Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Segitiga Bermuda
Anggi
Rendra masih memeluknya di lantai kamar mandi sambil mencium keningnya dalam-dalam, ketika suara Rakai mulai terdengar meminta penjelasan.
"Aku minta pertanggungjawaban pihak hotel. Gimana bisa sembarang orang masuk ke executive suite?!"
"Preman pula! Nggak bisa begini!!"
"Ini jelas pelanggaran privacy! Akan kami proses ke jalur hukum!"
"Tenang, Bang, begini...tolong beri kami waktu untuk menjelaskan..."
Pembicaraan yang awalnya normal mulai memanas dengan beberapa orang yang mencoba angkat bicara sekaligus. Semuanya tak mau kalah, tak ada yang bersedia mendengar, semua ingin bicara dan didengar. Semua saling tuding, saling menyalahkan, saling memaki, mengumpat dan berteriak.
Mendengar semua makian kasar dan teriakan keras yang bersahutan membuat perutnya mendadak mual seperti ingin muntah.
"Hoeeek....," ia langsung menghambur ke kloset untuk menumpahkan isi perut.
"Hoeeek...."
"Hoeeek...."
Beginilah jika mendapat tekanan berlebih yang berujung pada ketakutan, tubuhnya akan bereaksi dengan memuntahkan seluruh isi perut.
BAM!
Tubuhnya semakin gemetar saat mendengar suara bantingan pintu kamar mandi yang ditutup secara paksa dengan cara ditendang. Setelah tendangannya berhasil membuat pintu menutup sempurna, barulah Rendra mendekat untuk membantu dirinya dengan memegangi rambut yang menjuntai ke depan sementara tangan yang satunya lagi mengelus punggungnya lembut.
"It's okay....i'm with you...."
"Hoeeek....."
"Hoeeek....."
Sementara di luar kamar mandi sayup-sayup masih terdengar suara orang saling memaki dan berteriak.
Sambil masih memegangi rambutnya, sebelah tangan Rendra mulai bergerak mengambil ponsel. "Brengsek!" maki Rendra di ponsel. "Suruh semua pergi dari kamar!!"
"Sekarang!!!"
"Gua nggak mau tahu!!"
"Hoeeek....," ia masih saja muntah, padahal sepertinya isi perut sudah habis dikeluarkan.
"Gua nggak mau tahu!!" Rendra setengah berteriak, namun sedetik kemudian jelas terdengar berusaha memelankan suara, "Usir semua! Usir!!"
Begitu menutup dan menyimpan ponsel, Rendra kembali mengelus punggungnya lembut. "Feel better?" bisiknya sambil membantu mem flush kloset agar kembali bersih.
Ia mengangguk lemah.
"Masih pingin muntah?"
Ia menggeleng lemah.
"Good girl," bisik Rendra sambil mengecup puncak kepalanya lembut. Kemudian meraih tisu yang berada di dekat mereka, lalu menyeka sudut-sudut bibir juga dagunya, membantu membersihkan sisa muntahan yang masih menempel.
Rendra kembali mengambil tisu, kali ini untuk menyusut matanya yang berair karena menangis ketakutan sekaligus muntah-muntah. Tak lupa juga menyusut hidungnya yang mengeluarkan ingus.
Rendra mengambil tisu untuk yang ketiga kali lalu menepuk-nepuk lembut ke seluruh bagian wajahnya. Setelah semua dirasa bersih, Rendra meraih kedua lengan untuk membantunya bangkit. Namun sebelum ia sempat berdiri, Rendra lebih dulu merangkum badannya sedemikian rupa hingga saat ia sadar Rendra telah menggendongnya sambil berjalan keluar dari kamar mandi.
Tanpa kesulitan berarti dengan hanya menggunakan satu tangan, Rendra berhasil membuka pintu kamar mandi, lalu berjalan menuju tempat tidur. Suasana kamar sudah sepi, semua keributan dan orang yang berkerumun seolah hilang tanpa bekas. Kekacauan yang tadi sempat ditimbulkan pun sudah dibereskan.
Perlahan Rendra meletakkannya di atas tempat tidur. Mengatur posisi berbaring yang dirasa senyaman mungkin. Meluruskan kedua kaki supaya lebih rileks. Serta mengikat kembali tali piyama mandinya yang hampir terlepas, sebelum akhirnya beranjak ke arah pantry.
