Elzhar Magika Wiratama adalah seorang dokter bedah kecantikan yang sempurna di mata banyak orang—tampan, disiplin, mapan, dan hidup dengan tenang tanpa drama. Ia terbiasa dengan kehidupan yang rapi dan terkendali.
Hingga suatu hari, ketenangannya porak-poranda oleh hadirnya Azela Kiara Putri—gadis sederhana yang ceria, tangguh, namun selalu saja membawa masalah ke mana pun ia pergi. Jauh dari tipe wanita idaman Elzhar, tapi entah kenapa pesonanya perlahan mengusik hati sang dokter.
Ketika sebuah konflik tak terduga memaksa mereka untuk terjerat dalam pernikahan kontrak, kehidupan Elzhar yang tadinya tenang berubah jadi penuh warna, tawa, sekaligus kekacauan.
Mampukah Elzhar mempertahankan prinsip dan dunianya yang rapi? Atau justru Azela, dengan segala kecerobohan dan ketulusannya, yang akan mengubah pandangan Elzhar tentang cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biqy fitri S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Yang Tak Biasa
Setelah keluar dari kafe Divo Azel langsung menghela napas lega. Tangannya masih digenggam erat oleh Elzhar, membuat pipinya memanas.
“Hmm… udah bisa dilepas kali, L. Gue bukan beneran pacar lo,” ucap Azel mencoba menarik tangannya.
Elzhar malah menoleh, tatapannya sedikit jahil. “Kenapa? Tangan gue panas ya? Atau jantung lo yang panas karena deg-degan?”
Azel spontan mendengus sambil memalingkan wajah ke jendela. “Sok tau lo! Gue cuma… ya, kaget aja lo tiba-tiba nyebut gue pacar lo di depan umum.”
Mereka pun tiba di parkiran mobil dan langsung pergi menuju Rumah Azel .
Dalam perjalanan pulang, suasana mobil sempat hening. Elzhar melirik sekilas ke arah Azel yang sibuk memainkan jemarinya, jelas masih kepikiran dengan kejadian barusan.
“El…” panggil Azel pelan.
“Hm?” Elzhar menoleh sambil tetap fokus nyetir.
“Lo tadi liat kan, gimana Divo langsung klepek-klepek pas ngeliat gue?” nada suaranya ada sedikit puas, meski ditutupi.
Elzhar terkekeh, matanya sempat melirik ke arah Azel. “Iya, gue liat jelas. Itu muka dia udah kayak kehilangan harga diri.”
Azel tersenyum kecil, merasa menang. Tapi belum sempat ia menimpali, Elzhar melanjutkan dengan serius.
“Dan Zel… gue mau lo inget, gue bakal rubah lo bukan cuma biar Divo nyesel. Tapi biar orang lain juga bisa ngeliat dan ngehargain lo sebagaimana mestinya.”
Azel menoleh, sedikit terkejut dengan ketulusan nada suaranya. “Lo serius ngomong gitu?”
“Serius. Lo terlalu berharga buat disia-siain, Zel. Jadi jangan pernah lagi ngerasa lo itu kecil atau nggak pantas.”
Azel terdiam. Ada hangat yang menyusup ke dadanya. Ia buru-buru memalingkan wajah, takut Elzhar menyadari pipinya yang tiba-tiba memerah.
Mobil berhenti perlahan di depan rumah Azel. Suasana hening masih menggantung di antara mereka sejak kalimat terakhir Elzhar tadi. Azel buru-buru membuka sabuk pengamannya, mencoba kabur dari rasa deg-degan yang makin nggak karuan.
“Yaudah… makasih ya udah nganter,” ucap Azel cepat-cepat, tangannya sudah menggenggam handle pintu.
“Elah, buru-buru amat. Gue belum sempet bilang good night.” Elzhar bersandar santai ke jok, menahan senyum.
Azel mendelik sebentar, pura-pura jutek padahal jantungnya masih balap-balapan. “Good night, L. Puas?”
“Hmm… kurang.” Elzhar menatapnya lekat-lekat, membuat Azel langsung salah tingkah. “Biasanya pacar itu kalo pamit ada bonusnya.”
Azel terbatuk-batuk kecil, pipinya merona. “Heh, kan gue cuma pura-pura pacar lo!”
Elzhar mendekat sedikit, wajahnya penuh jahil. “Ya, pura-pura pun kan harus total biar tante Monic nggak curiga.”
Azel langsung menoleh ke arah jendela, menutupi wajah panasnya. “Ih dasar, cari kesempatan mulu. Gue masuk dulu ah.”
Dengan terburu-buru, ia membuka pintu dan keluar. Namun sebelum sempat menutup pintu mobil, suara Elzhar terdengar lagi.
“Good night, Zel.” Suaranya lembut, beda dari biasanya.
Azel berhenti sejenak, lalu menoleh sekilas. Senyum kecil lolos tanpa ia sadari. “Good night, L.”
