NovelToon NovelToon
Serafina'S Obsession

Serafina'S Obsession

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Romansa Perdesaan / Mafia / Romansa / Aliansi Pernikahan / Cintapertama
Popularitas:49
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."

🌊🌊🌊

Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.

Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.

Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.

Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.

Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.

Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.

Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

11. Jiwa Rafael De Luca

Tiga hari.

Tiga hari sejak laut Mareluna yang biru dan kejam itu menelan Rafael De Luca. Laut kini kembali tenang, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa, seolah-olah ia tidak menyimpan sebuah rahasia besar yang merobek hati banyak orang. 

Kehidupan di desa itu berjalan, tapi seperti roda yang menggerus dengan suara sumbang. Aktivitas pelelangan ikan tetap berlangsung, tapi suara Marco dan kawan-kawannya tak lagi sekencang dulu. Tawa mereka hilang, digantikan oleh bisikan-bisikan pilu dan tatapan kosong ke arah horizon.

Serafina Romano telah berubah menjadi bayangan dari dirinya sendiri. Dia menolak untuk tidur, menghabiskan hari-harinya dengan duduk di gang menurun dekat rumah Nonna Livia—tempat yang sama di mana Rafael biasa menunggunya dengan sepeda tuanya, dengan senyum santai yang siap membawanya menjelajahi setiap sudut Mareluna. Rambutnya yang dulu selalu rapi kini diterbangkan angin laut tanpa ia pedulikan. Matanya bengkak dan merah, kolam air mata yang tak pernah benar-benar kering.

Rosa dan Matteo, dengan hati yang hancur berkeping-keping, masih menyempatkan diri untuk menengoknya, membawakan makanan yang tak pernah disentuhnya. Mereka mencoba menawarkan kata-kata penghiburan, tapi Serafina hanya bisa menggeleng, tatapannya tertancap pada jalanan kosong itu, seolah-olah dengan kekuatan keinginannya sendiri, Rafael akan muncul dari balik tikungan.

Elio, yang selama ini bersikap dingin dan menyembunyikan perasaan, perlahan-lahan meleleh. Kekhawatirannya pada Serafina mengalahkan rasa cemburu dan sakit hatinya. Dia setia menjaga, membawakan roti hangat setiap pagi meski tahu Serafina hanya akan memegangnya sebentar sebelum akhirnya membiarkannya dingin. Dia adalah benteng terakhir yang masih berdiri untuk Serafina.

Warga desa, dengan caranya sendiri, mulai berduka. Di sepanjang dermaga, lilin-lilin kecil dinyalakan setiap senja, membentuk sebuah jalan cahaya yang memanjang ke laut. Sebuah persembahan untuk ‘jiwa Rafael De Luca’, seorang putra terbaik Mareluna yang diklaim kembali oleh sang Ibu Laut.

Setiap sore, dengan langkah gontai, Serafina berjalan ke pelabuhan. Matanya menyisir setiap sudut, setiap wajah, berharap melihat sosok tinggi tegap dengan rambut pirang itu tersenyum padanya, berkata bahwa semua ini hanya lelucon yang buruk. 

Atau dia akan berkunjung ke rumah De Luca, duduk di teras dengan Mila yang kini sering terdiam, berbagi kesedihan yang sama dalam keheningan.

Malam itu, Serafina kembali berbaring di atas kasurnya, matanya terbuka lebar menatap langit-langit kamar yang gelap. Bayangan Rafael menari-nari di pikirannya—caranya tertawa, caranya memandangnya, kehangatan bibirnya.

Ketukan pintu yang pelan mengusik kesunyian. Elio masuk, membawa secangkir coklat panas yang mengepulkan aroma manis. Dia menaruhnya di nakas.

“Minumlah. Ini bisa membantumu tidur,” ujarnya, suaranya lembut.

Serafina tidak bergerak. Elio mendekat, dan dengan hati-hati, dia membantu Serafina untuk duduk. Serafina mendengus kesal, tapi terlalu lelah untuk melawan. Dia duduk bersila, menyeruput coklat itu dengan patuh di bawah pengawasan Elio.

“Puas?” gumam Serafina setelah selesai, bibirnya belepotan coklat.

Elio tidak menjawab. Dia mengambil selembar tisu dan dengan gerakan hati-hati yang tak terduga, mengusap bibir Serafina. Sentuhan itu singkat, tapi terasa membakar bagi Elio. Dia lalu duduk di lantai, bersandar ke dinding di dekat kasur.

“Aku akan menemanimu sampai kau tertidur.”

Yang terjadi justru sebaliknya. Serafina tiba-tiba turun dari kasur dan duduk di lantai yang dingin di sebelah Elio. Dia melipat kakinya ke atas dan memeluk lututnya, menaruh kepalanya di atasnya.