Tak sampai lima menit Rendra kembali muncul dengan tangan kanan membawa secangkir teh manis hangat yang masih mengepul.
"Minum dulu," bisik Rendra berusaha membantunya untuk menegakkan punggung, lalu mengganjal dengan bantal.
Ia menurut, menyesap teh manis yang terasa hangat saat melewati kerongkongannya.
"Lagi," Rendra kembali menyuapkan cangkir teh ke depan mulutnya. Setelah menghabiskan setengah isi cangkir, ia tersenyum sambil mengucap, "Makasih."
Rendra buru-buru meletakkan cangkir berisi teh ke atas nakas, lalu merengkuhnya dalam-dalam.
"So sorry...really sorry....," bisik Rendra sambil mendekap tubuhnya dalam-dalam sekaligus mengecup puncak kepalanya.
"Kamu nggak papa?" tanyanya serius sambil memeriksa keseluruhan tubuhnya. Mencari-cari jika ada yang terluka. "Mereka ada nyakitin kamu?"
Ia harus menelan ludah beberapa kali sebelum menjawab, namun Rendra keburu meraih dagunya, "Mereka kurang ajar sama kamu?"
Pertanyaan Rendra membuatnya ingin menangis, karena terbayang detik-detik menakutkan saat orang asing yang awalnya dikira Rendra, memeluknya dari belakang.
"Brengsek!" mata Rendra menyala dipenuhi api kemarahan, yang meski jelas terlihat berusaha sepelan mungkin saat memaki, namun masih bisa didengar oleh telinganya.
"Kamu ma..."
TOK TOK TOK
Sebuah ketukan menguapkan kalimat Rendra di udara.
TOK TOK TOK
Dengan wajah kesal akhirnya Rendra beranjak, "Tunggu sebentar...," namun sambil tersenyum lembut ke arahnya.
Entah siapa yang datang mengetuk pintu namun Rendra terdengar beradu mulut dengan orang tersebut.
"Gua nggak mau!"
"Besok!"
"Nggak bisa!"
"Bilang gua nggak mau!!"
"Lu gila ya, istri gua lagi kacau begitu!"
"Besok!"
Lalu terdengar suara Rendra sedikit menjauh, sepertinya dia keluar dari ruangan. Namun saat telinganya berusaha mencari dengar, Rendra sudah masuk kembali dan mengunci pintu.
"Kita makan ya," ujar Rendra sambil tersenyum mendekat. "Kamu belum makan kan?"
Ia menggeleng. "Nggak lapar."
Rendra menghela napas, "Aku suapin....dikiiit aja."
Ia kembali menggeleng. "Takut malah muntah."
Tapi Rendra jelas tak kehabisan akal. Tanpa bertanya lagi segera beranjak ke dining room, yang tak sampai dua menit kemudian sudah kembali ke tempat tidur sambil membawa seloyang American Pizza yang menggoda.
Perutnya mendadak lapar saat matanya menangkap bayangan bolognese meat sauce bercampur dengan mozarella cheese yang meleleh.
Sambil tersenyum Rendra mencomot satu slice pizza kemudian disuapkan ke dalam mulutnya, "Ha..."
Ia yang sebenarnya memang lapar akhirnya menurut.
"Enak kan?" Rendra terkekeh saat ia menghabiskan slice yang kedua. "Pizza di hotel ini terkenal enak."
Ucapan Rendra membuatnya mencibir, "Apa kamu selalu tahu makanan enak di semua tempat yang kita datangi?"
Rendra tertawa, "Iya dong, aku harus tahu kualitas makanan yang akan dikonsumsi calon mama," sambil menyentuhkan bibir mereka sekilas, lalu berkata pelan, "Makan yang banyak biar sehat."
Setelah merasa kenyang, mereka pun menghentikan acara makan pizza bersama. Dan saling melempar tawa kecil begitu menyadari telah menghabiskan 6 dari 8 slice pizza yang tersedia.
