NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:686
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 11 - First Impression

Vee

“Chloeee, tolong aku, pleaaase!” Aku menerobos masuk ke kamarnya begitu kelas berakhir, hampir kehabisan napas.

Ia langsung bangkit dari kasur, mata membelalak. “Ada apa? Kamu kenapa?”

“Thomas Hunt mengundangku ke rumahnya akhir pekan ini!” Aku mencengkeram bahunya dramatis. “Tolong bantu aku pilih baju. Aku butuh sesuatu yang bagus. Chloe, kumohon!”

Ia berkedip pelan, menatapku dengan ekspresi datar. “Vee, tenang. Kupikir kamu habis kena serangan jantung.”

“Ya, aku kena serangan panik! Sama aja!” Aku menarik tangannya dan menyeretnya ke kamarku.

Aku melempar dua setelan ke atas tempat tidur: gaun biru simple dan jumpsuit merah muda dengan pita di pinggang. Keduanya terlihat salah, tidak terlihat seperti baju yang akan digunakan untuk bertemu orang yang mengubah hidupmu.

“Aku nggak tahu, Chloe. Nggak ada yang cocok. Mungkin kita harus ke mal sekarang? Aku harus kasih kesan pertama yang bagus buat keluarga Hunt!”

Chloe memiringkan kepala, menatapku sambil berpikir. “Sebenarnya… aku punya sesuatu. Bukan gayaku sih, tapi Jason pernah belikan ini untukku. Karena dia nggak di sini akhir pekan ini… kamu bisa pakai aja.”

Mataku membulat. “Serius?”

“Banget. Tunggu sini.”

Ia menghilang ke kamarnya dan kembali dengan gaun bermotif bunga yang membuatku tertegun. Potongan korset di bagian atas, rok midi yang jatuh lembut di bawah lutut. Klasik, elegan, tapi tidak kaku. Entah bagaimana—terasa seperti aku.

“Chloe…” aku nyaris berbisik. “Ini cantik banget.”

“Coba pakai,” katanya lembut.

Aku mengenakannya buru-buru, jantung berdebar tak karuan. Saat keluar dari kamar mandi, Chloe menatapku dan terdiam sejenak.

“Entah kenapa, itu malah kayak dibuat khusus buat kamu,” ujarnya kagum. “Tyler Hill bakal kehilangan akal sehatnya kalau lihat kamu pakai itu. Tunggu, aku punya jepitan rambut yang cocok!”

Aku memutar mataku, tapi pipiku memanas membayangkan reaksi Tyler nanti.

Ponselku bergetar menampilkan pesan dan missed called dari Eddie. Aku buka beberapa pesannya, namun perhatianku teralihkan saat Chloe kembali dengan penjepit pita besar berwarna ivory, merapikan rambutku, lalu menyematkannya dengan hati-hati. “Nah. Sekarang kamu kelihatan kayak keluar dari film klasik.”

Aku menatap cermin. Dan untuk sesaat, aku tidak melihat gadis kelelahan yang semalam tidur di perpustakaan.

Aku melihat diriku—versi terbaikku.

Ponselku bergetar. Satu pesan.

Besok aku jemput jam 11

Tyler

Senyumku muncul tanpa bisa kutahan.

Chloe melipat tangan di dada, menyipit nakal. “Yeah… aku bahkan nggak perlu nanya itu dari siapa.”

\~\~\~

Tyler

Pagi ini aku menghabiskan waktu terlalu lama di depan lemari. Aku sudah sering pergi ke rumah Thomas, tapi kali ini terasa berbeda. Kali ini, aku pergi bersama dia.

Vee.

Aku akhirnya memilih sweater turtleneck berwarna maroon, celana panjang gelap, sepatu sneakers. Santai tapi tetap rapi.

Ini bukan kencan, hanya kunjungan akademis. Hanya setengah jam di mobil. Tidak ada yang istimewa.

Setidaknya, itu yang terus kuucapkan pada diriku sendiri.

Tapi begitu aku melihatnya berdiri di depan asrama, napasku langsung tercekat.

Gaun bermotif bunga lembut, rambutnya disemat pita, wajahnya bercahaya di bawah sinar pagi. Ia terlihat bersinar. Sangat cantik.

“Kau datang,” katanya, tersenyum lebar tanpa bisa menahan diri.

Aku menelan ludah, mengingatkan diri sendiri: ia berdandan untuk Thomas Hunt. Bukan untukku.

“Ayo,” ujarku datar, lalu berbalik sebelum pikiranku menuntut sesuatu yang seharusnya tak ada.

Dia masuk ke mobil. Kami berkendara dalam diam. Tapi kehadirannya memenuhi ruang kecil itu lebih keras daripada musik apa pun.

Kemudian matanya berpaling padaku. Tepatnya, ke lengan bajuku yang tergulung.

