Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Namun, alih-alih merasa tersudut, Paman Gregor justru tersenyum tipis. Ia melipat tangan di dadanya, menatap Arana dengan mata penuh perhitungan. “Pangeran Arana,” katanya, suaranya kini lebih dingin dan penuh tekanan, “Putri Yuki telah berhutang banyak pada negeri ini atas kematian Pangeran Sera. Argueda kehilangan pewarisnya, kehilangan pahlawannya. Kematian kakakmu bukan sesuatu yang bisa kita biarkan berlalu begitu saja tanpa kompensasi.”
Ia kemudian mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tatapannya semakin tajam. “Jadi, apa salahnya jika dia berkorban untuk membayar hutang itu? Melahirkan dua anak lagi untuk Argueda bukanlah sesuatu yang berlebihan. Jika anak-anak itu memang ditakdirkan memiliki masa depan besar, maka bukankah lebih baik mereka berada di tangan kita? Meskipun tidak cukup untuk menggantikan kehilangan yang kita derita, setidaknya itu bisa menunjukkan ketulusannya pada Argueda.”
Kata-kata itu menggantung di udara, membawa suasana yang semakin mencekam. Arana mengepalkan rahangnya, matanya berkilat marah, sementara Raja Jafar tetap diam, membiarkan ketegangan itu berkembang sebelum akhirnya mengambil keputusan.
Suasana di dalam ruang rapat semakin memanas. Pangeran Arana menatap Paman Gregor dengan kemarahan yang membara, sementara Kakek Veyron tetap duduk dengan tenang, meskipun sorot matanya mengisyaratkan ketidaksetujuan yang mendalam.
“Lalu bagaimana Yuki bisa hamil anak keempat jika Sera sudah tidak ada?” tanya Kakek Veyron dengan nada yang datar, tetapi tajam. Ia ingin mendengar langsung bagaimana Paman Gregor akan menjawab pertanyaan itu, karena ia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini akan menuju.
Paman Gregor tersenyum tipis, seolah pertanyaan itu sudah ia antisipasi. “Tentu saja, ada Pangeran Arana yang akan membantu. Bukankah begitu, Pangeran Arana?”
Ruangan mendadak sunyi. Sejenak, semua orang yang hadir menatap ke arah Pangeran Arana, menunggu reaksinya. Namun, yang muncul bukanlah kesepakatan, melainkan ledakan emosi yang tak terbendung.
“Paman Gregor, jangan keterlaluan!” bentak Pangeran Arana dengan suara bergetar. Ia bangkit berdiri, menatap tajam ke arah pamannya dengan ekspresi penuh kemarahan. “Tubuh kakakku bahkan belum dimakamkan, dan kau sudah mengusulkan agar aku memiliki anak dengan istrinya?! Apa kau sudah kehilangan akal?!”
Namun, bukannya terpojok, Paman Gregor justru tetap duduk santai. Ia melipat tangannya di dada, ekspresi wajahnya masih tenang, seolah-olah kata-kata Pangeran Arana tidak lebih dari sekadar luapan emosi yang tidak relevan. “Pangeran,” katanya dengan nada penuh perhitungan, “kadang kita harus bertindak rasional untuk kepentingan negeri. Kau dan Putri Yuki sudah saling mengenal sebelumnya, bukan? Bukankah seharusnya itu mempermudah segalanya?”
Kemarahan Pangeran Arana memuncak. Ia menggebrak meja dengan keras hingga beberapa dokumen di atasnya bergetar. “Paman Gregor!” bentaknya lebih keras, membuat beberapa pejabat yang hadir tersentak kaget.
Suasana berubah menjadi begitu tegang hingga hampir terasa mencekik. Pangeran Arana berusaha menahan emosinya, tetapi dadanya naik turun dengan cepat. Sementara itu, Paman Gregor masih tetap dengan ekspresi dinginnya, seolah ia tidak mengatakan sesuatu yang keliru.
