Hubungan antara Raka dan Jena memang baik-baik saja. Tetapi saat seorang teman kelas Jena memberitahu bahwa Raka sedang bersama seorang perempuan, membuat Jena merasa curiga bahwa Raka menjalin suatu hubungan dengan perempuan itu yang mana perempuan itu adalah sahabat Jena.
Namun kenyataannya, bukan dengan sahabat Jena melainkan dengan seseorang yang bahkan Jena tidak kenal. Dengan begitu, Jena akhirnya memutuskan hubungan dengan Raka dan bahkan Jena membuat kesepakatan dengan seorang lelaki bernama Jevan supaya menjadikan dia sebagai pacar pura-pura Jena.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Kubuka pintu kamarku lalu aku terkejut bahwa orang yang aku kira Raka ternyata ia adalah Jevan. Aku bingung mengapa pagi-pagi Jevan datang ke rumahku, padahal jika tante Lidya ada urusan dengan mamah seharusnya Tante Lidya saja yang datang.
Saat kutanyakan tentang kedatangannya, dia menjawab bahwasanya dia kesini karena ia ingin main saja dengan Jena.
"Gue gak mau main."
"Kenapa gak mau?"
"Gue mau sarapan dan juga gue belum mandi."
"Ya udah gue tunggu sampai lo selesai sarapan dan mandi."
Aku kembali masuk kedalam kamar tanpa menghiraukan perkataan Jevan, lalu aku kembali menikmati sarapan.
"Jev, lo lebih baik pulang deh."
Jevan menunduk dengan raut wajah sedih dan itu membuatku sangat merasa bersalah.
"Kamu mau kemana lagi?" tanya Mamah kepada Jevan.
"Mau pulang, Tan."
"Jen, ayo cepat makannya. Kasihan loh Jevan udah datang kesini tapi kamu justru menolak ajakan dia."
"Gak apa-apa kok, Tan. Lagipula ini salah Jevan juga, seharusnya Jevan dari awal bilang ke Jena."
Aku menghela nafasnya lalu ia mengiyakan ajakan Jevan karena jika tidak bisa-bisa Mamah akan memarahiku.
"Ya udah Jena mandi dulu." Jena bergegas masuk ke kamar mandi.
Skip
Sekarang aku dan Jevan sudah sampai disebuah tempat pemancingan yang sangat sepi dan itu membuatku sedikit ketakutan.
"Mau ngapain kesini?"
"Mau mancing."
"Emang boleh mancing disini?"
"Ya boleh dong. Ini kan tempat pemancingan milik papah gue."
Jevan memberikan alat pancing kepadaku dan aku hanya diam mematung karena aku tidak tahu caranya memancing.
"Gimana caranya?" tanya Jena lalu Jevan segera mengajari Jena cara memancing.
Lima menit kemudian, Jena mulai lelah karena dari tadi ia tidak mendapatkan ikan.
Berbeda dengan Jevan, dia sudah mendapatkan tiga ikan dan tentunya aku merasa aneh karena sepertinya umpan yang diberikan Jevan lebih bagus dibandingkan dengan umpan milikku.
"Jev, kok lo dapat ikan terus dari tadi," heran Jena.
"Mungkin gue lagi hoki."
Tak lama pelampung pancingan bergerak, menandakan bahwa umpannya telah dimakan oleh ikan. Dengan begitu, aku segera menarik pancingannya.
"Yeay! akhirnya gue dapat ikan." Jena berteriak seakan-akan ia memenangkan lomba.
Jevan tersenyum. "Bahagia banget kayaknya."
Jevan segera memasukkan hasil tangkapan Jena kedalam ember lalu Jevan segera mengajakku untuk menyudahi memancingnya karena menurutnya empat ikan sudah cukup untuk dimakan berdua.
"Ya udah lo tunggu disini dulu, nanti gue balik lagi kok." Jevan segera pergi meninggalkan Jena.
Sambil menunggu Jevan kembali, aku memutuskan untuk berfoto-foto disekitar tempat pemancingan.
...****...
Aku dan Jevan menikmati ikan bakar hasil tangkapan tadi. Kita hanya fokus makan tanpa berbicara sepatah katapun.
Karena merasa tidak nyaman jika hanya diam saja, jadi aku memutuskan untuk membuka pembicaraan. "Lo jago masak ya?"
"Gak terlalu," jawab Jevan sambil memisahkan tulang ikan supaya Jena tak kesusahan saat makan.
Aku yang melihatnya seperti itu hanya bisa terdiam. Jujur aku sangat suka diperlakukan seperti ini oleh seseorang.
"Kata mamah lo, katanya tadi pagi Raka datang ke rumah lo ya?"
"Iya, tadi dia datang ke rumah."
"Jen, maaf ya. Gue jadi gak enak gara-gara kemarin gue kasih tahu tentang Raka ke lo."
