi damai. Dia meraih tangan itu dan mengusapnya ke pipinya. Sekarang dia tahu dari mana berasal kulit halus dan lembut miliknya.

"Tidur kamu nyenyak?"

"Sangat nyenyak dan selalu nyenyak, Bun. Bagaimana dengan ibun?"

"Sama. Jika kamu merasa demikian maka ibun juga. Sekarang bangun dan bersiap-siaplah." Punggung tangan Merzi ditepuk-tepuk sayang. "Mau ibun bantu merapikan rambutmu nanti?"

"Mau!" Jawabnya langsung.

Hal yang paling menyenangkan adalah ketika rambutmu disisir dan diikat oleh ibumu.

"Kalau begitu ibun akan menunggu disini. Atau kamu mau ibun mandikan juga?" Canda nyonya Waiduri Oldrich dengan kekehan kecil.

Wajah Merzi seketika berubah masam dan memberungut. "Merzi memang akan selalu menjadi putri kecil ibun. Tapi—argh! Masa memandikan saya?!"

"Ibun hanya bercanda. Ayo, bersiaplah segera. Nanti malah kesiangan."

Setelah itu Merzi bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Dikamarnya nyonya Waiduri Oldrich membuka jendela kamar dan balkon. Sejenak wanita jelang enam puluh tahun itu memandang halaman belakang yang bisa melihat rumah-rumah para pekerja.

"Ternyata ini alasan kenapa putriku suka duduk disini." Gumam nyonya Waiduri Oldrich menggelengkan kepalanya.

Wanita itu bisa melihat beberapa pekerja yang keluar dari kamar bersiap untuk bekerja. Salah satu diantara mereka ada Ebha.

Setelah memandang dan menghirup udara pagi, nyonya Waiduri Oldrich kembali masuk ke dalam kamar. Kakinya melangkah memasuki walk in closet. Memeriksa dan melihat barang-barang putrinya yang sangat banyak.

Dari baju, gaun, perhiasan dan aksesoris juga sendal dan sepatu. Beberapa saat sibuk dengan penelitiannya, wanita itu mendengar suara Merzi dari luar.

"Ibun? Ibun sudah pergi?"

"Belum, Merzi. Ibun disini, Nak." Balasnya ikut mengeraskan suara tapi dia juga melangkah ke luar.

"Saya pikir ibun sudah pergi." Ucap Merzi mendapati ibunya di ruang gantinya.

"Tidak mungkin. Ibun kan sudah mengatakan akan merapikan rambut kamu?"

"Hm… yeah," Merzi melangkah masuk, "saya akan memakai seragam dulu kalau begitu."

Dan begitulah hingga ibu beranak itu berhadapan didepan cermin rias di dalam kamar Merzi.

Gerakan tangan nyonya Waiduri Oldrich halus ketika menyisir lalu menuangkan vitamin rambut di rambut Merzi.

"Jadi, bagaimana rasanya?"

Mata Merzi terpejam menikmati pijatan lembut yang diberikan sang ibu dikepalanya. Ketika ibunya melontarkan pertanyaan dia masih memejam.

Dengan nada santai dia melemparkan pertanyaan kembali. "Hm? Rasa apa, Ibun?"

"Rasanya memiliki kekasih. Apa yang kamu rasakan?"

Saat itulah matanya terbuka. Merzi memandang wajah ibunya dari pantulan cermin didepannya.

Gerakan tangan nyonya Waiduri Oldrich tidak berhenti, tapi dia juga melihat Merzi didepan cermin. Wanita tua tapi awet muda itu menahan senyum melihat perubahan rona wajah diatas pipi anaknya.

"A-apa, Bun?"

Kini kedua tangan nyonya Waiduri Oldrich memegang pundak Merzi. Wajahnya menunduk lalu membisikkan kalimatnya.

"Berpacaran dengan Ebha. Ibun rasa cukup menyenangkan, bukan?"

Kalimat ibunya begitu nyata. Merzi meneguk ludah dan menoleh ke samping. Dimana wajah nyonya Waiduri Oldrich berada.

Sambil cengengesan dia menjawab gugup. "Hehe. Yeah …. Eumm seperti itulah, Bun." Mengangguk patah-patah, "me-menyenangkan. Seperti yang ibun katakan."

"Ebha bersikap baik?"

Seketika putaran adegan Ebha yang mencekik lehernya seraya menerjang bibirnya dengan ciuman panas terlintas. Wajahnya semakin merah bagai tomat kematangan.

Bagian Ebha yang memegang lehernya entah kenapa begitu Merzi sukai. Padahal seharusnya leher adalah bagian sensitif jika dibandingkan pinggang. Tapi dia suka setiap kali Ebha menjepit leher kecilnya dengan telapak besar lelaki itu.

Apalagi ketika lidah—

"Sayang? Hei, apa yang kamu lamunkan? Kamu sakit? Wajah kamu begitu merah."

"Yaa— tidak." Merzi tersadar. Matanya kembali fokus pada wajah cantik ibunya. "Maksud saya ibun bilang apa barusan?"