Rendra kembali menyeka sudut-sudut mulutnya dari remahan pizza dengan tissue basah, lalu menyusul membersihkan mulutnya sendiri dengan tissue yang sama. Mengambil segelas air putih untuk diminum oleh mereka berdua, kemudian mengembalikan loyang pizza ke dining room. Setelah semua beres barulah Rendra menempatkan diri di atas tempat tidur. Seperti biasa langsung merengkuhnya ke dalam pelukan.
Hampir lima menit mereka berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebelum akhirnya ia memberanikan diri bersuara, "Tadi itu apa?"
Rendra menghela napas panjang sebelum menjawab, "Maafin aku...," lalu mengecup hidungnya pelan. "Pertama kali datang ke kampung halamanku malah begini sambutannya."
"Kamu lupa nggak nutup pintu?" tanyanya hati-hati. Beberapa kali Rendra memang sempat lupa menutup pintu kamar hotel tempat mereka menginap.
Tapi Rendra menggeleng, "Pintu kututup rapat. Kupikir bisa nelpon kamu kalau mau masuk."
"Kartu jelas masih kusimpan di kotak sensor." Lalu menambahkan, "Waktu aku masuk kartunya ada di lantai, sengaja dijatuhin biar lampu mati."
"Kamu baik-baik aja kan?" ujar Rendra pelan sambil mencium keningnya lembut.
Ia mengangguk. "Aku udah pernah lihat yang lebih parah dari ini," ingatannya kembali melayang pada pagi hari dimana rumah Rendra hancur berantakan di serang oleh orang tak dikenal.
Jawaban darinya membuat Rendra semakin mengeratkan rengkuhan.
"Mereka....siapa....mau apa.....," matanya menerawang membayangkan kira-kira hal buruk apa yang bakal mereka hadapi ke depannya. "Apa kamu lagi ada masalah lagi sama orang?"
"Apa kamu bakalan dihabisin lagi kayak dulu?"
Kali ini ia tak mampu lagi untuk menahan tangis, "Apa kita bakal ngalamin masalah yang sama untuk kedua kalinya?"
Rendra menyentuh dagunya lembut, lalu mencium kelopak matanya yang mulai dipenuhi oleh air mata. "Aku nggak akan ngebiarin siapapun nyakitin kamu."
"I'll fixed it," lalu menyesapnya perlahan. Namun sekejap selalu terasa kurang, membuat Rendra semakin dalam menyentuhkan dirinya. Merangsek masuk hingga ke kedalaman. Mencecapi seluruh sudut. Seolah enggan untuk menyisakannya.
Di sela-sela nafas yang terengah saat mengambil udara, ia memberanikan diri untuk berterus terang, "Aku udah selesai...."
Rendra yang sedang mengubur wajah dalam-dalam di lehernya mendadak awas, "Say it loud...."
"My period is over...."
Rendra tak berkomentar apapun, namun gerakan cepat, terstruktur, dan sistematisnya sudah pasti mewakili apa yang ada di dalam kepala suaminya itu, "I'll make you happy."
Dengan satu sentuhan Rendra telah berhasil menarik tali piyama mandinya, membuat semua terlihat nyata.
"Beautiful....," bisik Rendra parau.
"Abang...," ia menutup wajah malu dengan kedua tangan, tak mampu melawan tatapan sedemikian intens dari sepasang mata elang yang menghanyutkan.
"Look at me....," Rendra berbisik pelan sambil berusaha membuka kedua tangannya.
"Just look at me....," ulang Rendra setelah berhasil membuka kedua tangan dari wajahnya.
Namun ia tak mampu berlama-lama membuka mata, terlebih ketika Rendra mulai menyentuhnya perlahan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Menyusuri tiap inci tanpa ada yang tertinggal sedikitpun. Memamerkan keahlian yang tak diragukan lagi. Membuatnya berkali-kali hampir berteriak saking ingin meledak.
"Jangan ditahan sayang," bisik Rendra yang entah sedang melakukan apa di bawah sana, yang pasti berhasil membuat tubuhnya bergetar hebat dengan sendirinya.
"A-abang....," nafasnya mulai pendek-pendek dan tinggal satu-satu, tak sanggup lagi merasakan ledakan kebahagiaan yang menghinggapi seluruh tubuhnya.
