Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.
Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”
Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.
Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.
Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Jaga Jarak, Tapi Jangan Menjauh
Kertas kontrak itu udah dilipat tiga kali, terus nyempil di tas sampingku. Nggak pernah kubawa pulang, bukan karena penting, tapi lebih karena... konyol aja gitu. Masih nggak habis pikir, kenapa juga aku mau-maunya ikut tanda tangan di atas materai segala.
Pacaran pura-pura.
Lucu? Atau sinting?
Dan sekarang, cowok di sebelahku ini—si Cakra Adinata, sang pewaris "nggak tersentuh" yang dipuja-puja seantero sekolah—duduk santai di bangku taman belakang sekolah, jarinya lincah ngetik sesuatu di ponselnya. Mukanya datar, kayak lagi ngitungin jumlah semut di trotoar. Bikin kesel.
"Jadi," Cakra akhirnya buka suara, tanpa repot-repot ngangkat kepalanya. "Biar nggak terlalu mencolok, kita sepakat aja ya. Jangan terlalu nolak kalau gue deket. Tapi juga jangan lebay, kayak cewek yang baru kenal parfum."
Aku muter bola mata. "Oh, lo pikir gue bakal clingy? Sorry ya, mendingan gue cling ke tiang listrik daripada ke elo."
Cakra berhenti ngetik. Dia ngangkat kepalanya, natap aku dengan ekspresi datar—tapi ujung bibirnya kok kayak naik dikit, ya?
"Bagus," katanya. "Gue juga nggak mau kelihatan kayak cowok desperate yang ngejar-ngejar cewek."
"Padahal emang lo yang maksa pura-pura pacaran," balasku cepet.
"Karena kamu satu-satunya cewek di sekolah ini yang nggak tertarik sama gue."
Nada suaranya tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang bikin aku nggak nyaman. Kayak campuran antara geli dan... serius? Bikin bingung.
Aku mendengus. "Ya udah, makanya jangan baper. Gue bukan fans lo, dan nggak bakal pernah jadi."
"Deal."
Hening.
Kontrak aneh ini udah mulai berlaku. Setelah latihan drama nggak jelas kemarin, sekarang kami resmi jadi "pacar". Angin sore nakal niup rambutku, bikin anak-anak rambutku beterbangan ke wajah. Aku merhatiin daun-daun yang berguguran di trotoar. Suasana tenang ini malah bikin aku salah tingkah.
Akhirnya, Cakra menegakkan badannya dan nyender ke sandaran bangku. "Kita harus bikin semuanya kelihatan alami. Gue bakal sesekali nyapa lo di koridor, duduk di deket lo pas jam istirahat, atau ngasih perhatian kecil. Tapi inget, jangan lebay."
Aku natap dia dengan tatapan skeptis. "Dan lo pikir itu nggak bakal bikin orang curiga?"
"Justru itu intinya. Biarin aja orang mikir lo mulai tertarik sama gue. Kalau lo nolak terlalu keras, malah makin mencurigakan. Jadi, biarin aja. Jangan bales perhatian gue berlebihan, tapi juga jangan kabur tiap kali gue deketin."
"Kayak main catur aja, pake strategi segala," gumamku.
"Pacaran pura-pura emang butuh strategi," jawabnya santai.
Aku merhatiin wajahnya beberapa detik. Ada yang aneh dari cowok ini. Terlalu tenang, terlalu perhitungan. Aku menghela napas panjang. "Oke, Jenderal. Tapi inget ya, kalau rencana lo ini bikin aku jadi bahan gosip seantero sekolah, gue bakar kontrak ini di depan muka lo."
"Silakan," jawabnya sambil nyunggingin senyum kecil. Senyum yang anehnya bikin aku pengen ngelempar dia pake sepatu—tapi juga sedikit... pengen senyum balik. Nggak, nggak mungkin!
Aku cepet-cepet ngalihin pandangan. "Udah ah, gue harus kerja nanti sore. Lo udah dapet apa yang lo mau, kan?"
Cakra menegakkan tubuhnya. "Belum."
Aku berhenti. "Apa lagi?"
Cakra berdiri, benerin tali tasnya, terus natap aku lurus-lurus. "Kalau kita mau kelihatan alami, lo juga harus berhenti pasang muka kayak pengen kabur tiap kali gue muncul."
Aku berdeham. "Gue nggak—"
"Lo selalu kayak gitu. Nunduk, pura-pura sibuk, terus ngilang."
Aku melotot ke dia, pura-pura marah. "Itu refleks! Gue nggak suka jadi pusat perhatian."
"Ya udah, mulai sekarang jangan lari. Hadapi aja."
Nada suaranya datar, tapi ada sesuatu yang tenang dan meyakinkan di situ. Bikin aku kesel.
Aku mendecak pelan. "Lo ini emang ya, hobinya ngatur."
"Kalau nggak, semua bakal berantakan."
Cakra ngelirik jam tangannya, terus mulai melangkah pergi. Tapi sebelum bener-bener balik badan, dia sempet ngomong pelan, "Oh ya, mulai besok lo duduk di bangku belakang, sebelah gue. Biar gampang... pura-puranya."
Aku melongo. "Excuse me?"
Tapi Cakra udah jalan menjauh.
Sialan.
Cowok itu emang punya bakat bikin hari-hariku jadi ribet.
Aku natap punggung Cakra yang makin menjauh. Angin sore masih berhembus pelan, tapi hatiku malah nggak karuan. Aku nggak ngerti kenapa, tapi ada sesuatu di nada tenang cowok itu yang bikin pikiranku nggak bisa diem.
Jaga jarak, tapi jangan menjauh.
Gampang diomongin, susah dilakuin.
Apalagi kalau lawan mainnya adalah Cakra Adinata—cowok yang terlalu tenang untuk dideketin, tapi terlalu menarik untuk diabaikan.
✨Bersambung ...