Gagal menikah!One night stand dengan pria asing yang tak dikenalnya.
Anggun terancam dijodohkan oleh keluarganya, jika dia gagal membawa calon suami dalam acara keluarga besarnya yang akan segera berlangsung.
Tapi secara tak sengaja berpapasan dengan pria asing yang pernah bermalam dengannya itu pun langsung mengajak si pria menikah secara sipil.Yang bernama lengkap Sandikala Mahendra.Yang rupanya Anggun tidak tahu siapa sosok pria itu sebenarnya.
Bukan itu saja kini dia lega karena bisa menunjukkan pada keluarga besarnya jika dia bisa mendapatkan suami tanpa dijodohkan dengan Darma Sanjaya.
Seorang pemuda playboy yang sangat dia benci.Karena pria itu telah menghamili sahabat baik Anggun tapi tidak mau bertanggung jawab.Pernikahan asal yang dilakukan Anggun pun membuat dunia wanita itu dan sekaligus keluarga besarnya menjadi berubah drastis dalam sekejap.
Akankah pernikahan Anggun berakhir bahagia?Setelah mengetahui siapa sosok pria itu sebenarnya?Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mitha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Setelah insiden di kafe, Anggun tahu segalanya tak akan sama lagi. Kala telah menunjukkan posisinya di hadapan Radit, tetapi itu tak berarti ia benar-benar telah memenangkan segalanya.
Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, keheningan di antara mereka begitu menekan. Anggun memandang jalanan dari balik jendela, sementara Kala tetap fokus mengemudi.
"Apa kau menyesal?" suara Kala akhirnya memecah kebisuan.
Anggun menoleh ke arahnya. "Menyesal soal apa?"
"Soal tidak memilih Radit," jawab Kala datar.
Anggun mendesah, matanya kembali ke luar jendela. "Aku hanya ingin menjalani hidupku tanpa dihantui masa lalu."
Kala tidak membalas, tapi jemarinya mencengkeram setir lebih erat.
Sesampainya di rumah, Anggun bergegas masuk ke dalam tanpa menunggu Kala. Ia masih belum tahu bagaimana mengartikan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Tapi begitu memasuki rumah, Anggun langsung merasakan sesuatu yang tidak beres.
Di ruang tamu, duduk seorang wanita paruh baya dengan sorot mata tajam. Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang tak berusaha ia sembunyikan.
"Ibu?" suara Kala terdengar kaku.
Anggun menelan ludah. Ini pertama kalinya ia bertemu dengan ibu mertuanya secara langsung. Dari cerita yang ia dengar, wanita itu tidak pernah menyetujui pernikahan mereka.
"Menantuku ini semakin berani, Kala," ucap wanita itu dengan nada dingin. "Keluar bersama pria lain? Apa ini istri yang kau pilih?"
Anggun merasakan darahnya berdesir.
"Ibu," Kala memperingatkan. "Aku tidak ingin membahas ini sekarang."
"Tapi aku ingin!" suara wanita itu meninggi. Ia bangkit dari duduknya, mendekati Anggun dengan tatapan penuh penilaian. "Apa yang sebenarnya kau inginkan dari pernikahan ini? Uang? Status?"
Anggun mengepalkan tangannya. Ia tahu sejak awal bahwa wanita ini tidak menyukainya, tetapi mendengarnya secara langsung terasa lebih menyakitkan.
"Aku tidak menginginkan apa pun selain menjalani kehidupanku sendiri, Bu," jawabnya lirih namun tegas.
Wanita itu tertawa sinis. "Oh, benar? Lalu kenapa aku melihatmu dengan pria lain hari ini?"
"Itu bukan urusanmu, Bu," Kala memotong dengan nada tajam.
Tapi wanita itu tidak peduli. Ia berbalik ke arah putranya. "Kala, kau benar-benar buta, ya? Perempuan ini akan menghancurkanmu. Dia tak pantas berada di rumah ini!"
Anggun merasakan kepalanya mulai berdenyut. Ini terlalu berat.
"Ibu, aku mohon," Kala menahan napasnya, berusaha menahan emosinya.
