NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 12 - Kecurigaan

Beberapa saat lalu—usai tiba di tempat ini, Darius entah mengapa mengeluh kepalanya sakit. Dibantu dengan sopir, aku menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah.

Membaringkannya ke atas kasur yang berdampingan dengan jendela besar, menampilkan langsung bibir pantai beserta gelungan ombak yang memukau.

Satu dua detik aku terpana—bukan hanya karena pemandangannya yang elok, karena merasa aku sedang bermimpi. Sekali lagi kukatakan, ini mirip seperti apa yang selama ini aku impikan juga inginkan.

“Kamu istirahat saja dulu, Mas,” kataku pada Darius yang terlihat sesekali memejamkan mata.

Aku berasumsi, barangkali dia terlalu kuat untuk mencoba mengingat apa yang telah hilang dalam ingatannya.

Meregangkan seluruh indera perasa, aku benar-benar menikmati—seakan segala beban yang terbenam dalam kepala sedikit meluruh sejak tiba di rumah ini.

Rumah ini berdiri di tanah yang sedikit lebih tinggi dari jalan setapak menuju pantai. Dari teras belakang, garis laut terlihat memanjang seperti lukisan hidup yang selalu berubah warna tergantung waktu. Suaranya samar, cukup untuk membuat malam-malam sepi terdengar berdenyut.

“Jam empat sore,” gumamku sembari menunduk, menatap arloji yang melingkar pada pergelangan tangan.

Seusai memastikan Darius terbaring nyaman di kasur, Sopir sudah berpamitan pergi. Sehingga di rumah ini hanyalah kami berdua. Untungnya rumah ini tidak benar-benar terpencil sendirian, pemukiman tersebar tak padat di sekitaran sini.

Aku berjalan belok, menuju dapur yang menyatu dengan ruang makan. Meja makan kayu panjang dengan empat kursi melingkar di sekitarnya, dibiarkan polos tanpa taplak atau hiasan. Dindingnya dihiasi rak piring terbuka dan toples-toples kaca berisi rempah yang entah masih bisa digunakan atau tidak.

Kompor tua menempel pada dapur semen cor, dan di atasnya, jendela kecil memperlihatkan langit yang yang tak lagi berwarna biru. Sesaat aku berpikir, sebelum langit menggelap aku harus memasak apa?

Alih-alih berpikir untuk memasak sesuatu, aku teringat bahwa kami dibekali beberapa makanan yang siap untuk dihangatkan—termasuk sup ayam kampung kesukaan Darius yang tinggal setengah.

“Aku mencium bau masakan,” ucap seseorang—yang bukan lain adalah Darius, suaranya berat tetapi datar.

Aku melongok ke samping, entah karena terlalu fokus dan menikmati suasananya aku sampai tidak sadar bahwa keberadaannya berada di sekitarku. Bahkan suara langkah kakinya di lorong untuk bisa sampai ke sini sama sekali tak mampir ke telinga.

Dia berdiri di sana—dengan kaus hitam longgar dan celana kain kusut. Wajahnya sedikit pucat, rambutnya kusut, dan satu tangannya memegang pelipis.

Melihatnya yang seperti itu membuatku menghela napas. Aku terdiam sesaat sebelum berbicara, “Kamu seharusnya istirahat. Bukankah tadi kamu mengeluh kepalamu sakit, Mas?”

Alih-alih berbalik badan dan kembali membaringkan tubuhnya ke kasur, Darius malah melangkah mendekat. Meraih kursi, duduk sembari menopang kepalanya menggunakan kedua tangan.

Dia memandangiku tanpa ekspresi. “Aku lapar, Soraya.”

Suara gemericik air dari panci yang kudiamkan di atas kompor terdengar menenangkan—mengisi kekosongan di antara kami. Aroma tumisan bawang dan cabai memenuhi dapur mungil ini, bercampur dengan bau kayu tua dan sisa angin asin dari laut yang menyusup lewat celah jendela.

“Aku bisa mengantarnya ke kamar.”

Darius menggeleng. “Aku ingin makan di sini. Melihat kamu.”

Segera aku membalikkan badan, kembali menatap kompor dengan dua tungku yang menyala—satu menghangatkan sup ayam kampung untuk Darius, satu lagi untuk menghangatkan ayam balado kesukaanku.

“Apa yang ingin dilihat? Aku hanya memanaskan makanan yang diberikan oleh mereka. Aku tidak sedang memasak, Mas,” kataku, sedikit mendesak.

