Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Monolog Sang Bayangan
...Chapter 11...
Ia ingin memastikan Ilux Rediona, sang tokoh utama, dan para wanita penting yang mengitari hidupnya, bisa bergerak dan bertindak tanpa terjerumus terlalu jauh dari jalur yang sudah ditentukan.
Dalam kesunyian tersebut, Theo menyadari bahwa ia memikul beban ganda.
Bukan hanya sebagai pengamat atau penulis yang memetakan alur, tetapi juga sebagai penjaga naskah hidup, yang harus memastikan tragedi dan kemenangan terjadi sebagaimana mestinya, meski rasa kasihan terhadap karakter tertentu—terutama Erietta—berderai di hatinya.
Ia menelan napas panjang, membiarkan pikiran itu menenangkan dirinya sendiri, sementara dunia di sekelilingnya tetap bergerak, dipenuhi bayangan, cahaya, dan suara nan membingungkan.
'Lucu ya, aku ini seperti bayangan yang tak pernah diundang tapi wajib ada.
Ilux bergerak, aku ikut.
Ilux jatuh, aku berdarah.
Ilux bersinar, aku cuma mencari tempat agar tidak kebakar.'
Fuuuuh!
'Aku bukan pengikut, tapi juga bukan penonton. Aku cuma ketergantungan.
Kalau Ilux mati, tamat juga ceritaku.
Jadi mau tak mau, aku harus memastikan dia tetap hidup, tetap kuat, senantiasa berjalan sebagaimana skenario.
Ini panggungnya dia, dan tugasku hanya membuat cahaya itu tidak padam—meski artinya aku harus terus mengintainya dari balik bayang sendiri.'
Theo harus terus mengawasi setiap gerak-gerik Ilux, terlebih dalam pertempuran menentukan melawan Ar'tushamth, bagaikan bayangan nan melekat tak terelakkan.
Pengawasan yang hampir mirip dengan menguntit ini bukanlah pilihan, melainkan sebuah keniscayaan nan terlahir dari ikatan tak kasat mata.
Theo sepenuhnya sadar betapa busuknya pribadi Ilux, seorang protagonis dengan obsesi liar dan nafsu penaklukan nan membuatnya bahkan lebih menjijikkan daripada gambaran terburuk Theo tentang seorang antagonis.
Namun, semua cela itu tidak lagi penting ketika nyawanya sendiri tergantung pada setiap tarikan napas sang tokoh utama.
Alasan terdalam dari semua ini adalah ketergantungan.
Kematian Ilux berarti tamatnya riwayat Theo.
Luka yang diderita Ilux akan terasa pula pada tubuh Theo, seolah ada benang takdir nan menjahit rasa sakit mereka menjadi satu.
Sebaliknya, setiap lonjakan kekuatan baru yang diperoleh Ilux akan memantul, menganugerahkan Theo dengan versi kemampuan yang serupa namun tetap unik.
Ironisnya, penderitaan Theo sama sekali tidak berdampak balik kepada Ilux, menjadikan hubungan ini sebagai sebuah pengabdian sepihak yang pahit.
Ilux adalah pusat dari segala cerita, sementara Theo hanyalah penopang di balik layar.
Dia harus memastikan sang protagonis tetap kuat dan bergerak sesuai skenario yang telah ditetapkan, meski seringkali harus menyaksikannya dari jarak yang tidak sepenuhnya aman, di sela-sela bahaya nan mengintai.
Pada akhirnya, Theo bagaikan pelayan setia yang tak diundang.
Ketika Ilux melangkah, dia mengikuti.
Saat Ilux terjatuh, dia yang berdarah.
Dan ketika Ilux akhirnya bersinar, dia hanya bisa mencari sudut gelap agar tidak ikut terbakar.
Ini adalah panggung milik Ilux, dan satu-satunya tugas Theo adalah memastikan cahaya sang bintang tidak pernah padam, bahkan jika untuk itu dia harus terus bersembunyi di balik bayang-bayangnya sendiri.
'Batas pemisah dunia nyata dan game sudah tidak tersisa lagi.
Secara tiba-tiba Flo Viva Mythology menyatu dengan eksistensiku, melenyapkan segala hal dan hanya menyisakan satu persen terakhir termasuk aku, Theo Vkythor, sebagai korban tunggal dari dunia yang telah hancur.
Yang mengherankan, aku bukanlah penulisnya.
Hanya seorang penonton yang tanpa disengaja terjerumus ke dalam narasi, merasakan kepedihan nan seharusnya bukan nasibku.'
Uuuushh!
'Pada saat Ilux diejek karena tidak bisa memegang senjata, dadaku turut menjerit sakit—seolah semua hinaan itu juga diperuntukkan bagiku.
Aku merasa tiada arti.
Begitu tidak berarti, hingga hampir saja berhenti berjuang.
Dan ketika Nusburath menikamnya, tombak menembus perut Ilux, darah menganak di tanah, aku langsung ambruk, kejang, seperti tubuhku sendiri yang terluka.