Tapi Anggun tidak bisa tinggal diam lagi.
"Bu, aku tahu sejak awal Ibu tidak menyukai kehadiran saya. Tapi saya bukan orang yang akan pergi hanya karena dicemooh," kata Anggun dengan suara yang stabil, meskipun dadanya berdebar keras.
Wanita itu mendengus. "Kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan."
Setelah melemparkan tatapan tajam ke Anggun, wanita itu akhirnya mengambil tasnya dan pergi meninggalkan rumah.
Begitu pintu tertutup, Anggun merasa lututnya lemas. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.
Kala menatapnya. "Anggun…"
"Aku butuh waktu sendiri," katanya cepat, sebelum bergegas menuju kamar.
Kala tidak mengejarnya. Ia tahu Anggun butuh ruang.
Di dalam kamar, Anggun terduduk di tepi ranjang, pikirannya kalut.
Ia tahu sejak awal bahwa menikahi Kala akan membawa banyak tantangan. Tapi ia tidak menyangka akan seberat ini.
Ia baru saja ingin berbaring ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
"Anggun, kau baik-baik saja? Aku bisa datang jika kau butuh teman bicara."
Dari Radit.
Anggun menatap pesan itu lama. Radit selalu memiliki caranya sendiri untuk membuatnya merasa nyaman. Tapi ia tahu, membiarkan Radit masuk ke dalam hidupnya lagi hanya akan memperumit segalanya.
Dengan perasaan ragu, ia mengetik balasan singkat.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih, Radit."
Lalu ia meletakkan ponselnya dan menutup matanya, berharap bisa tidur meski pikirannya masih dipenuhi kegelisahan.
Keesokan paginya, suasana di rumah masih dingin. Kala pergi lebih awal, dan Anggun tidak tahu apakah itu karena ia sengaja menghindarinya atau memang ada urusan kantor.
Saat sedang membuat teh di dapur, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, dari nomor yang tidak dikenal.
"Anggun, ya?"
Suara wanita terdengar di ujung telepon. Anggun mengerutkan kening.
"Ya, ini saya. Maaf, ini siapa?"
Wanita itu terkekeh. "Kau tak perlu tahu. Tapi aku hanya ingin memberi tahu satu hal: Jangan pernah merasa nyaman dengan posisimu sekarang. Kau pikir semua orang akan menerimamu? Kau hanya pengganggu dalam kehidupan Kala."
Anggun merasakan tenggorokannya mengering.
"Siapa kau?"
"Tidak penting. Yang jelas, kalau kau tahu diri, kau seharusnya pergi sebelum semuanya menjadi lebih buruk."
Sambungan terputus.
Anggun menggenggam ponselnya erat.
Siapa yang menghubunginya?
Dan yang lebih penting, kenapa orang-orang begitu membencinya?
Saat Kala pulang malam itu, Anggun sudah menunggunya di ruang tamu.
"Kita perlu bicara," katanya tanpa basa-basi.
Kala mengangguk, melepaskan jasnya, lalu duduk di sofa. "Apa yang terjadi?"
"Aku mendapat telepon dari seseorang," kata Anggun. "Seseorang yang memperingatkanku untuk menjauh darimu."
Mata Kala menajam. "Siapa?"
"Aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Tapi jelas mereka tidak menginginkanku di sini."
Kala mengusap wajahnya, rahangnya menegang.
"Aku tahu ibu tidak menyukaiku, tapi ini lebih dari sekadar tidak suka, Kala," Anggun melanjutkan. "Seseorang benar-benar ingin aku pergi."
Kala mendekat, menatapnya dalam. "Aku tidak peduli apa yang mereka katakan, Anggun. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengusikmu."
Anggun tersenyum miring. "Kau bilang begitu, tapi bagaimana jika mereka tidak berhenti?"
Kala menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas. "Aku akan mencari tahu siapa yang melakukan ini."
Anggun hanya mengangguk. Ia ingin percaya pada Kala.
Tapi ia juga tahu, tidak semua orang akan berhenti hanya karena ancaman.
Dan untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya…
Apakah ia benar-benar cukup kuat untuk menghadapi semua ini?