Bukan apa, setidaknya jika dia berada di kamar aku tak merasakan perubahan atmosfir di sini. Aku bisa merasa lega, menikmati suasana yang amat kusukai seraya melihat interior di rumah ini—yang baru sebagian ku jajaki.

“Biar saja. Kenapa kamu seperti sedang mengusir tuan rumah ini?”

Aku diam tak membalas. Fokus pada makanan. Akan panjang obrolannya jika sampai disahuti.

Lima menit kemudian, dua menu itu terhidang di meja makan. Dua porsi nasi yang dibungkus—tercetak menggumpal dan dingin sudah aku pindahkan ke dalam dua piring, sedang lauknya aku juga sudah aku berikan pada masing-masing piring kami.

“Kamu serius hanya menyiapkan makanan ini?”

Aku urung memasukkan makanan ke dalam mulut, menatapnya yang membuat ekspresi aneh—aku tidak mengerti, apa yang membuatnya protes kali ini.

“Sisa makanannya aku simpan di kulkas, sayang kalau tidak habis. Lagi pula kamu kan tidak makan banyak belakangan ini,” jawabku apa adanya.

Tapi sepertinya itu bukan jawaban yang diinginkannya. Aku memilih menunggu sampai dia bicara sendiri, tatapannya itu berhasil membuat kerongkonganku kering.

“Aku tidak pernah lupa, Soraya.” Telunjuknya mengetuk meja, sejurus kemudian matanya turun—menatap penuh sepiring ayam balado milikku.

Lidahku kelu. Mendadak aku kesulitan menelan ludah. Mulai menduga ke mana muara dari obrolan yang dia maksud.

“Kamu tidak suka makanan pedas. Tidak sedikitpun, tapi sekarang kamu menyiapkan satu piring ayam balado yang dari baunya saja aku bisa menyimpulkan ini sangat amat pedas. Kamu—”

“Tunggu, Mas,” aku memotong pembicaraan lebih dulu, sebelum Darius yang terlalu jauh menyimpulkan.

Secepat kilat aku memaksa isi kepalaku untuk berpikir—mencari alasan yang tepat.

“Saat kamu di rumah sakit untuk menjalani perawatan, aku banyak mencoba hal baru. Termasuk membiasakan diri untuk memakan makanan pedas.”

Mataku bergulir cepat, mencoba menyembunyikan kebohongan ini agar tak terendus. “Dan seperti yang kamu lihat sekarang, aku sudah bisa memakan makanan seperti ini.”

Hening menyergap. Bunyi keroncongan dari perut Darius mengisi di detik selanjutnya. Mungkin kadung kelaparan, dia mengabaikan jawabanku yang entah terdengar natural atau tidak.

Sejurus kemudian, suara dentingan sendok dan garpu di meja makan benar-benar mengisi keheningan. Kami hanya fokus pada makanan masing-masing, aku tetap melahap meski sesekali memandangi Darius yang duduk dihadapanku—memastikan bahwa dia tak memasang ekspresi mencurigakan.

“Aku tidak tahu ini baik atau tidak untuk keberlangsungan sandiwara kita, tetapi terkadang kamu benar-benar berbeda, Soraya.”

Mataku memindai pergerakan Darius yang perlahan beringsut dari kursi—piring di tangannya kosong. Kemudian dia bergerak menuju wastafel, tetap berdiri di sana meski aliran air kran tak lagi dinyalakan.

Aku mengamati punggungnya dengan saksama. Jantungku berdebar, meyakini bahwa dia masih akan berbicara.

“Juga tentang rumah ini. Aneh sekali rasanya.” Darius terlihat mengusap-usap rambut. “... Mengapa bisa aku melupakan rumah ini? Aku benar-benar tidak bisa mengingat apapun.”

Setelahnya Darius menengok, kami bertatapan.

“Jika rumah ini saja bisa hilang dalam ingatanku, apa mungkin ada hal lain juga yang kulupakan?”

Aku bisa saja menjawab terkait kebenarannya. Tapi entah mengapa—setelah tahu bahwa aku sudah terlalu dalam tenggelam dalam sandiwara ini, ditambah belakangan ini juga banyak sekali hal yang ganjil, aku berpikir dua kali untuk melakukannya.

Toh, kembali pada Arjuna setelah semua ini terjadi pun rasanya mustahil, kan?

Dan seperti yang kukatakan sebelumnya, aku akan mengupas semua ini. Satu per satu.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!