Elio langsung berdiri, panik. “Signorina, kembalilah ke kasur. Lantai dingin. Ini ... tidak pantas.”

“Kau pernah duduk di sebelahku di kapal waktu Festival Laut,” bantah Serafina dengan suara lirih, tanpa menatapnya.

Elio menggaruk-garuk kepalanya yang sudah berantakan, sebuah kebiasaan saat dia gelisah. “Itu ... situasinya berbeda. Sekarang, tolong, naiklah ke kasur.”

Serafina malah menggeleng dan menyandarkan kepalanya yang lelah ke lututnya yang terlipat. Melihat keteguhan itu, Elio akhirnya menyerah. Dia duduk kembali di lantai, menjaga jarak yang sopan, namun cukup dekat untuk merasakan hawa kesedihan yang memancar dari Serafina.

“Kantung matamu sudah seperti orang yang tersiksa. Kau akan menjadi jelek,” ucap Elio, mencoba menyelipkan canda yang datar.

“Aku tidak peduli,” bisik Sera, suaranya parau. “Aku sudah kehilangan sosok Papà yang kukagumi. Dan sekarang ... aku kehilangan satu-satunya laki-laki yang mengingatkanku pada kelembutan Papà.” 

“Apa aku tidak bisa menjadi penggantinya?” batin Elio, rasa perih menyayat dadanya.

Kelelahan dan kesedihan akhirnya menaklukkan Serafina. Dia tertidur dalam posisi duduk, kepalanya hampir terjatuh. Elio menghela napas. Dengan mudahnya, dia mengangkat tubuh Serafina yang ringan dan membaringkannya kembali di kasur. 

Di antara tiga pria—Marco, Rafael, dan Elio—yang tingginya sama-sama menjulang sekitar 190 cm, Rafael adalah yang paling kekar, diikuti Marco, dan terakhir Elio dengan tubuh yang ramping namun berotot. Di hadapan mereka, Serafina dan Giada dengan tinggi 160 cm terlihat begitu kecil dan rentan.

Saat Elio sedang merapikan selimut, tangan Serafina tiba-tiba meraih lengannya dengan kuat.

“Rafael …,” gumamnya dalam tidur.

Elio kaget, berusaha melepaskan genggamannya dengan lembut. Tapi Serafina menariknya lebih keras, menyebut nama Rafael sekali lagi. Tarikan itu begitu kuat dan tiba-tiba, membuat Elio kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke atas kasur. Dengan refleks, dia menahan tubuhnya dengan kedua tangannya, sehingga tidak sepenuhnya menindih Serafina.

Dada Elio berdebar kencang. Wajah mereka begitu dekat. Dia bisa melihat setiap bulu mata Serafina, merasakan napasnya yang hangat dan beraroma coklat. Darahnya berdesir, sebuah perasaan terlarang yang selalu dia pendam hampir keluar.

Dia berusaha bangkit, mati-matian melawan setiap insting dalam dirinya yang ingin tinggal lebih lama. Tapi kemudian, Serafina tersenyum dalam tidurnya.

“Rafael ... jangan pergi…”

Kali ini, lengannya meraih leher Elio dan menariknya turun. Lebih buruk lagi, kaki Serafina secara tidak sadar mengaitkan diri di pinggang Elio, mengunci tubuhnya dalam sebuah pelukan yang tak terduga.

“Sera…” Elio berbisik, suaranya serak. “Apa kau tidur?”

Satu-satunya jawaban adalah pelukan yang semakin erat dan kepala Serafina yang mendekatkan diri ke dadanya, mencari kehangatan.

Masalahnya, posisi kaki Serafina yang mengunci itu tanpa sengaja menyentuh titik sensitif di antara tubuh mereka. 

Elio mengerang pelan, matanya memejam menahan sebuah gelombang rasa yang tidak pantas. Dia mengutuk dalam hati, baik pada situasi ini maupun pada dirinya sendiri yang bereaksi.

Dia terjebak.

Terjebak dalam pelukan nona mudanya yang sedang bermimpi tentang pria lain. Terjebak antara kewajiban untuk melindungi dan keinginan untuk memiliki. 

Dan di dalam kegelapan kamar itu, dengan tubuh Serafina yang hangat terpatri padanya, Elio harus berjuang mati-matian untuk tidak melampaui batas yang telah ditetapkan oleh statusnya, sambil memohon pada siapa pun yang mendengar agar kekuatan dan kesetiaannya tidak terkalahkan oleh gejolak hatinya sendiri.

...🌊🌊🌊...

“Tunggu. Apa ... semalam ... così?” tanyanya sambil melirik cepat ke area celana Elio.

Elio wajahnya berubah merah padam. “Mannaggia!” kutuknya, lalu langsung melarikan diri dari kamar seolah-olah iblis sedang mengejarnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!