"Gak usah minta maaf, lagipula yang dilakukan lo udah benar kok. Lebih baik jujur daripada harus menutupi kebohongan orang."
Langit mulai menggelap hingga membuat kita memutuskan untuk pulang karena takut akan segera hujan.
Sebelum pergi dari tempat pemancingan, kita terlebih dahulu membereskan piring dan gelas yang tadi telah digunakan.
"Aneh banget, padahal tadi udah dicek kalau hari ini akan cerah," heran Jevan.
"Namanya juga cuaca, pastinya gak bisa diprediksi."
"Iya, gak bisa diprediksi kayak lo."
Aku tidak mengerti dengan perkataan Jevan. Karena menurutku, diriku adalah perempuan yang gampang sekali ditebak.
"Maksudnya gak bisa diprediksi kayak gimana?"
Disisi lain, Jevan diam saja sambil membayangkan kejadian dulu, yang mana waktu dulu Jena lebih dekat dengan Jevan dibandingkan dengan Raka. Pada saat itu Jevan sudah yakin bahwa Jena akan terbawa perasaan olehnya. Tetapi kenyataannya, Jena justru terbawa perasaan oleh Raka.
"Kok diam aja."
"Lebih baik pulang aja yuk! nanti keburu hujan."
Ketika hendak pergi menghampiri motor, tiba-tiba hujan turun. Otomatis kita meneduh ditempat semula karena memang tempat Jevan memarkirkan motor lumayan jauh.
"Kita tunggu disini dulu sampai hujannya reda."
"Kira-kira lama gak ya?"
"Gak tahu. Tapi semoga aja lama hujannya." Jevan tersenyum sambil menatap Jena. Sedangkan yang ditatap justru mengalihkan pandangannya kearah ponsel.
"Jev, bawa charger handphone gak? handphone gue mati nih," keluh Jena, namun Jevan hanya menggelengkan kepalanya seraya mengatakan bahwa dia tidak membawa charger handphone.
Jevan mengambil air mineral yang memang sudah disediakan karena memang Papah Jevan selalu menyiapkan air minum dan cemilan jikalau ada orang-orang yang ingin memancing ditempatnya.
"Ini minum dulu." Jevan memberikan air minum itu kepadaku, lalu aku meminum air mineral pemberian Jevan.
"Jev, boleh pinjam handphone lo gak?"
"Gak boleh! soalnya banyak rahasia di handphone gue."
"Gue gak akan buka media sosial lo. Gue cuma pingin main game doang kok."
Jevan buru-buru mengganti wallpaper ponselnya karena wallpaper yang ia gunakan adalah foto Jena. Setelah itu, Jevan memberikan ponselnya kepada Jena. "Jangan buka galeri."
Aku mengambil ponselnya sambil tersenyum karena aku tahu bahwa kebanyakan lelaki menyimpan foto-foto wanita seksi didalam ponselnya.
"Pasti di galerinya ada foto cewek ya?" tuduhku.
"Enggak!"
Melihat raut wajah panik Jevan membuatku tertawa. Bahkan sekarang Jevan mulai menggigit bibirnya dan itu membuktikan bahwa dia benar-benar panik.
"Tenang aja, gue gak akan lihat galeri kok." Jena segera memainkan game di ponsel Jevan untuk menghilangkan rasa bosannya.
Skip
Saat hujan reda, aku dan Jevan memutuskan untuk pulang ke rumahku. Namun saat sedang dalam perjalanan, aku bingung mengapa Jevan melajukan motornya kearah lain yang mana bukan arah rumahku.
"Kita mau kemana?"
"Ke minimarket."
Sekitar 5 menit, akhirnya keduanya sampai di minimarket. Disaat Jevan hendak masuk kedalam minimarket, aku memilih untuk diam diluar.
"Ayo masuk! biar gue yang traktir," kata Jevan.
"Serius?" tanyaku dengan mata yang berbinar-binar lalu Jevan hanya mengangguk seraya mengiyakannya.
Aku masuk kedalam minimarket mendahului Jevan. Lalu aku segera mengambil dua ice cream kesukaanku.
"Gue mau ini aja." Jena menunjukkan dua ice cream tersebut kepada Jevan.
"Cuma itu doang?" tanya Jevan lalu aku hanya mengangguk sambil memasukkan ice cream kedalam keranjang yang dibawa Jevan.
Ku ikuti kemanapun Jevan pergi layaknya seorang dayang yang sedang mendampingi seorang raja.
"Mau cokelat gak?"
"Ditraktir, kan?"
Jevan tertawa kecil saat mendengar perkataan Jena. "Iya, aku traktir." Tangan Jevan mengelus rambutku dan tentunya aku hanya diam saja karena aku malu sebab selalu meminta ditraktir.