Ia bahkan tak memiliki daya meski hanya untuk membuka mata, padahal rasa penasaran yang tinggi begitu menguasai pikiran, sangat ingin mencari tahu apa yang sedang Rendra lakukan terhadap dirinya. Namun serangan gelombang super dahsyat yang bertubi-tubi justru memancing reaksi tubuh yang tak terkontrol. Karena kini ia hanya bisa menggelengkan kepala kuat-kuat dengan kedua tangan bergerak tak beraturan berusaha mencari pegangan.
"J-jangan...," kedua tangannya kini berusaha melepaskan diri dari Rendra, karena tak mampu menerima sentuhan melenakan yang menyiksa batin sekaligus membuat keseluruhan fungsi tubuhnya kacau balau.
"Sshhh," Rendra meraih tangannya yang bergerak tak karuan, "Just enjoy the party sweetie....," lanjutnya sambil membimbing kedua tangannya untuk bertumpu pada bahu milik Rendra yang kokoh.
"A-abang ...." Napasnya langsung tertahan ketika sentuhan Rendra semakin menjadi. Membangkitkan sensasi menakjubkan yang membuat kedua tangannya bergerak liar meremas rambut Rendra dengan sekuat tenaga. Begitu seluruh kedahsyatan berlalu, tubuhnya mendadak berubah menjadi jelly.
"You like it?" tiba-tiba Rendra sudah mengecup keningnya lembut, di saat ia masih berusaha mengumpulkan napas yang tercecer.
"Ini baru appetizer," kali ini Rendra sudah meraihnya ke dalam rengkuhan hangat. Setelah sebelumnya membantu mengikat kembali tali piyamanya. "Besok baru kita mulai main course....," lanjut Rendra sambil terkekeh.
"Sweet dreams, wifey...."
***
Usai sarapan pagi di dalam kamar dengan memanfaatkan fasilitas room service, Rakai datang hanya untuk memberitahu, "Kalian ditunggu Papa."
Rendra dengan gaya malas berusaha mengulur waktu. Dan baru 30 menit kemudian mereka tiba di suite tempat Papa menginap. Dimana Rendra langsung mengajaknya masuk ke dalam, tak menghiraukan Papa yang telah menunggu.
"Kamu tunggu disini," ujar Rendra sambil membimbingnya ke pantry. Lalu menarik sebuah kursi untuk didudukinya.
"Kalian berdua ikut duduk disini!" suara Papa terdengar begitu menggelegar dari arah sofa living room.
Membuat Rendra mendecak, "Istriku nggak ada sangkut pautnya dengan...."
"KEMARI!" suara Papa semakin menggelegar.
Ia mencoba tersenyum sambil meremas tangan Rendra, "I'm okay...."
Namun Rendra sempat ragu dan terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas panjang, untuk kemudian merengkuh bahunya sama-sama menuju ke ruang tamu.
Disana telah duduk Papa dan Naja dalam satu garis lurus, juga Bang Leo yang berdiri agak jauh di sebelah pintu masuk. Rendra membimbingnya untuk sama-sama duduk di sofa sebelah kiri yang masih kosong, sambil tetap menggenggam tangannya.
Dengan begini, posisi duduk yang sebenarnya tak disengaja namun seolah terlihat sudah diatur sedemikian rupa, hingga jika ditarik garis lurus akan membentuk segitiga. Segitiga paling menyeramkan yang pernah ada, seperti segitiga bermuda.
"Aku tak mau hal seperti ini terulang lagi! Memalukan!!" Papa mulai angkat bicara.
"Minta maaf kau sama kakak kau!!" tuding Papa ke arah Naja yang menyeringai malas.
"Tak sudi!" jawab Naja jelas mencari mati.
"Papa tahu kah, hal seperti ini sudah biasa dilakukan di keluarga kita!"
Ia yang masih berusaha mencerna maksud dari kalimat Naja menjadi kaget setengah mati ketika tiba-tiba Rendra sudah melepaskan genggaman tangan mereka lalu dengan gerakan secepat kilat maju menerjang Naja.
BUG!
"Bacot lu!!" suara Rendra terdengar bergetar. "Biasa disini bukan berarti bisa lu lakuin ke gua!!"
