sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan yang tidak terucap
Malam turun perlahan di rumah besar itu, membawa sunyi yang tidak pernah benar-benar kosong. Lampu-lampu kristal di ruang makan menyala temaram, memantulkan bayangan panjang di lantai marmer. Oma Rosmawati duduk sendiri di ujung meja, secangkir teh chamomile sudah dingin di depannya.
Ia tidak menyentuhnya.
Pikirannya terlalu penuh.
Sejak siang tadi, adegan di kedai kopi Bio terus berputar di kepalanya. Cara Bintang tersenyum—tulus, hangat. Cara Bio berdiri di sampingnya—tenang, menahan sesuatu yang tidak ia ucapkan. Oma mengenal tatapan itu. Tatapan seseorang yang mencintai, tapi takut kehilangan.
Dan justru itulah yang membuat Oma semakin resah.
Rosmawati berdiri, berjalan menuju jendela besar yang menghadap taman. Dari sana, ia bisa melihat lampu-lampu kota berkelip jauh di bawah. Dunia bergerak cepat, sementara cucunya masih terjebak dalam hubungan yang, menurutnya, rapuh.
“Cinta saja tidak cukup,” gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri.
Ia bukan tidak menyukai Bio. Bahkan, jauh di dalam hatinya, ia mengakui laki-laki itu punya ketulusan yang jarang ditemui. Tapi ketulusan tidak selalu bisa melindungi. Tidak selalu bisa bertahan ketika masa lalu, status, dan rahasia mulai menuntut harga.
Dan Oma tahu—masa lalu itu ada.
Ketukan pelan terdengar di pintu.
“Oma?” suara Bintang menyusup ragu.
Rosmawati menoleh, ekspresinya segera berubah lebih lembut. “Masuk.”
Bintang melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Rambutnya terurai, wajahnya lelah setelah seharian bekerja. Ia mendekat, lalu duduk di kursi seberang Oma.
“Oma belum tidur?” tanyanya.
Oma tersenyum tipis. “Sudah tua, tidurnya memang tidak nyenyak.”
Ada jeda. Bintang memutar-mutar jarinya di atas meja, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi mengurungkan niat.
Oma memperhatikan gerak-gerik itu. Ia tahu cucunya sedang berusaha keras menjaga keseimbangan—antara cinta dan tanggung jawab, antara Bio dan dunia yang ia warisi.
“Kamu capek akhir-akhir ini,” kata Oma akhirnya.
Bintang mengangguk. “Sedikit. Tapi aku baik-baik saja.”
Rosmawati menatapnya lama. “Bio menjagamu?”
Pertanyaan itu terdengar ringan, tapi maknanya berat.
“Iya,” jawab Bintang cepat. “Dia selalu ada.”
Oma mengangguk pelan, seolah menerima jawaban itu. Tapi di dalam hatinya, sebuah keputusan justru semakin mengeras.
Setelah Bintang pamit ke kamar, Oma kembali sendirian. Ia berjalan ke ruang kerja, membuka laci meja yang jarang disentuh orang lain. Di dalamnya ada map cokelat, rapi, dengan nama yang sudah ia kenal lama.
Satya Dirgantara.
Ia membuka map itu, membaca ulang catatan singkat yang sudah berkali-kali ia telaah. Latar belakang keluarga baik. Pendidikan seimbang dengan Bintang. Jaringan bisnis yang bersih. Dan yang terpenting—tidak membawa bayang-bayang masa lalu yang bisa melukai cucunya.
Rosmawati menutup map itu perlahan.
“Bukan sekarang,” katanya lirih. “Tapi sebentar lagi.”
Ia tahu, jika diucapkan sekarang, Bintang akan melawan. Akan menangis. Akan terluka. Maka rencana ini harus disusun diam-diam. Pelan. Tanpa suara.
Bukan untuk memisahkan secara kasar, tapi untuk memberi pilihan lain—yang menurutnya lebih aman.
Di lantai bawah, ponsel Oma bergetar. Sebuah pesan masuk dari seseorang yang ia percaya.
Pertemuan keluarga Dirgantara bisa diatur kapan saja.
Rosmawati mengetik balasan singkat.
Kita tunggu waktu yang tepat.
Ia meletakkan ponsel, lalu memejamkan mata sejenak. Ada rasa bersalah yang menyelinap, tapi ia menahannya. Dalam hidup, tidak semua keputusan harus diucapkan. Beberapa cukup dijalankan.
Di kamar lain, Bintang tertidur dengan ponsel di tangan, layar masih menampilkan pesan terakhir dari Bio.
Sampai besok. Jangan lupa istirahat.
Bintang tersenyum kecil dalam tidurnya, tidak tahu bahwa di bawah atap yang sama, sebuah keputusan sedang disusun—tanpa suaranya, tanpa izinnya.
Dan Bio, di tempat yang berbeda, masih memilih diam.
Sementara takdir perlahan bergerak, tanpa meminta siapa pun siap.
...****************...