“Itu… tato?” tanyanya pelan.

Aku meliriknya sekilas.

Only connect.

Dua kata sederhana. Tapi dulu, mereka menyelamatkanku. Sebuah perintah dari seorang penyair yang kutulis di kulitku agar tak pernah lupa bahwa manusia harus tetap terhubung, bahkan ketika dunia terasa sunyi.

“Ya,” aku akhirnya berkata, suaraku nyaris hilang di antara dengung mesin.

“Apa artinya?” tanyanya pelan, nadanya penuh rasa ingin tahu yang hangat, tulus, dan sedikit terlalu dekat.

“Itu bait dari Forster,” jawabku, berusaha terdengar datar. “Howards End.”

“Belum pernah dengar,” katanya, kepalanya miring penasaran. Selalu begitu, selalu ingin tahu tentang dunia, dan mungkin, sedikit tentang aku.

Aku menarik napas, lalu mengucapkannya seperti doa yang terlalu sering kugumamkan sendirian:

“Only connect the prose and the passion, and both will be exalted. Artinya… jangan terputus dari hidup. Jangan memisahkan logika dari perasaan, atau kenyataan dari keinginan. Jangan menutup diri, karena begitu kau melakukannya, kau tidak akan bisa hidup sepenuhnya...”

Kata-kataku menggantung di udara, samar, seolah bukan untuknya, tapi untuk diriku sendiri.

Alisnya terangkat. “Kedengarannya… pribadi banget.”

“Memang.”

Dia menatapku lama. Untuk sesaat, aku hampir bercerita, tentang alasan tato itu, tentang kehilangan, tentang kesepian yang melekat. Tapi aku menahan diri.

Dia bersandar di kursi, senyum menggoda muncul di wajahnya. “Kamu nggak kelihatan seperti tipe orang yang suka koneksi dengan orang lain. Kamu lebih kayak tipe… serius, tanpa basa-basi, mungkin alergi tersenyum.”

Aku hampir tertawa. Hampir.

Tapi kemudian dia menambahkan, pelan, “Jadi intinya, kamu itu hatinya lembut, cuma keras kepala untuk mengakui.”

Untuk satu detik bodoh, aku menjawab, “Mungkin untukmu.”

Senyumnya merekah. Dan aku tahu aku sudah kalah.

\~\~\~

Rumah batu besar Thomas muncul di ujung jalan. Kerikil berderak di bawah ban. Aku menenangkan napas, mencoba mengembalikan kendali.

Elara membuka pintu sebelum kami sempat mengetuk. “Tyler!” serunya, memelukku singkat, hangat seperti biasa.

Lalu matanya beralih ke belakangku, dan wajahnya langsung berseri.

“Jadi ini dia gadis yang Thomas ceritakan!”

Aku menatap Vee yang berdiri canggung di ambang pintu.

Elara menggenggam tangannya. “Kamu bahkan lebih menawan dari yang kubayangkan. Masuklah, sayang. Anggap rumah ini rumahmu sendiri.”

Vee tersipu, matanya berkilat tak percaya. Dan di momen itu, aku sadar, ia seperti cahaya kecil yang masuk ke ruangan gelap.

Elara menoleh ke arah lorong. “Thomas! Kemarilah, ada seseorang yang harus kamu temui!”

Langkah berat terdengar perlahan.

Vee menegakkan tubuhnya. Tangannya gemetar.

Lalu dia muncul.

Thomas Hunt.

Pria yang menjadi pusat gravitasi di hidupku—dan idolanya.

“Victoria Sinclair,” kataku, suaraku tenang.

Tatapan Thomas menelusuri wajahnya, menimbang setiap gerakannya seperti ia menilai sebuah adegan. Lalu ia mengangguk pelan.

“Jadi, kamu sutradara yang kemarin,” katanya lembut.

Vee hampir kehilangan kata. “A-a-aku?”

Suaranya kecil, nyaris tidak terdengar.

Thomas hanya tersenyum samar. “Ya. Tyler sudah bercerita tentangmu.”

Aku bisa melihat bagaimana kata-kata itu mengguncangnya.

Dan untuk sesaat, aku berharap tidak pernah menyebut namanya sama sekali.

Senyumnya mekar, indah, jujur, terlalu hidup.

“Ini kehormatan besar, Professor Hunt,” ucapnya pelan. “Karya Anda mengubah hidup saya.”

Elara tertawa kecil di samping Thomas, menepuk tangannya lembut. “Lihat? Kamu seperti gadis kecil yang baru bertemu superhero.”

Aku melihat Vee menunduk, malu tapi bahagia. Dan entah kenapa, aku tidak bisa berpaling.

Karena saat itu aku tahu

pertemuan ini akan mengubah segalanya.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!