"Hah!" Naja justru mencibir. "Dia bukannya sama seperti yang lain," tunjuk Naja pada dirinya. "Bisa dipakai sia..."
BUG!
Rendra kembali melepaskan pukulan penuh amarah, "Jaga mulut lu brengsek!!"
BUG!
"Abang," desisnya berusaha menahan agar Rendra tak lagi memukuli Naja. Namun Rendra tak menggubris panggilannya.
"Sekali lagi lu sentuh istri gua...," Rendra mengucapkan kalimat itu dengan berapi-api, disusul gerakan tangan menembak ke kepala. "Mampus!"
"Naja!" suara Papa semakin menggeram. "Minta maaf!!"
Naja kembali menyeringai malas, "Kenapa Papa selalu tak adil jika menyangkut soal dia!" tuding Naja ke arah Rendra.
"Kenapa semua harus berpusat pada dia!" tudingnya lagi.
"Aku juga anak Papa! Kami semua anak Papa! Tapi kenapa setiap keputusan besar selalu menguntungkan dia!!"
"Oh," Rendra balas menyeringai. "Jadi ini intinya?!"
"Ambil semua, ambil!" teriak Rendra. "Gua nggak butuh! Gua masih bisa hidup tanpa harta kalian!"
"Tapi satu!" Rendra mengacungkan telunjuk. "Jangan pernah ganggu kehidupan keluarga gua!! Apalagi istri gua!!"
Kemudian Rendra beralih ke Papa, "Ini akibat perilaku Papa! Puas sekarang?!"
"Puas anak-anak Papa berperilaku seperti binatang?!"
"Menganggap istri saudaranya bisa diperlakukan sesuka hati?!"
"Puas sekarang Pa?!"
"Praktek kotor puluhan tahun bisa dilestarikan anak cucu?!"
PLAK! PLAK! PLAK!
Ia terperanjat melihat kepala Rendra terlempar ke samping hingga tiga kali karena tamparan Papa.
PLAK!
Sekarang menjadi empat kali.
Membuat jemari tangannya saling menjalin satu sama lain mencoba mencari kekuatan demi melihat adegan kekerasan bertubi-tubi yang tersaji di depan mata.
Rendra sempat melirik ke arahnya khawatir sebelum Papa bersuara datar, "Sopan sedikit kau!"
"Sekolah tinggi-tinggi tak ada bekas di depan orang tua!!"
Namun Rendra tak terpengaruh, masih menggeram marah, "Sekarang Papa harus bertanggungjawab! Didik semua anak-anak Papa untuk menghormati satu sama lain!!"
"Menghargai istri masing-masing!"
Tubuhnya langsung menggigil mendengar geraman terakhir Rendra. Jadi maksudnya? Jadi selama ini? Jadi kenapa Naja begitu kurang ajar bahkan saat mereka baru pertama kali bertemu? Jadi kekerasan seksual yang menimpa Mama Rendra dan disaksikan langsung oleh Rendra kecil adalah.....
Ia tak sanggup membayangkan karena matanya keburu memanas. Namun saat ia sibuk berusaha menguasai diri dari pikiran mengerikan, dua buah pukulan dari Papa kembali melayang kearah Rendra juga Naja.
***
Satu jam setelah disuguhi adegan kekerasan secara live, kini ia sudah duduk di meja makan bersama Rendra, Papa, Kuasa Hukum Papa, seorang Notaris, perwakilan dari pihak asuransi, serta ketua RT, ketua RW dan Lurah setempat yang menjabat sesuai dengan alamat tempat tinggal Papa.
Sebelum ia bisa duduk disini, usai Naja keluar lebih dulu dari suite, Papa berkata yakin, "Sekarang! Aku sudah hubungi Saragih dan yang lain."
Namun Rendra menggeleng, "Jangan sekarang. Waktunya nggak tepat."
"Berani melawan kau!"
"Dari dulu selalu mengulur-ulur waktu!"
"Keburu Papa mati nanti lebih runyam urusan!"
Dan ia bisa ikut duduk bergabung disini karena Papa yang meminta, "Anggi, kau ikut."
"Ren, siapkan administrasi istrimu."