Kali ini gantian kening nyonya Waiduri Oldrich yang berkerut.

"Yang mana? Wajah kamu begitu merah?"

"Tidak. Sebelumnya."

"Kamu sakit?"

Kepala Merzi menggeleng lagi. "Bukan itu, Ibun. Sebelumnya lagi."

Kebingungan nyonya Waiduri Oldrich langsung terbang menghilang. Kembali berganti menjadi mimik menjahili anaknya.

"Oh. Jadi karena itu wajah kamu berubah merah. Karena Ebha tidak bersikap baik? Oke. Kalau begitu—"

"—tidak, Ibun!" Gadis itu menggeleng ribut bahkan tangannya ikut bergoyang didepan wajahnya. "Ebha selalu bersikap baik. Mana mungkin Ebha bersikap kasar pada saya." Sangkalnya.

Nyonya Waiduri Oldrich memicing. "Kamu yakin?"

"Tentu saja yakin! Apa yang perlu diragukan dari Ebha, Bun?" Badannya kembali berputar menghadap cermin sambil bersedekap dada. "Ayo, Ibun, saya akan terlambat sekarang."

Tawa nyonya Waiduri Oldrich keluar pelan. Dia mengambil sisir kembali dan segera mengikat rambut putih Merzi.

Setelah selesai kedua berjalan beriringan menuju ruang makan.

"Apakah ayah sudah bangun?" Tanya Merzi ketika mereka tiba didepan lift yang menghubungkan lantai dasar tempat ruang makan.

"Sepertinya sudah. Mungkin sekarang menunggu diruang makan."

Nyonya dan nona Oldrich itu melangkah anggun. Mereka bagai pinang dibelah dua. Wajah mereka begitu mirip, hanya saja Merzi mempunyai rambut putih sedangkan ibunya pirang. Rambut putihnya ini turunan dari ayahnya.

"Selamat pagi, Ayah." Merzi melangkah mendekati sang ayah yang ternyata benar sudah menunggu dua perempuan belahan jiwanya di meja makan.

"Selamat pagi, Putriku." Tuan Oldrich Jay mencium kedua pipi Merzi bergantian. "Bagaimana tidurmu, Nak?"

"Nyenyak. Dan ayah?"

"Nyenyak hanya sebentar karena setelah itu ayah merasa napas ayah menjauh." Ucap tuan Oldrich Jay seraya melirik istrinya. Kalimatnya bagai sindiran untuk sang istri yang meninggalkannya sebelum dia bangun.

Merzi terkekeh mendengar kalimat sang ayah. Dia tahu maksud kalimat pria tua tertampan dalam hidupnya ini.

"Kamu selalu mengeluarkan kata-kata puitis akhir-akhir ini, Sayang." Sahut nyonya Waiduri Oldrich sambil melayangkan kecupan di pipi suaminya.

Merzi selalu bergedik melihat kemesraan kedua orang tuanya yang semakin berumur semakin kasmaran.

"Oho! Itu adalah ungkapan seorang suami yang kesepian menyambut paginya, Istriku."

"Hentikan, Ayah, Ibun. Saatnya kita sarapan." Potong Merzi segera ketika melihat ibunya yang akan menyahuti ucapan ayahnya.

"Haha! Baiklah, Nak. Mari sarapan."

Ketiganya segera menyantap sarapan yang telah disajikan.

Selang beberapa saat mereka selesai. Tuan Oldrich Jay menyeka mulutnya dengan tisu.

"Kamu pergi dengan Ebha lagi ke sekolah." Beri tahu tuan rumah itu pada anaknya.

Meneguk habis susu stroberinya barulah Merzi menyahut. "Kenapa, Yah?"

"Karena Lym tidak bisa mengantar dan menjemput kamu beberapa hari yang akan datang."

"Kenapa tidak bisa?"

"Kenapa terus bertanya, Merzi? Bukankah dulu kamu sendiri yang cukup Ebha saja yang menjadi sopir sekaligus bodyguard kamu? Hm?"

"Hehe," Merzi menggaruk hidungnya, "ya, Ayah. Saya hanya bertanya. Kalau begitu biarkan Ebha kembali menjadi sopir dan bodyguard saya."

"Saya malah kepikiran mencari sopir baru untukmu."

Merzi tentu menggeleng. "Tidak perlu, Ayah. Ebha saja sudah cukup."

"Tentu saya tidak akan membiarkan kalian berduaan setelah apa yang terjadi diantara kalian."

Gluk! Matilah kau Merzi. Sepertinya ayah tahu kalau kau dan Ebha sudah berciuman! Paniknya dalam hati.

Karena hal itu Merzi hanya mampu mengangguk dan segera bangkit dari bangku.

"Ba—baiklah, Ayah. Kalau begitu saya berangkat sekolah dulu."

1
_senpai_kim
Gemes banget, deh!
Diana
Aduh, kelar baca cerita ini berasa kaya kelar perang. Keren banget! 👏🏼
ASH
Saya merasa seperti telah menjalani petualangan sendiri.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!