Kakek Veyron, yang sejak tadi hanya mengamati dengan sorot mata tajamnya, akhirnya berbicara kembali.
“Lalu kenapa tidak kau saja yang memiliki anak dengan Putri Yuki?” tanyanya dengan suara tenang, tetapi setiap kata yang diucapkannya membawa beban yang menekan. “Bukankah itu akan menjadi keuntungan besar untukmu, Gregor?”
Paman Gregor tidak langsung menjawab. Ia malah tertawa kecil, seolah merasa pertanyaan itu lucu. “Ah, itu akan terlalu canggung untukku bersama dengan gadis secantik itu,” jawabnya ringan, nada suaranya seolah menggoda, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang jauh lebih dalam dan berbahaya.
Kakek Veyron memperhatikan dengan saksama, dan dalam sekejap, matanya menggelap. Sekarang ia tahu dengan pasti tujuan sebenarnya dari anak bungsunya ini.
Bukan hanya sekadar ingin menjadikan dua anak Yuki sebagai milik Argueda—tidak, bukan itu yang diinginkan Gregor. Ia tidak ingin anak-anak itu berasal dari Pangeran Arana atau dari pria lain. Ia menginginkan dua anak itu lahir dari darahnya sendiri.
Darahnya mendidih, tetapi ia tetap menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. Gregor adalah anak yang cerdas, itu tidak bisa disangkal. Namun, kecerdasan itu selalu digunakan dengan cara yang beracun. Licik. Seperti seekor ular berbisa yang menunggu waktu tepat untuk menerkam.
Sekarang semuanya masuk akal. Gregor tidak hanya ingin memanfaatkan Putri Yuki untuk kepentingan politik Argueda—ia ingin memanfaatkan garis keturunannya untuk menggulingkan tahta Raja Jafar.
Jika dua anak dari ramalan itu lahir dari benih Gregor, maka mereka akan menjadi pewaris sah yang bisa ia gunakan untuk merebut kekuasaan.
Kakek Veyron mengepalkan tangannya di bawah meja, tetapi ia tetap menjaga wajahnya tanpa ekspresi. Jika Gregor benar-benar berani melangkah lebih jauh, maka ia harus memastikan bahwa anaknya itu tidak akan pernah mendapatkan apa yang diinginkannya.
...****************...
Pangeran Riana menggenggam sandaran kursinya begitu kuat hingga kayunya berderak. Napasnya memburu, matanya yang tajam membara dengan kemarahan yang nyaris tak terkendali.
“Mereka ingin memasangkan Yuki dengan Arana?” Suaranya rendah, hampir seperti geraman hewan buas yang siap menerkam.
Mata-mata yang berlutut di hadapannya menelan ludah, merasakan hawa dingin yang tiba-tiba memenuhi ruangan. “Ya, Yang Mulia. Mereka membahas agar Putri Yuki melahirkan dua anak lagi untuk Argueda.”
Pangeran Riana mendengus kasar, lalu bangkit berdiri dengan gerakan mendadak. Kursi di belakangnya terjatuh ke lantai dengan bunyi keras, namun tak ada yang berani bersuara.
“Mereka pikir mereka bisa menjadikan Yuki sebagai alat mereka?!” Rahangnya mengatup erat, dan tangan kanannya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
Matanya dipenuhi amarah yang mengerikan. “Arana? Gregor?” Ia menyebut nama-nama itu dengan penuh kebencian. “Mereka benar-benar sudah bosan hidup.”
Dadanya naik turun, menahan gejolak yang ingin ia tumpahkan saat itu juga. Tidak ada yang bisa memiliki Yuki selain dirinya.
Tidak ada.
Jika Argueda berani mengusik miliknya, maka mereka harus siap menanggung akibatnya.
Mata-mata Pangeran Riana menundukkan kepala, berbicara dengan hati-hati, sadar bahwa berita yang dibawanya bisa memicu amarah yang tak terkendali.