Ia sempat mengernyit bingung sebelum Rendra berbisik di telinganya, "Papa mau buat pembagian waris."
Ia masih tak mengerti ketika akhirnya Papa kembali bersuara, "Sebagai ucapan terimakasih Papa karena kau sudah memberi kehidupan yang baik untuk Rendra."
"Papa minta dua hal sama kau."
"Jangan menolak."
"Tolong jaga Rendra tetap jadi orang yang benar."
"Kau bisa?"
Ia yang masih belum paham dengan apa yang terjadi tak mampu menjawab, bahkan sekedar mengangguk pun tak bisa.
"Anggi?!"
Rendra merengkuh bahunya lembut, mencoba memberi dukungan. Yang langsung memberinya kekuatan untuk mengangguk.
"Aku nggak ngerti...," ujarnya masih bingung saat mereka kembali ke kamar.
"Aku udah menolak dari dulu. Tapi Papa maksa terus," Rendra memeriksa dompetnya sendiri lalu bertanya, "Boleh pinjam KTP kamu?"
Ia menyerahkan KTP ketika Rendra masih sibuk mencari sesuatu, "Buku nikah kita mana?"
Setelah semua dokumen terkumpul, Rendra berlutut di depannya yang kebetulan sedang duduk di salah satu sisi tempat tidur.
"Aku minta maaf sekali lagi....," Rendra menatapnya penuh penyesalan.
"Kamu harus melihat dan mendengar kebobrokan keluargaku."
Ia mengangguk lalu menggeleng. "Apa Papa kamu selalu begitu?"
"Begitu apa?"
"Mukulin anaknya kalau lagi ada masalah?"
Rendra terkekeh, "Kubilang juga apa. Kamu sih nggak percayaan."
Membuat ingatannya kembali melayang pada selorohan Rendra sesaat setelah Papa mendadak muncul di apartemen Rendra memergoki mereka yang sedang berciuman.
"Kira-kira kamu bakalan diapain sama Papa kamu?"
"Ah, biasa," Rendra mendesis. "Paling juga dihajar, digebukin, dicekek, di.... aduh!"
"Kehidupan kamu membingungkan," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak ngerti..."
Rendra meraih dagunya, "Kamu nggak harus ngerti."
"Cukup dengan bersabar dampingi aku apapun yang terjadi..."
"That's it, that's all."
Ia tersenyum sambil mengelus pipi Rendra. Aktivitas favoritnya akhir-akhir ini. "Jadi sekarang kita mau ngapain?"
Rendra tersenyum sambil menangkupkan tangan ke kedua pipinya. "Papa mau buat surat waris....nunjuk aku sebagai ahli waris tunggal...."
"Dengar, aku udah berusaha nolak."
"Waktu kita miskom terus jalan ke Dlingo malam-malam, ingat?"
"Itu puncak kepusinganku karena Papa terus maksa dan nggak mau tahu alasan penolakanku."
Rendra lalu tersenyum, "Aku nggak mau kita dikelilingi masalah. Aku masih bisa hidup dari usaha sendiri. Aku sama sekali nggak menginginkan apapun dari Papa."
"Tapi Papa bilang nggak ada orang lain lagi."
"Aku terpaksa setuju."
"Toh bukan kita yang menginginkan ini kan?"
"Aku janji akan bersikap adil."
"Karena aku nggak mau kita kena masalah gara-gara warisan."
"Kejadian tadi malam jelas masalah pertama," Rendra menghela napas. "Aku janji nggak akan terulang lagi."
"Jadi, kamu mau nemenin aku melalui ini semua?"
Ia tersenyum mengangguk sambil kembali mengelus pipi Rendra yang kokoh namun kulitnya halus selembut kulit bayi.
"Papa nanti mau ngasih kamu beberapa properti miliknya yang ada di Jogja."
Ia mengernyit.
"Tolong kamu terima ya."
"Ini murni jadi hak kamu."
"Nggak ada sangkut pautnya sama kita berdua."
"Kamu bebas lakuin apa aja dengan hak kamu."
Ia masih belum memahami maksud dari semua ucapan Rendra, bahkan hingga saat ini ia menandatangani sebuah surat pernyataan di atas materai di depan sejumlah pejabat yang berwenang.
***
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu