Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.
Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan Menuju Kedamaian
Tepat saat Revan, Kian, dan Liam terdiam dalam kebingungan, Damian tiba-tiba muncul di hadapan mereka, membuat ketiganya terkejut.
"Kalian lagi ngobrolin apa? Serius amat," tanya Damian, tersenyum kecil.
Revan dan teman-temannya saling pandang. Mereka tidak tahu harus menceritakan apa. Mereka tidak ingin Damian tahu tentang kejadian antara Valeria dan Aluna.
"Eh, Damian, enggak ada apa-apa, kok," jawab Revan, mencoba terlihat santai.
Namun, Damian menghela napas. Ia sudah tahu. "Kalian lagi ngobrolin Valeria sama Aluna, kan?" tanyanya, membuat ketiganya mematung.
"Iya, kok lo tahu?" tanya Revan, terkejut.
"Gue lihat mereka dari jauh. Tapi, gue enggak tahu apa yang mereka obrolin," jawab Damian.
"Yah, kalau itu kita juga sama. Kirain lo tahu," kata Revan, suaranya terdengar kecewa.
"Mau gue coba cari tahu?" tawar Damian.
"Boleh," jawab Revan.
"Oke, gue akan coba tanya sama Valeria. Yaudah, kalau gitu gue duluan mau ke kelas. Bye," kata Damian, lalu berbalik pergi.
Revan, Kian, dan Liam saling pandang. Mereka masih penasaran, tapi kini mereka memiliki harapan bahwa Damian akan membawa jawaban.
"Yaudah, kita juga ke kelas," kata Kian, memecah keheningan.
Revan dan Liam mengangguk setuju. Dengan pikiran yang masih dipenuhi rasa penasaran, mereka bertiga berjalan menuju kelas mereka, meninggalkan koridor yang kini sepi. Mereka semua tahu bahwa ini bukanlah akhir dari masalah. Ini baru awal.
Sementara itu, Damian yang berjalan ke arah yang berbeda, menuju kelasnya. Ia menemukan Valeria sudah duduk di bangku mereka. Tanpa ragu, ia menghampiri Valeria.
"Pagi, Valeria. Tumben lo sudah duluan datang?" sapa Damian sambil meletakkan tasnya di meja.
"Bukannya lo yang duluan datang, ya?" balas Valeria, tersenyum kecil. "Cuma bedanya gue langsung masuk ke sekolah, dan lo masih aja nongkrong di parkiran," lanjutnya, bercanda.
Damian tertawa. "Enggak asyik lo. Tumben serius amat?"
Valeria hanya mengangkat bahu. "Biarin. Oh ya, apa yang mau lo omongin? Kenapa lo cari gue?"
"Ada apa lo sama Aluna, Valeria?" tanya Damian langsung, tanpa basa-basi.
Valeria terdiam, menatap Damian. Ia terkejut Damian sudah tahu, tetapi ia juga merasa lega. Ia tahu tidak ada gunanya berbohong. Damian adalah orang pertama yang membantunya, dan ia adalah orang yang paling ia percayai.
"Lo... lihat gue ngobrol sama dia?" tanya Valeria.
Damian mengangguk. "Gue lihat lo sama Aluna di koridor. Terus lo kabur pas Revan nanya," katanya. "Ada apa sebenarnya dan kalian bicarain apa?
"Pertemanan," jawab Valeria, mencoba bersikap tenang.
"Maksudnya?" tanya Damian bingung. "Bukannya kalian memang teman, kan? Cuma enggak terlalu dekat aja, kayak lo sama Keira dan Naila. Mereka teman sekelas lo lagi, tapi bedanya lo jarang bareng mereka."
Valeria menghela napas. "Itu karena lo, Damian. Lo selalu ngikutin gue, jadi Keira dan Naila merasa enggak enak. Rasanya kayak gue enggak punya teman cewek . Lo juga punya geng lo sendiri, kan? Tapi lo enggak pernah lagi bareng mereka, ngikutin gue terus," katanya, nada suaranya sedikit kesal.
Damian tertawa. "Hahaha. Oke, jadi intinya lo ngajak Aluna buat temenan dekat gitu?"
"Iya. Tadi gue juga ngajak dia ke kantin bareng," kata Valeria. "Jadi, mulai hari ini, jangan ngintilin gue. Lo ke kantin bareng teman-teman lo aja."