Tidak mampu bergerak, tidak mampu menolong.
Hanya bisa tertawa masam atas kehidupan yang sudah kehilangan semua pembatas.
Antara aku, dia, dan dunia ini, seluruhnya telah larut dalam suatu kegilaan yang bahkan aku sendiri tidak lagi memahaminya.'
Dengan dunia nyata dan dunia game yang telah melebur menjadi satu, Theo terjebak dalam sebuah realitas baru yang tidak sepenuhnya dipahami.
Dia bukanlah pencipta alam semesta Flo Viva Mythology ini, hanya seorang penulis biasa yang kini terlempar ke dalam narasi yang bersumber dari karyanya.
Dunia lamanya musnah, tersingkirkan sebanyak sembilan puluh sembilan persen, dan Theo hanyalah satu dari sisa satu persen yang berhasil bertahan.
Dalam realitas yang terdistorsi ini, hukum nan mengikatnya sederhana namun kejam.
Nasibnya terikat secara sepihak dengan Ilux, sang protagonis utama.
Ikatan itu telah dua kali membuktikan kekuatannya dengan cara yang menghancurkan secara psikis dan fisik.
Pertama, ketika Ilux dipermalukan karena ketololannya memegang senjata untuk pertama kali.
Theo, yang mengawasi dari kejauhan di tempat yang relatif aman, tiba-tiba merasakan hancurnya harga diri dan pedihnya cibiran—seakan dialami langsung oleh jiwanya sendiri.
Gelombang perasaan tidak berdaya dan keputusasaan yang mendalam menerpa, membangkitkan gaungan kuat keinginan untuk mengakhiri segalanya, meskipun sumber rasa malu itu bukanlah dirinya.
Kedua, dan yang lebih tragis, adalah saat kekalahan Ilux melawan anggota Nusburath.
Theo, yang berusaha mendekati Ilux yang tubuhnya tertusuk tombak hingga perutnya berlubang, mendadak terhempas ke tanah.
Sebuah sensasi tusukan nan sama menghujam perut, membuatnya lumpuh dan kejang-kejang tak berdaya di atas tanah.
Dia sama sekali tidak bisa bergerak, hanya bisa terguling dalam penderitaan yang menyiksa, menyaksikan dari dekat bagaimana tubuh Ilux robek, sambil merasakan sakit yang paralel tanpa bisa melakukan apa pun.
Itu adalah pengalaman yang begitu menggelikan sekaligus menyiksa, sebuah lelucon kosmis nan mempermainkannya.
'Rintikannya halus, tapi cukup untuk membuat tanah kembali hidup.
Lucu ya, setelah semua kegilaan yang terjadi, dunia ini masih bisa menyimpan hal sederhana semacam hujan.
Puluhan hari berjalan, dan rasanya hanya seperti sekejap, seakan-akan waktu di Akademi Bintang ini tidak pernah berjalan dengan wajar.'
Puluhan hari berlalu tanpa terasa, dan waktu berjalan bagai air nan menetes perlahan dari celah batu, mengikis sedikit demi sedikit ketenangan yang tersisa.
Pagi itu, Akademi Bintang berdiri dalam nuansa kelabu begitu lembap.
Hujan rintik-rintik turun seolah takut untuk benar-benar membasahi tanah, hanya sekadar menyentuh dedaunan dan genting-genting tua yang menampung genangan kecil di tepian atap.
Udara membawa aroma tanah nan segar, bercampur samar dengan wangi kertas basah dari buku-buku pelajaran yang disimpan di balik jendela kaca ruang belajar.
Di kejauhan, menara jam akademi berdetak pelan, seolah ikut mengingatkan setiap insan bahwa waktu—sekalipun tak disadari—tetap menuntut pengorbanan dalam tiap detiknya.
Sementara itu, dalam sunyi yang terlukis oleh embun pagi, seseorang tenggelam dalam renungannya.
Seseorang bernamakan Theo Vkytor.
Saat ini pikiran tentang dunia game Flo Viva Mythology terus berputar di kepala, menelisik tiap celah logika dan batas absurditas yang melingkupi.
Dunia itu bukan sekadar permainan, melainkan sistem yang hidup, bernapas, dan menuntut pemahaman lebih dari sekadar menekan tombol atau menjalankan misi.
Ia memikirkan hukum tersembunyi yang mengatur aliran kekuatan, bagaimana setiap aksi sekecil apa pun dapat mengubah garis takdir karakter di dalamnya.
Barangkali, ada tangan-tangan yang lebih besar daripada sekadar developer, yang dengan sengaja membiarkan dunia virtual itu menjadi sesuatu nan melampaui buatan manusia.
Di sanalah konsep “Human Change” mulai terasa seperti anomali yang menakutkan sekaligus menakjubkan.
Sebuah istilah yang menandai transisi makhluk hidup menjadi entitas setengah dewa, bergantung pada bagaimana mereka mengendalikan Inti Lu—sumber tenaga yang berdenyut di tubuh dan di sekitar dunia.
Bersambung….