“Sebenarnya, Pangeran, Pangeran Arana menolak dengan keras usulan ini, apalagi jika dia dipasangkan dengan Putri Yuki. Tapi…”
Pangeran Riana yang tadinya bersandar dengan satu tangan di lengan kursinya kini menegakkan tubuhnya. Matanya yang tajam menatap tajam ke arah informannya. “Tapi apa?” tanyanya dengan nada rendah namun mengandung ancaman yang jelas.
Mata-mata itu menelan ludah sebelum melanjutkan. “Ada kecurigaan bahwa sebenarnya Gregor lah yang ingin memiliki anak sendiri dengan Putri Yuki.”
Pangeran Riana terdiam sejenak, namun auranya semakin berbahaya. Udara di sekitarnya terasa lebih berat, seolah mencerminkan badai yang tengah berkecamuk dalam dirinya.
“Ulangi,” katanya pelan, tapi nadanya begitu dingin dan tajam hingga mata-matanya merasakan keringat dingin mengalir di punggung mereka.
“Ada kecurigaan bahwa sebenarnya Paman Gregor sendiri yang ingin memiliki anak dengan Putri Yuki, Pangeran,” ulang mata-mata itu dengan hati-hati.
Tiba-tiba, suara pecahan kaca memenuhi ruangan. Pangeran Riana telah meraih gelas di meja dan menghancurkannya dalam genggamannya. Pecahan-pecahan kecil menancap di telapak tangannya, tetapi ia bahkan tidak berkedip. Matanya menyala penuh amarah, rahangnya mengeras menahan hasrat membunuh yang mendidih dalam darahnya.
“Jadi, dia ingin mengambil milikku?” katanya pelan, nyaris berbisik, namun setiap kata terdengar seperti pisau yang menusuk ke dalam daging.
Mata-mata itu menahan napas, tidak berani bergerak.
Pangeran Riana menarik napas panjang, berusaha mengendalikan amarah yang mengancam meledak. Tapi bagaimana mungkin ia bisa tenang? Gregor bukan hanya ingin dua anak Yuki untuk Argueda, ia ingin anak-anak itu lahir dari benihnya sendiri.
“Dia berani menginginkan Yuki?” suara Riana terdengar begitu dingin, hampir tak bernyawa. Matanya menyala penuh kebencian.
Riana tahu betul bahwa Gregor selalu menjadi musuh bebuyutan Sera di dalam istana Argueda. Sejak dulu, ambisi Gregor untuk merebut tahta selalu bertabrakan dengan keberadaan Sera sebagai pewaris sah kerajaan. Mereka tidak pernah berperang secara terang-terangan, tetapi pertempuran mereka terjadi dalam bayang-bayang istana—melalui permainan politik, manipulasi, dan persekongkolan yang tak terhitung jumlahnya.
Sera, dengan wibawa dan haknya sebagai putra mahkota, selalu menjadi penghalang terbesar bagi Gregor. Dan Gregor, dengan kelicikannya, selalu mencari celah untuk menumbangkan Sera dari dalam.
Namun, meski Riana memahami segala intrik yang terjadi di istana Argueda, tidak pernah terpikir olehnya bahwa bahkan setelah kematian Sera, Gregor masih belum puas.
Sera telah tiada. Tapi alih-alih membiarkan namanya diistirahatkan dengan damai, Gregor justru mencoba menghancurkannya lebih jauh—dengan berniat menyentuh satu-satunya wanita yang diakui Sera sebagai orang yang dicintainya dan istri sahnya.
Genggaman tangan Riana semakin erat hingga buku-buku jarinya memutih. Tak seorang pun boleh menyentuh Yuki. Tidak Gregor. Tidak Argueda. Tidak siapa pun.
Jika Gregor berpikir bisa menyentuh sesuatu yang berharga bagi Riana, maka ia harus bersiap kehilangan segalanya.