Jaka, seorang siswa SMA yang biasa-biasa saja, seketika hidupnya berubah setelah ia tersambar petir. Ia bertemu dengan makhluk asing dari dunia lain, hingga akhirnya memahami bahwa di dunia ini ada kekuatan yang melebihi batas manusia biasa. Mereka semua disebut Esper, individu yang mampu menyerap energi untuk menembus batas dan menjadi High Human. Ada juga yang disebut Overload, tingkatan yang lebih tinggi dari Esper, dengan peluang mengaktifkan 100% kemampuan otak dan menjadi Immortal.
Lalu, takdir manakah yang akan menuntun Jaka? Apakah ia akan menjadi seorang Esper, atau justru seorang Overload?
Ikuti perjalanannya dalam kisah Limit Unlock.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jin kazama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Selamat Pagi, Bos!
Bab 11. Selamat Pagi, Bos!
Setelah selesai melumpuhkan Adit dan antek-anteknya, Jaka pun pergi meninggalkan gudang tua tersebut. Sementara Rama dan yang lainnya masih belum berani mendekat karena mereka masih merasa sedikit trauma oleh aura mengerikan yang dilepaskan oleh Jaka.
Barulah setelah Jaka pergi meninggalkan tempat itu, mereka semua bisa bernapas dengan lega.
"Ram! Kau juga merasakannya, kan?" tanya Ali dengan nada serius.
Sebagai tanggapan, Rama mengangguk pelan.
"Ya... sebelumnya aku mengira Panjul kalah karena lengah, tetapi setelah merasakan tekanan kuat barusan, sepertinya segala sesuatunya tidak sesederhana yang terlihat," kata Rama, memandang ke tempat terakhir Jaka melangkah pergi.
"Nah, bener banget tuh!" celetuk Yudha menimpali.
Dia melanjutkan,
"Eh, Ram! Aku ada ide. Gimana kalau sekarang kita jadikan dia pemimpin kita aja? Kayaknya dengan kekuatannya, kita bakalan bisa menaklukin banyak sekolah. Dan tentu saja, sebagai imbalannya kita bisa menguasai banyak wilayah sekaligus," ucapnya pelan karena takut menyinggung Rama.
Yang lain juga mengangguk perlahan. Mereka merasa ide Yudha masuk akal. Namun, bagaimanapun Rama adalah pemimpin mereka, dan yang paling penting, dia sangat baik, setia kawan, royal, dan tidak pernah merasa sok berkuasa meskipun dia adalah yang terkuat.
Rama merenung. Dia juga merasa apa yang dikatakan Yudha ada benarnya. Dia sendiri harus mengakui jika kekuatan Jaka sangatlah luar biasa, terutama teknik Wing Chun yang bisa mengalahkan Romo dengan sangat cepat.
Jika itu dia, mungkin impian yang selama ini hanya sekadar angan-angan bisa benar-benar terwujud.
Cita-cita untuk menjadi geng sekolah terkuat di seluruh wilayah Kota Blue Star bisa benar-benar tercapai.
Sekarang pertanyaannya adalah, apakah tidak masalah jika mereka dipimpin oleh anak tahun pertama? Secara pribadi, dia sendiri tidak masalah. Tapi bagaimana dengan teman-temannya?
Setelah menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, dia berkata,
"Dia itu anak tahun pertama. Apa kalian tidak masalah dipimpin oleh seorang junior?" tanya Rama memandang sekeliling.
Seketika, wajah mereka menunjukkan ekspresi rumit; campuran antara rasa kagum, takut, kesal (karena lebih lemah dari junior), tak berdaya, dan yang terakhir adalah rasa hormat pada sosok yang lebih kuat.
"Oke! Karena kalian semua sepertinya sudah setuju, mulai sekarang dia resmi menjadi pemimpin geng kita, Geng Elang. Dan seperti yang dikatakan pemimpin sebelumnya, SMAN Gajah Mada dan juga wilayah yang mereka kuasai kini sudah menjadi milik SMAN Nusantara. Besok, setelah jam pulang sekolah, semuanya kumpul di markas. Kita akan mulai membagi tugas masing-masing," ucap Rama menjelaskan panjang lebar.
Semuanya mengangguk menyetujui.
Yang mereka tidak sadari adalah, keputusan mereka untuk mengangkat Jaka sebagai pemimpin yang baru menjadi awal dari gejolak badai yang lebih besar. Badai yang akan meruntuhkan hierarki kekuasaan wilayah yang didominasi oleh anak-anak SMA yang terkenal brutal dan ganas di jalanan. Tentu saja semua itu juga dibalut oleh permainan uang, kekuasaan dalam politik, dan latar belakang keluarga.
...◦~●❃●~◦...
Sementara itu, di tempat lain...
Seorang pemuda berjalan dengan santai. Setelah melewati jalan yang sepi, dirinya mulai menyatu dengan keramaian malam. Sambil terus melangkah, sudut bibirnya sedikit terangkat.
"Aku harap itu memberikan efek yang cukup untuk mereka semua tunduk," ucapnya tenang.
Pemuda itu tidak lain adalah Jaka. Sambil terus melangkah, dirinya berhenti di depan supermarket. Dengan sisa uang yang ada, dia ingin membeli kebutuhan pokok.
"Yah... setidaknya dengan sisa uang yang aku belanjakan ini, cadangan makanan untuk satu bulan ke depan akan aman," bisiknya pelan.
Keesokan paginya,
Terjadi sedikit drama di keluarga Jaka saat sedang sarapan. Julia, sang ibu, sangat terkejut saat Jaka menjelaskan bahwa dirinya mendapat uang beasiswa sebanyak enam juta rupiah. Singkatnya, itu adalah apresiasi dari pihak sekolah karena dirinya berbakat di bidang olahraga.
Jaka terpaksa mengarang cerita yang masuk akal agar ibunya tidak curiga. Lagi pula, jika dia mengatakan dengan jujur, mau sampai kapan pun ibu dan kakaknya juga akan sulit mempercayainya. Mana mungkin mereka akan percaya dengan ide menjadi ketua disiplin, menertibkan anak-anak bandel lalu mendapat uang beasiswa yang besar.
Mau dipikir dengan logika macam apa pun, hal itu akan sangat sulit dicerna oleh pikiran keduanya. Terlebih lagi SMAN Nusantara merupakan sekolah elit di mana anak orang-orang kaya belajar.
Untungnya, ibu dan kakaknya tidak memiliki pikiran yang macam-macam. Selama ini yang mereka pikirkan hanya fokus kerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan sekolah Jaka. Karena mereka pikir jika Jaka sukses di sekolah favorit, maka imbasnya akan ke masa depannya — atau lebih tepatnya, masa depan seluruh keluarga.
Lalu apa yang dikatakan oleh Julia?
"Tapi kenapa, Nak? Kenapa uangnya justru kamu pakai untuk membayar kontrakan dan juga membeli kebutuhan sehari-hari?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, Jaka, Ibu benar. Masalah kontrakan dan juga kebutuhan makan biar kami saja yang memikirkannya. Tugasmu hanya perlu fokus sekolah," timpal Reina.
Matanya juga berkaca-kaca. Tidak, itu bukan lagi berkaca-kaca, tapi bulir-bulirnya sudah menetes membasahi wajahnya.
Sebagai tanggapan, Jaka hanya tersenyum.
"Tidak masalah, Bu, Kak! Lagi pula kita adalah satu keluarga. Ini adalah keputusanku sendiri. Walaupun hanya sedikit, aku juga ingin membantu meringankan beban kalian berdua."
Singkat cerita, akhirnya ketiganya pun sarapan dengan lahap. Terutama bagi Julia dan Reina, sarapan pagi itu sedikit istimewa. Biasanya mereka hanya memakan nasi putih dengan lauk tempe goreng. Sekarang ada tambahan telur dan juga daging ayam, diberi masing-masing.
Sarapan itu merupakan sarapan termewah, terkhususnya bagi Julia secara pribadi. Bukan karena lauknya, tetapi karena fakta bahwa dia memiliki dua anak yang baik, saling mendukung, dan menguatkan satu sama lain.
Setelah sarapan usai, Jaka pun berangkat ke sekolah. Karena jaraknya tidak jauh, dia berjalan dengan santai. Namun, antusiasme memancar di matanya.
"Setidaknya untuk hari ini, sepuluh preman paling susah diatur di sekolah pasti akan lebih mudah diajak berbicara," ucapnya dengan senyum yang mengembang.
Waktu terus berjalan, akhirnya tiba juga Jaka di depan gerbang SMAN Nusantara. Namun, pagi itu ada hal yang berbeda. Banyak orang yang berkerumun tepat di gerbang sekolah.
Ada sebuah papan yang digantung di gerbang.
“Kecuali para guru, semua siswa dilarang masuk.”
Tulisan itu sangat besar dan jelas. Jaka yang melihatnya mengerutkan kening. Di samping gerbang, ada Panjul dan juga Yudha yang berdiri dengan kokoh bagaikan pilar penjaga.
Melihat itu semua, wajah Jaka berubah menjadi gelap.
"Apa sih yang dilakukan para brengsek ini? Keributan macam apa ini?" geramnya. Padahal dia sangat yakin, apa yang dia lakukan kemarin akan memberikan efek yang cukup signifikan.
"Tetapi apa-apaan keributan ini? Menahan semua siswa masuk kecuali guru? Jangan konyol."
"Huh... tampaknya para preman sialan ini memang harus dipukuli baru mereka sadar," gerutunya dengan kesal.
Baru dia hendak berteriak, namun nada suara yang dia keluarkan seolah tersangkut di tenggorokan. Matanya melotot, dan keterkejutan yang luar biasa mengguncang hatinya.
Bukan hanya Panjul dan Yudha, tetapi Rama, Ali, Firman, Kelvin, Bryan, Galang, dan Nando segera ikut maju ke depan. Berbaris dengan rapi. Terlalu serempak, kesepuluh orang itu membungkuk 90° dan berteriak dengan suara lantang yang menggelegar bagaikan guntur di pagi hari.
"Selamat pagi, Bos!" kata mereka bersepuluh.
Kemudian para anggota yang lain, dengan jumlah hampir lebih dari tiga ratus orang, juga membungkuk. Suara mereka tidak kalah kencangnya, menggema di angkasa seperti genderang yang mau perang.
"Selamat pagi, Bos!"
Suasana seketika menjadi hening. Seolah udara membeku, semua orang terdiam, mulut mereka ternganga, dan mata mereka terbelalak lebar. Bahkan para guru juga terdiam. Wajah mereka dipenuhi oleh keterkejutan yang luar biasa.