"Izinkan aku menikah dengan Zian Demi anak ini." Talita mengusap perutnya yang masih rata, yang tersembunyi di balik baju ketat. "Ini yang aku maksud kerja sama itu. Yumna."
"Jadi ini ceritanya, pelakor sedang minta izin pada istri sah untuk mengambil suaminya," sarkas Yumna dengan nada pedas. Jangan lupakan tatapan tajamnya, yang sudah tak bisa diumpamakan dengan benda yang paling tajam sekali pun. "Sekalipun kau benar hamil anak Zian, PD amat akan mendapatkan izinku."
"Karena aku tau, kau tak akan membahayakan posisi Zian di perusahaan." Talita menampakkan senyum penuh percaya diri.
"Jika aku bicara, bahwa kau dan Zian sebenarnya adalah suami istri. Habis kalian." Talita memberikan ancaman yang sepertinya tak main-main.
Yumna tersenyum sinis.
"Jadi, aku sedang diancam?"
"Oh tidak. Aku justru sedang memberikan penawaran yang seimbang." Talita menampilkan senyum menang,
Dan itu terlihat sangat menyebalkan.
Yumna menatap dalam. Tampak sedang mempertimbangkan suatu hal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
"Ada yang marah kita jalan bersama?"
"Eh" Aira terdongak, sedikit kaget tiba-tiba mendapat pertanyaan seperti itu dari Zian.
Dan belum sempat Aira menjawab, lelaki itu kembali bertanya.
"Atau, Elu lagi nunggu seseorang menjemput?"
"Kok pertanyaanmu aneh, Zian?"
"Yakin, pertanyaan gue aneh?"
Zian menatap tepat manik mata wanita di depannya.
Aira hanya bisa mengalihkan pandangan.
Sebenarnya dia paham kenapa Zian bertanya demikian. Sejak keluar dari kafe hingga ke tempat parkiran, Aira nampak gelisah. Sesekali mengedarkan pandangan. Seolah ada yang sedang memperhatikan dari jarak yang tak bisa dijangkau penglihatan.
"Kita jalan, atau nunggu aja?" Zian menawarkan. Ucapannya tanpa emosi, bahkan terasa begitu sabar.
"Nunggu siapa?"
"Elu yang tau."
"Aku tidak sedang menunggu siapa pun."
Aira mempertegas ucapannya dengan gelengan kepala.
"Elu kalau mau cerita, gue ada, Kak." Zian berkata demikian seraya membukakan pintu mobilnya untuk Aira.
Aira tidak segera membawa tubuhnya masuk ke mobil, ia menatap Zian dengan ekspresi heran. "Cerita apa?"
"Gue tau, ada yang elu sembunyiin."
Aira tak membenarkan, juga tak menyangkal. Ia hanya mengalihkan pandangan dengan cepat. Dan bagi Zian itu sudah merupakan isyarat yang cukup jelas, bahwa dugaannya tepat.
Aira bahkan segera masuk ke mobil dengan agak tergesa, kurang sedikit membungkuk, hingga hampir saja ujung kepalanya membentur bagian atas pintu. Namun, Zian segera meletakkan tapak tangannya di tempat itu. Menjaga Aira agar kepala tertutup hijab itu tidak terbentur.
"Hati-hati," ucapnya singkat.
Aira menghela napas, seiring pintu mobil yang ditutup kembali oleh Zian. Gadis itu memeriksa ponselnya. Melihat pada aplikasi hijau. Ternyata kosong, tak terdapat chat apapun. Aira kembali menghela napas, dan kali ini dengan rasa lega.
Aira masih ingat dengan jelas kejadian beberapa saat lalu. Ketika dia bersama Zian, ada yang mengirim chat ancaman dari nomor yang tidak dikenal. Dan kemudian setelah itu Zian mengalami kecelakaan. Aira tentu tak ingin hal itu terulang.
"Langsung pulang, Kak?"
Zian bertanya usai mendaratkan tubuhnya di balik kemudi mobil.
"Iya. Dira nunggu aku di rumah."
Zian mengangguk dan mulai menghidupkan mesin. Namun, belum juga roda kuda besi itu bergulir, seseorang tiba-tiba menghadang di depan.
"Tunggu!!"
"Ya ampun ini anak." Zian menggerutu kesal. Lelaki itu kemudian membuka kaca samping dan sedikit melongokkan kepala.
"Ngapain lu?"
Diandra terkikik dan melangkah mendekat. "Nebeng." Gadis itu membungkukkan badan dan terlihatlah kini kalau sepupunya itu tak sendirian.
"Gak papa kan, aku jadi pengganggu? Janji gak bakal berisik."
"Naik!"
"Terima kasih, sepupu." Di bersorak girang. Lalu memutar badannya hendak membuka pintu di bagian kabin penumpang.
"Diandra di depan aja," kata Aira dan gadis itu hendak beringsut keluar.
"Gak usah. Itu memang tempat duduk buat, Elu," kata Zian. Dan bersamaan dengan itu, Di masuk ke mobil lalu duduk manis tepat di belakang Aira.
"Jalan! Tapi kalian jangan terlalu mesra ya, mataku bisa sakit," kata Di seraya terkikik.
Zian berdecak. "Ngapain lu dimari?"
"Nyari lu. Tapi kata Yumna lu lagi mau nganterin istri pertama. Ya gue kejar ke parkiran." Di berkata sambil menaik turunkan alisnya pada Aira yang sedang tersenyum ke arahnya.
"Lu bukannya udah minta uang saku untuk balik kampung?"
Diandra memang tinggal di kota sebelah, kota yang sama dengan tempat tinggal keluarga Zian yang lain. Dia datang ke kota ini karena tahu Zian mengalami sedikit kecelakaan kemarin.
"Gak jadi. Gue mau rayain ulang tahun di sini aja."
"Kok perasaan gue gak nyaman." Zian sedikit menoleh pada Di lalu kembali fokus ke jalanan.
"Firasat lu tajem, Zian. Gue emang udah pesan tempat atas nama lu. Bukan tempat yang mahal sih. Standar aja gitu."
"Lu mau peras gue?" Rasa kesal Zian terdengar jelas dari nada suaranya.
Diandra tergelak. "Elah, gak sampai dua puluh juta kok."
"Apa?!" Zian terdengar shok, bahkan langsung berhenti mendadak.
Bukannya panik sebagaimana Aira. Diandra malah kian tergelak. "Aira, tenangin tuh suamimu. Bilang jangan pelit gitu. Biar rejekinya berkah."
"Zian jangan berhenti di tengah jalan." Aira memang tampil mengingatkan dengan suara lembut. Dan benar saja, terdengar ramai suara klakson dari para pengendara lain di belakang mereka.
Zian mengangguk pelan dan kembali menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Sepupu gue udah nemuin pawangnya sekarang." Terdengar Di berkata lirih.
"Lu turun di mana?" tanya Zian datar. Jelas lelaki itu masih menyimpan kesal.
"Ikut ke rumah Aira. Gue mau ngundang dia ke ultah gue, sama Dira juga. Ke Yumna barusan gue udah bilang."
"Ngundangnya bilang di sini aja. Gak usah ikut ke rumahnya. Gue yakin lu cuma bakal ngerepotin di sana."
Ucapan Zian itu membuat Aira menoleh. Padahal dia sudah merasa senang kalau Diandra ikut ke rumahnya. Mereka bisa mengobrol lebih lama, karena Di orangnya asik dan ceria. Keceriannya bisa menular pada orang yang berbicara dengannya.
"Elah buntut. Kawatir banget gue bakal ngerepotin calon bininya." Di menggerutu seraya menyilangkan tangan di depan dada.
"Di, kami sahabatan. Jangan salah paham ya." Aira segera mengoreksi ucapan Diandra.
"Persahabatan terselubung kalian. Aslinya ya saling sayang." Diandra mencibir santai.
Aira langsung diam tak mengeluarkan ucapan. Zian juga tak melontarkan sanggahan. Mungkin karena mereka merasa ucapan Di itu kebenaran. Atau, karena mereka menganggap ucapan itu hanya banyolan yang tak perlu diberi tanggapan.
"Gue turun di depan, sepupu."
Diandra menunjuk sebuah kafe yang berada dalam jarak sekitar dua puluh meter dari posisi laju mobil saat ini.
"Di kafe ini?" Zian melambatkan laju mobil.
"Yup." Diandra mengangguk penuh semangat.
"Bukannya kamu mau ikut ke rumahku, Di? Ayok ikut kita ngobrol di sana," ajak Aira pada gadis itu.
Diandra menggeleng.
"Aku ada janji dengan seseorang. Jangan lupa lusa hadir di ultahku ya. Mengenai tempatnya, Zian bakal jemput kamu." Di berkata dengan tergesa sambil membuka pintu mobil yang memang sudah berhenti.
"Janjian dengan siapa lu?" tanya Zian melihat sepupunya begitu tergesa hendak keluar dari mobil.
"Itu." Di hanya memberi isyarat pada seorang lelaki yang sedang menyandar di body mobil berwarna hitam, tak jauh dari kafe yang pengunjungnya sedang ramai.
"Dia siapa?"
"EO acara ultah gue."
"Di, jangan boong. Dia siapa?" tanya Zian lebih tegas.
"Elah kepo lu. Kayak pacar posesif aja. Jatuh cinta lu ama gue?"
Tanpa menunggu jawaban Zian atas ucapan konyolnya itu, Di langsung melanting keluar mobil.
Zian memperhatikan sepupunya itu yang memang menghampiri laki-laki yang sedang berdiri menyandar di mobil hitam.
Mereka bicara sejenak. Pembicaraan akrab yang diakhiri tawa. Keduanya lalu masuk ke dalam mobil hitam tersebut. Saat mobil mulai melaju pelan, terlihat Di melambaikan tangan ke arah Zian, seolah tahu kalau sepupunya itu masih memperhatikan.
Zian menghela napas samar. Saat dia menoleh ternyata Aira sedang menatapnya dalam. "Gue gak lagi cemburu seperti tudingan Diandra."
Aira tersenyum. "Kenapa klarifikasi?"
"Ya jangan sampek lu mikir kayak gitu."
"Mana ada." Aira terkekeh.
"Tapi sebenarnya sepupu itu masih halal untuk menikah lho," ucap gadis ayu itu kemudian.
Zian tegas menggeleng. "Di sudah punya tunangan. Dan laki-laki itu jelas bukan tunangannya."
"Oo." Aira mengangguk paham.
Aku kasih vote biar calonnya Zian tambah semangat