"Enggak mau," jawab Damian. "Gue mau ikutan."
"Ih, apaan sih? Ini urusan cewek-cewek, lo tuh cowok, Damian!" protes Valeria.
Damian tersenyum melihat protes Valeria. Ia tahu bahwa Valeria sebenarnya tidak serius kesal. Ini adalah caranya menunjukkan bahwa ia sudah dewasa dan bisa mengurus urusannya sendiri.
"Oke, oke. Gue ngerti," kata Damian, mengangkat kedua tangannya menyerah. "Ini urusan cewek-cewek."
"Syukurlah lo ngerti," jawab Valeria, lega.
"Tapi," lanjut Damian, senyum jahilnya muncul. "Bukan berarti gue enggak bisa makan di kantin. Nanti lo dan Aluna ke kantin berdua, gue sama anak-anak duduk di meja sebelah. Gimana?"
Valeria terdiam sejenak. Ia tahu Damian tidak akan menyerah, dan ini adalah kompromi terbaik. "Oke, deal," katanya sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, bel istirahat berbunyi. Valeria melihat ke arah Aluna yang sudah menunggu di depan kelas. Dengan hati yang sedikit berdebar, ia berjalan menghampiri Aluna.
"Hai, Aluna. Maaf gue telat ya," kata Valeria.
"Enggak kok," jawab Aluna.
"Yaudah, ayo kita ke kantin," ajak Valeria.
Mereka pun berjalan ke kantin bersama. Tanpa mereka sadari, Fara melihat itu. Ia merasa marah dan kesal.
Selain Fara, Revan, Kian, dan Liam juga melihat interaksi mereka. Mereka melihat Aluna dan Valeria berjalan berdua, yang terasa aneh. Tepat saat itu, mereka melihat Damian berjalan sendiri dan menghampirinya.
"Damian!" panggil Revan sambil menghampirinya. Kian dan Liam mengikutinya.
Damian berhenti dan menoleh, tersenyum santai. "Kenapa?"
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Revan menunjuk ke arah Valeria dan Aluna yang mulai menjauh. "Kenapa Valeria jalan sama Aluna? Tumben banget. " tanya Revan, bingung.
Damian tersenyum simpul. "Valeria yang minta,"
jawabnya, lalu ia menjelaskan kompromi mereka. "Mereka mau ke kantin berdua, biar bisa ngobrol dari hati ke hati. Gue sama kalian disuruh makan di meja sebelah."
Revan, Kian, dan Liam saling pandang, terkejut. Mereka tidak menyangka Valeria akan mengambil langkah seperti itu. Fara dan Aluna adalah musuhnya, tapi Valeria malah memilih untuk mendekati Aluna. Ini adalah hal yang paling aneh yang mereka lihat.
Di kantin, Valeria dan Aluna tiba. Valeria melihat ke arah meja di mana Keira dan Naila sudah duduk.
"Aluna, ke sana yuk," ajak Valeria.
"Tapi, Valeria, gue enggak enak sama mereka," bisik Aluna, ragu. Ia menunduk, takut akan penolakan.
"Santai aja, dibawa asyik. Ayo," kata Valeria sambil menarik tangan Aluna perlahan.
Setibanya di meja Keira dan Naila, Valeria menyapa. "Hai, boleh gabung?"
"Apaan sih, Val? Kayak ke siapa aja," jawab Keira, tersenyum. "Duduk aja, masih muat kok."
"Haha, makasih," balas Valeria.
Naila menatap Aluna. "Aluna, kan?"
Aluna mengangguk canggung. "Iya."
"Ayo duduk, enggak usah sungkan," kata Naila ramah.
"Kalian mau pesan apa?" tanya Keira, membuat suasana semakin cair.
"Apa ya? Kalian mau apa?" tanya Valeria.
"Gue... siomay," kata Naila. "Esnya teh manis."
"Lo mau apa, Aluna?" tanya Valeria.
"Gue nasi ayam teriyaki, esnya... es lemon tea," jawab Aluna.
"Yaudah, Keira, ayo kita pesan," ajak Valeria.
"Eh, gue ikut," kata Aluna, mencoba bangkit.
"Enggak usah, lo di sini aja. Aluna, sama gue," kata Naila, menahan Aluna dengan ramah.
"Iya benar, temenin Naila. Bye," kata Valeria.
"Yuk, Val," kata Keira.
Mereka berdua berjalan ke konter pesanan. Tepat saat itu, Revan, Kian, dan Liam tiba di kantin. Mereka melihat Valeria dan Keira yang sedang mengantre di konter. Kemudian, mereka melihat Aluna dan Naila sedang mengobrol di mejanya. Kian melihat ada meja kosong tidak jauh dari mereka.
"Ayo kita ke sana," bisik Revan, matanya tidak lepas dari meja kosong yang dilihat Kian. "Duduk di sana, biar kita bisa lihat apa yang terjadi."
Kian dan Liam mengangguk. Mereka semua mengambil antrean untuk membeli makanan, lalu berjalan ke meja kosong tersebut. Dari sana, mereka memiliki pandangan yang jelas ke arah Valeria, Aluna, Keira, dan Naila.
Mereka makan dalam diam, tetapi mata mereka terus mengamati. Mereka melihat Valeria dan Aluna mengobrol dengan akrab, bahkan sesekali tertawa bersama Naila dan Keira. Ekspresi Aluna terlihat jauh lebih cerah dari biasanya. Revan dan teman-temannya saling berpandangan, bingung. Ini bukan yang mereka bayangkan.
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Tepat saat itu, Damian tiba dan berjalan menghampiri meja Valeria.
"Hei, kayaknya seru banget, ya, kalian? Apa yang kalian obrolin? Gue boleh ikut?" tanya Damian sambil tersenyum.
"Enggak!" kata Keira, Naila, dan Valeria serempak, membuat Damian terkejut.
"Santai, ladies," kata Damian, sedikit salah tingkah.
Dari meja mereka, Revan, Kian, dan Liam melihat kejadian itu. Revan kemudian bangkit dan berjalan ke meja Valeria, menarik Damian menjauh.
"Sini lo," kata Revan, menarik Damian ke meja mereka.
"Lo habis ke mana sih, Bro? Main hilang aja tadi," tanya Liam begitu Damian tiba di meja mereka.
"Toilet," jawab Damian singkat. Ia melihat meja yang sudah penuh dengan makanan dan minuman. "Eh, kalian udah duluan aja?"
"Lo lama sih," jawab Revan, cuek.
"Jadi, ceritain sekarang," kata Revan, menatap Damian dengan serius. Kian dan Liam mengangguk setuju.
Damian menghela napas. "Gue tahu kalian penasaran. Valeria tadi cerita ke gue," katanya, lalu ia menceritakan semuanya: dari keputusan kepala sekolah hingga tugas yang diberikan pada Valeria. "Jadi, Valeria harus bantu Aluna dan Fara kembali ke jalan yang benar. Ini adalah bagian dari hukuman mereka."
Ketiganya terkejut. "Seriusan?" tanya Liam, tidak percaya.
"Terus, sekarang dia lagi deketin Aluna. Dia mau Aluna ngerasa nyaman dulu, baru nanti ajak Fara," jelas Damian.
"Makanya mereka di sana, dan kita di sini."
Revan menoleh ke meja tempat para gadis duduk. Ia melihat Valeria dan Aluna tertawa bersama Keira dan Naila. Revan tersenyum, bangga pada sahabatnya. "Enggak nyangka," gumamnya.
"Gila, itu sih keren banget," kata Kian. "Valeria benar-benar bijak. Dia enggak membalas dendam, tapi malah membantu."
"Jadi, kita sekarang adalah tim pendukung rahasia," tambah Liam, tersenyum jahil.
Bel masuk pun berbunyi, menandakan waktu istirahat telah berakhir. Suara nyaring itu memecah keramaian kantin.
Valeria, Aluna, Keira, dan Naila segera menghabiskan minuman mereka dan membereskan sisa makanan. Mereka berjalan menuju kelas dengan senyum di wajah, seolah tidak ada masalah yang pernah terjadi.
Di sisi lain, Revan, Damian, Kian, dan Liam juga bangkit dari tempat duduk mereka. Mereka menatap ke arah para gadis yang berjalan menjauh.
Sementara itu, Fara yang sedari tadi mengamati dari sudut lain kantin, menatap tajam kepergian Aluna. Wajahnya terlihat sangat marah. Tanpa menunggu siapa pun, ia berbalik dan berjalan cepat menuju kelas.
Suasana di dalam kelas terasa hening. Semua murid fokus mendengarkan guru yang sedang menjelaskan pelajaran. Namun, keheningan itu tiba-tiba dipecah oleh suara Fara. Tanpa menoleh ke arah Aluna yang duduk di sebelahnya, Fara berbisik pelan, tetapi penuh dengan nada dingin.
"Enak ya lo sekarang?" bisiknya. "Gimana? Lo senang?"
Aluna menunduk, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu Fara sedang membicarakannya. Ia merasa senang di kantin tadi, tetapi perkataan Fara membuat rasa takutnya kembali muncul. Ia tidak berani menatap Fara, juga tidak tahu harus menjawab apa.
Aluna terdiam. Perasaan takut yang tadi memenuhi hatinya perlahan memudar, digantikan oleh kenangan senyum Valeria, sambutan hangat Naila, dan tawa yang baru saja ia rasakan di kantin. Ia tahu, kebahagiaan itu nyata, bukan fatamorgana seperti yang selama ini ia rasakan di sisi Fara.
Tanpa menoleh, Aluna menjawab dengan suara yang sangat pelan, nyaris tak terdengar.
"Aku... hanya makan siang," bisiknya. Ia tidak membantah, tidak menjelaskan, hanya menyatakan fakta sederhana, seolah tidak ada hal lain yang perlu dibahas.
Jawaban itu membuat Fara terkejut. Fara menoleh, menatap Aluna dengan tajam. Ada kemarahan yang membara di matanya, campur aduk dengan keheranan. Ia tidak menyangka Aluna, yang selama ini selalu penurut, berani menjawabnya dengan ketenangan seperti itu.
"Hah? Gue enggak bodoh, Aluna. Apa yang kalian bahas?" bisik Fara, suaranya dingin dan penuh ancaman.
Aluna tetap menatap lurus ke depan. "Enggak ada," jawabnya pelan.
Fara mendengus. Ia memiringkan kepalanya sedikit, menatap Aluna dari sudut matanya. "Lo yakin?"
"Ya," jawab Aluna, suaranya kini terdengar sedikit lebih kuat, meski pelan.
Fara mengatupkan rahangnya. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Aluna, gadis yang selama ini selalu patuh padanya, kini berani membantah. Kemarahan membakar di dalam dirinya.
"Heh," desis Fara, sebuah kata yang penuh dengan ancaman.
Bel pulang berbunyi, mengakhiri pelajaran. Saat Fara hendak bangkit dari kursinya, Rina dengan cepat mencegahnya. Aluna melihat itu. Fara menoleh ke arah Aluna, matanya tajam.
"Lo sana duluan," kata Fara kepada Aluna, suaranya pelan tapi mengancam.
"Tapi..." bisik Aluna.
"Jangan buat gue marah, Aluna," desis Fara.
Aluna mengangguk, lalu bangkit dan pergi meninggalkan Fara. Revan, Kian, dan Liam yang juga keluar dari kelas melihat itu, dan mereka memutuskan untuk menyusul Aluna, penasaran apa yang terjadi.
Setelah memastikan semua murid sudah keluar, Fara menatap Rina. "Lo mau apa, Rina?" tanyanya, suaranya dingin.
"Janji lo," kata Rina, tidak berbasa-basi. "Katanya lo mau traktir gue seminggu. Mau ngasih gue duit satu juta. Mana?"
Fara menghela napas. "Hah... lo punya nomor rekening gue, enggak? Gue enggak ada uang cash soalnya," jawab Fara.
"Ada," jawab Rina.
"Oke, gue kirim dua juta. Satu jutanya buat lo, satu jutanya lagi buat jajan lo selama seminggu," kata Fara.
Rina mengambil ponselnya dan memberikan nomor rekeningnya kepada Fara. Tanpa berkata-kata, Fara membuka aplikasi perbankan di ponselnya. Jari-jarinya dengan cepat mengetik nomor rekening dan jumlah uang yang sudah ia sebutkan tadi: dua juta rupiah.
Ia menekan tombol kirim, dan dalam hitungan detik, notifikasi transfer berhasil muncul di layar ponsel Fara dan Rina. Rina melihat ponselnya, matanya berbinar. Ia tidak menyembunyikan ekspresi puasnya.
Fara menyimpan ponselnya ke dalam saku. "Udah, kan?" tanyanya, suaranya dingin.
Rina menatap Fara, senyumnya sinis. "Udah. Makasih," jawabnya.
Aluna berjalan keluar dari kelas, mencoba menenangkan dirinya setelah percakapan dengan Fara. Ia terkejut ketika melihat Revan, Kian, dan Liam sudah menunggunya di depan pintu.
"Aluna, tunggu bentar," panggil Revan.
Aluna berhenti, merasa cemas. "Ada apa?"
"Gue mau tanya," kata Revan, matanya menatap Aluna dengan serius. "Tadi lo sama Fara kenapa? Kalian berantem?"
Aluna menunduk. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Sejenak, ia ragu. Tetapi melihat ekspresi Revan yang penuh perhatian, ia merasa aman. Ia mengangkat kepalanya dan hendak menjawab.
"Aluna!"
Suara tajam Fara menggema di koridor. Aluna, Revan, Kian, dan Liam menoleh. Fara berdiri di ambang pintu, matanya menatap Aluna dengan penuh amarah.
Tatapannya membakar. Tanpa memedulikan siapa pun, Fara menghampiri Aluna. Ia meraih pergelangan tangan Aluna dengan kasar dan menariknya.
"Ikut gue sekarang," desisnya, suaranya sangat pelan namun penuh ancaman.
Aluna terkesiap. Ia tidak bisa melawan, hanya bisa mengikuti langkah Fara. Revan, Kian, dan Liam hanya bisa menatap bingung, terlalu terkejut untuk bereaksi.
Tepat saat itu, Valeria, Damian, Keira, dan Naila tiba. Mereka melihat pemandangan itu dan langsung menghampiri Revan dan teman-temannya.
"Ada apa, Van?" tanya Valeria, suaranya penuh kekhawatiran.
Revan menoleh, ekspresinya masih tegang. "Fara... dia tiba-tiba datang dan narik Aluna pergi," jawabnya, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. "Dia enggak bilang apa-apa."
Fara menyeret Aluna ke sebuah lorong sepi di belakang gedung olahraga. Ia melepaskan tangan Aluna, lalu menatapnya dengan mata menyala-nyala.
"Jadi bener, ya," desis Fara. "Lo udah jadian sama mereka."
Aluna menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Enggak, Fara. Itu enggak kayak yang lo pikirin."
"Enggak kayak yang gue pikirin?" Fara tertawa sinis.
"Gue lihat lo ketawa-ketawa bareng mereka di kantin. Bahkan Valeria sama Keira yang tadinya enggak akrab sama lo, sekarang sok-sokan baik. Apa itu bukan berarti lo sudah pindah kubu?"
Aluna menunduk. "Mereka cuma baik sama gue. "
"Baik?" Fara melangkah mendekat. "Lo bego, ya?
Mereka cuma kasihan sama lo. Mereka cuma mau manfaatin lo, terus nanti buang lo. Sama kayak yang lo lakuin ke gue sekarang!"
"Dan tadi, apa yang mau lo omongin, Aluna?" tanya Fara, suaranya meninggi. "Lo mau bilang apa ke mereka? Soal tadi di dalam kelas? Iya kan? Lo mau cerita ini semua tentang gue ke mereka? Biar apa? Biar mereka tambah benci sama gue? Anggap gue cewek jahat? Iya?!"
Aluna terdiam, menatap Fara yang kini terlihat sangat marah. Aluna bisa melihat luka di balik kemarahan itu. Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri.
"Gue enggak akan ngelakuin itu, Fara. Lo salah paham," jawab Aluna, suaranya tenang. "Mereka cuma tanya apa yang terjadi, dan gue.... mau jawab yang sebenarnya."
"Yang sebenarnya?" Fara tertawa sinis, tanpa ada rasa geli. "Yang sebenarnya itu, lo pengkhianat! Lo pilih teman-teman baru lo daripada gue!"
"Mereka bukan teman-teman baru gue," kata Aluna, matanya mulai berkaca-kaca. "Mereka cuma baik sama gue, dan gue... capek terus-terusan diatur sama lo. "
"Aluna!" Fara membentak, kemarahannya mencapai puncaknya.
Tepat saat itu, ponsel Fara berbunyi nyaring. Ia melirik layar, dan nama "Papa" muncul. Amarahnya seketika meredup, digantikan oleh ekspresi terkejut. Ia menekan tombol jawab, suaranya kembali normal, seolah tidak ada yang terjadi.
"Halo, Pa?"
"Fara, kamu dan Aluna sudah selesai, kan? Papa sudah di luar. Ayo cepat keluar, Papa tunggu," suara papanya terdengar di seberang telepon.
Fara menghela napas, menatap Aluna dengan tajam. "Iya, Pa, ini Fara sudah di luar," katanya, berbohong. Ia kemudian menutup telepon, matanya kembali menatap Aluna.
"Ayo," katanya dengan nada datar. "Papa sudah nunggu."
Aluna menghela napas lega, bersyukur karena ia bisa keluar dari situasi ini. Ia mengikuti Fara keluar dari lorong sepi tersebut.
Di luar gerbang sekolah, Bram, papa Fara, sudah menunggu di dalam mobilnya. Ia melihat Fara dan Aluna berjalan keluar. Fara langsung masuk ke dalam mobil tanpa menyapa. Aluna, di sisi lain, tersenyum dan menyapa omnya.
"Halo, Om," sapa Aluna.
Bram menatap wajah Aluna, melihat sedikit kesedihan di matanya. "Kamu enggak apa-apa, Aluna?" tanyanya khawatir.
"Iya, Om," jawab Aluna, berusaha tersenyum.
Di dalam mobil, Fara mendengus. "Pa, ayo pulang. Panas," katanya, tidak sabar.
Bram mengangguk, lalu menoleh ke Aluna. "Ayo, Lun, masuk. Kita pulang."
Selama perjalanan, suasana di dalam mobil terasa canggung. Fara sibuk bermain ponselnya dan tidak berbicara, sementara Aluna hanya diam, menatap ke luar jendela. Bram melihat keduanya dari kaca spion, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia memilih untuk diam dan tidak bertanya.
Sesampainya di rumah Aluna, mobil Bram berhenti. Fara langsung turun dan berjalan masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bram menoleh ke belakang, menatap Aluna yang masih duduk di jok mobil.
"Aluna, ikut Om sebentar," kata Bram dengan suara lembut.
Aluna hanya mengangguk, lalu turun dari mobil dan berdiri di samping Bram. Ia menunggu, jantungnya berdebar, penasaran apa yang akan ditanyakan oleh omnya.
"Ada apa, Om?" tanya Aluna.
"Bram menatap Aluna, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia tidak ingin membuat Aluna merasa tidak nyaman.
"Om lihat kamu dan Fara hari ini kelihatan tidak seperti biasa. Apalagi tadi di sekolah, Om lihat kalian terlihat sangat tegang. Ada apa sebenarnya, Aluna?" tanya Bram, dengan nada lembut dan penuh perhatian.
Bram menatap Aluna dengan serius. "Aluna, cerita sama Om kenapa. Jangan ditutup-tutupi," katanya dengan nada lembut namun tegas.
Mendengar kata-kata itu, pertahanan Aluna runtuh. Air mata yang selama ini ia tahan tumpah. Ia mulai menceritakan semuanya, mulai dari gosip yang menyebar, perlakuan Fara yang mulai berubah, hingga hukuman yang diberikan oleh kepala sekolah. Ia bercerita tentang kebingungannya, perasaannya yang lelah dan kesepian.
"Aku... aku tidak tahu lagi harus bagaimana, Om," isak Aluna. "Fara sangat marah padaku, dan aku... aku takut."
Bram mendengarkan dengan sabar, hatinya hancur melihat Aluna menangis. Ia tidak menyela, hanya menunggu Aluna selesai bercerita. Setelah Aluna selesai, ia menghela napas panjang.
"Ayo kita masuk ke dalam," kata Bram dengan suara tenang.
Ia membuka pintu dan mempersilakan Aluna masuk. Di dalam, Bram menginstruksikan Aluna untuk menunggu.
"Aluna, kamu tunggu di sini, ya. Sebentar," katanya.
Setelah memastikan Aluna duduk di ruang tamu, Bram menaiki tangga. Ia berjalan ke kamar Fara dan langsung membuka pintunya tanpa mengetuk. Fara yang sedang duduk di tempat tidur terkejut.
Bram menatap sekeliling kamar Fara, pandangannya dingin. Ia kemudian melihat sebuah koper besar di sudut kamar. Ia mengambilnya, meletakkannya di atas tempat tidur, lalu menatap Fara dengan tajam.
"Masukkan semua baju-baju kamu, buku-buku kamu, semuanya. Sekarang," perintah Bram, suaranya tidak memberikan ruang untuk bantahan.
"Pa, ada apa?" tanya Fara, suaranya dipenuhi kebingungan.
"Fara, cepat bereskan barang-barang kamu. Sekarang," ulang Bram, suaranya dingin dan tegas.
Namun, Fara hanya diam, matanya dipenuhi air mata. Melihat putrinya tidak bergerak, Bram berjalan ke lemari Fara. Ia membukanya, melihat isinya, lalu mulai memasukkan baju-baju Fara ke dalam koper.
"Papa ngapain sih? Barang-barang aku mau dikemanain?" tanya Fara, mencoba menghentikan ayahnya.
Bram tidak menjawab. Ia mengambil koper lainnya dan terus memasukkan buku, sepatu, dan barang lainnya. Setelah selesai, ia menutup kedua koper itu, berdiri, dan menatap Fara dengan tatapan dingin.
Bram keluar dari kamar, membawa kedua koper itu menuruni tangga. Fara mengikutinya dari belakang, terus-menerus bertanya.
"Pa, barang-barang aku mau dibawa ke mana, Pa? Jawab aku!"
Ketika melewati ruang tamu, Aluna melihat Bram membawa koper-koper Fara. Mata Aluna dan Fara bertemu. Di mata Aluna ada rasa kasihan, dan di mata Fara ada kemarahan dan kebencian yang mendalam.
Bram membawa kedua koper itu ke depan rumah dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Selesai dengan koper, ia menoleh ke arah Fara yang masih berdiri di ambang pintu, matanya dipenuhi amarah dan kebingungan.
"Masuk ke mobil, Fara," perintah Bram.
Fara, meskipun enggan, menuruti ayahnya. Ia masuk ke mobil, menutup pintu dengan keras. Namun, mobil tidak langsung berjalan. Bram menghampiri Aluna yang masih berdiri di depan pintu rumah.
"Aluna," panggilnya lembut. "Om akan kirim seseorang besok untuk membantumu dan menemanimu di rumah. Kamu berhati-hati di rumah ya. Jangan kemana-mana, tetap di dalam rumah. "
Aluna hanya mengangguk, terharu dengan perhatian Bram. Ia melihat mobil Bram menjauh, membawa Fara pergi. Aluna kini sendirian, tetapi ia tidak merasa takut.
Di dalam mobil, Fara mencoba memecah keheningan.
"Papa mau bawa aku ke mana? Papa mau bawa aku ke mana, jawab!" tanyanya, suaranya dipenuhi frustrasi.
Namun, Bram hanya fokus menyetir, pandangannya lurus ke depan. Ia tidak menjawab. Keheningan itu terasa sangat berat, membuat Fara semakin putus asa. Ia mengerti bahwa ayahnya sangat marah.
Sementara itu, Valeria dan Tante Kiara tiba di rumah. Ketika mereka masuk, mereka melihat Diandra, mama Valeria, sudah duduk di ruang tamu.
"Baru pulang?" tanya Diandra, suaranya tenang.
"Iya, Mbak. Tadi perjalanannya macet," jawab Tante Kiara. "Mbak kapan pulang? Bukannya Mbak bilang lusa baru pulang?"
"Barusan. Lebih cepat itu lebih baik, Kiara," kata Diandra. Ia kemudian menoleh ke arah Valeria. "Valeria, masuk ke kamarmu, ganti baju, dan kita makan siang bersama."
Valeria mengangguk.
"Kiara, kamu ikut Mbak. Ada yang harus kita bicarakan," lanjut Diandra, menatap adiknya dengan serius.
Diandra berdiri dari duduknya dan melangkah pergi menuju halaman belakang. Kiara mengikutinya. Sementara itu, Valeria berjalan menaiki tangga ke kamarnya, membiarkan kedua orang dewasa itu berbicara.
Sesampainya di halaman belakang, Diandra menoleh ke arah Kiara. "Kamu sudah atur pertemuan dengan Tiara dan Bram?" tanyanya tanpa basa-basi.
Kiara menggelengkan kepalanya. "Belum, Mbak. Maaf, aku belum sempat."
Diandra menghela napas, terlihat sedikit kecewa. "Ya sudah, biar Mbak yang menghubungi mereka," katanya.
Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu mencari kontak Tiara dan langsung menelepon nya. Di rumahnya, Tiara sedang duduk bersama suaminya, Ken. Ponselnya berdering, dan Tiara melihat nama Diandra di layar.
"Diandra," kata Tiara, terkejut. "Tumben kamu telepon."
"Hai, Tiara," balas Diandra, suaranya tenang. "Maaf mengganggu, tapi ada sesuatu yang penting yang perlu kita bicarakan."
Ken melirik istrinya. "Ada apa?" bisiknya.
Tiara hanya menggeleng. "Apa yang terjadi, Diandra?" tanyanya.
"Bisa kita bertemu hari ini jam dua ? Aku, kamu, dan Bram. Ini tentang anak-anak kita," jawab Diandra. "Ada masalah yang harus kita selesaikan."
Tiara terdiam. Ia menatap Ken, lalu kembali menatap ponselnya. "Masalah apa? Apakah ini tentang Fara dan Risa?" tanyanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
"Ya," jawab Diandra. "Lebih baik kita bicarakan secara langsung. Aku akan kirim lokasinya."
Tiara menutup telepon, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Ia menatap suaminya, Ken, dengan mata cemas. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Mereka sudah tahu apa yang Fara dan anak mereka, Risa, lakukan. Kecemasan Tiara bukan karena ia tidak tahu, melainkan karena ia tahu persis seberapa buruk masalah ini.
"Bagaimana?" tanya Ken, yang sedari tadi ikut tegang.
"Apa kata Diandra?"
"Dia bilang kita harus bertemu jam dua siang ini," kata Tiara, suaranya bergetar. "Dia dan Bram... Dia bilang sudah waktunya kita menyelesaikan masalah anak-anak ini."
"Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskan kepada Diandra," gumam Tiara, terdengar cemas. "Apa kita harus menjelaskan tentang keadaan Risa, bahwa dia kecanduan judi online? Enggak mungkin, kan?"
"Kita jelaskan yang sebenarnya terjadi saja," kata Ken.
"Dan masalah Risa tentang kecanduannya tidak perlu diceritakan. Cukup antara aku dan kamu saja yang mengetahuinya."
"Iya," jawab Tiara, setuju.
Di saat yang sama, setelah menghubungi Tiara, Diandra kembali menghubungi Bram. Saat itu, Bram masih di perjalanan. Ia mendengar ponselnya berdering dan melihat nama yang tertera di layar: Diandra. Ia kemudian mengangkatnya.
"Halo, Diandra," kata Bram, suaranya terdengar lelah.
"Bram," balas Diandra, suaranya tenang dan tegas. "Aku sudah atur pertemuan dengan Tiara dan Ken. Mereka setuju untuk bertemu jam dua siang ini. Kamu bisa datang?"
Bram melirik Fara dari kaca spion. Ia melihat putrinya duduk diam, menatap ke luar jendela dengan wajah muram.
"Iya, bisa," jawab Bram, suaranya tenang. "Di mana lokasinya?"
"Aku akan kirim lokasinya," balas Diandra.
"Baik, Diandra," jawab Bram. Panggilan pun berakhir.
Di halaman belakang, Kiara bertanya, "Mbak, mereka mau bertemu?"
"Ya," jawab Diandra, singkat.
Ia kemudian berbalik dan melangkah masuk ke dalam rumah, diikuti Kiara.
Mereka berjalan ke ruang makan di mana Valeria sudah tiba.
"Ayo kita mulai makan siangnya," ajak Diandra.
Mereka pun duduk bersama di meja makan dan menyantap hidangan yang sudah tersedia. Suasana makan siang terasa agak sunyi dan tegang, karena Kiara dan Valeria tahu ada sesuatu yang penting sedang terjadi.
Setelah makan siang selesai, Diandra berdiri. "Ya sudah, Kiara, aku mau berangkat sekarang," katanya. "Pastikan Valeria les hari ini, mengerti?"
"Mengerti, Mbak," jawab Kiara.
Diandra melihat ke arah Valeria. "Valeria, kamu siap-siap buat les. Sebentar lagi Ibu Jasmine akan datang," katanya.
"Iya, Ma," jawab Valeria.
"Oke, kalau begitu, aku pergi," kata Diandra.
Ia kemudian berbalik dan berjalan menuju pintu. Setelah masuk ke dalam mobil, ia meninggalkan rumah.
Bersambung.....