Pintu pun tertutup, meninggalkan Elzhar yang masih tersenyum sendiri di dalam mobil.
Entah mengapa, semakin lama Elzhar merasa ada sesuatu yang berbeda saat bersama Azel. Gadis itu memang keras kepala, cerewet, kadang bikin darahnya naik karena ceplas-ceplosnya. Tapi justru di situlah ia menemukan sisi lain yang tak pernah ia rasakan pada perempuan manapun.
Ada kenyamanan aneh yang tumbuh setiap kali Azel ada di dekatnya. Tawanya, bahkan tatapan matanya yang kadang polos, kadang penuh emosi, membuat Elzhar diam-diam memperhatikannya lebih sering dari yang seharusnya.
Namun, setiap kali perasaan itu muncul, Elzhar buru-buru menepisnya. Nggak, ini cuma pura pura. Gue cuma butuh dia biar bisa lepas dari perjodohan. Hanya itu, batinnya meyakinkan diri.
Tapi hati… tak pernah bisa sepenuhnya ia kendalikan.
Sesampainya di apartemen, Elzhar segera membersihkan diri. Badannya masih terasa penat setelah seharian berurusan dengan pasien dan drama yang tak henti-henti. Usai berganti pakaian, ia mengambil ponselnya dan menekan nomor Azel.
Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara malas Azel terdengar di seberang sana.
“Halo… apa, L? Baru juga mau merem gue.”
Elzhar menyandarkan punggung di sofa, senyum tipis terukir di bibirnya.
“Gue lupa kasih tau lo. Besok ikut gue ke acara reuni SMA, ya. Sekalian gue mau ngenalin lo ke temen-temen gue, biar makin meyakinkan.”
Azel langsung meringis, suaranya terdengar enggan.
“Reuni? Aduh, gue malu, L. Kasta kita tuh beda banget. Gue yakin temen-temen lo orangnya ‘wah’ semua, sementara gue—”
“Stop.” suara Elzhar langsung memotong, terdengar sedikit tegas. “Jangan pernah ngomong gitu lagi. Gue nggak suka.”
Hening sebentar, hanya suara napas Azel yang terdengar. Lalu Elzhar melanjutkan, nada bicaranya lebih lembut.
“Pokoknya lo ikut besok. Gue yakin cerita tentang kita udah nyebar, pasti nyampe juga ke telinga nyokap gue. Jadi, ya… biar makin meyakinkan aja soal hubungan kita.”
Azel terdiam sejenak sebelum akhirnya mengalah.
“Hhh… yaudah, iya. Besok abis pulang kerja gue langsung siap-siap.”
“Good girl,” sahut Elzhar cepat, senyumnya makin lebar. “Besok gue jemput.”
“Hmmm…” gumam Azel, setengah malas setengah pasrah.
Dan sebelum menutup telepon, suara Elzhar terdengar lagi, kali ini sedikit berbisik, nyaris genit.
“Jangan lupa dandan yang cantik, ya…”
Klik. Sambungan terputus.
Azel tertegun di tempat tidur, menatap layar ponsel dengan wajah yang tiba-tiba memanas.
“Sialan. Bisa-bisanya dia ngomong gitu…” gumamnya pelan, tapi sudut bibirnya justru terangkat tanpa sadar.
\=\=\=\=
Di sisi lain, suasana rumah keluarga Wiratama terasa lengang. Monic duduk manis di ruang tamu, sementara di hadapannya Rossa tampak anggun dengan segelas teh hangat di tangan. Wajah Rossa terlihat dingin, matanya menatap tajam ke arah foto-foto yang baru saja disodorkan Monic.
“Mbá, sepertinya hubungan mereka memang nyata,” ucap Monic penuh percaya diri. Jemarinya menepuk-nepuk tumpukan foto yang menampilkan Elzhar dan Azel sedang bersama. Ada potret keduanya di kafe, ada pula saat Elzhar terlihat membuka pintu mobil untuk Azel. “Aku udah beberapa hari ini ngikutin mereka. Nggak ada jeda satu hari pun mereka nggak ketemu.”
Rossa hanya mengangkat alis, matanya menelusuri gambar satu per satu. Sekilas, memang terlihat seperti pasangan sungguhan: senyum Azel yang tulus, tatapan Elzhar yang tampak… terlalu lembut. Namun, bukannya percaya, Rossa justru semakin kesal.
“Hmmm… entahlah,” gumamnya dengan nada berat. “Aku masih ragu dengan hubungan mereka. Aku yakin, mereka cuma pura-pura.”
Monic terkekeh kecil, meneguk tehnya dengan puas. “Tapi kalau pura-pura, kok bisa sampai sedekat itu? Lihat cara Azel rangkul tangan Elzhar, lihat cara Elzhar jagain dia.”
Rossa mendengus, meletakkan foto itu dengan agak keras di meja.
“Justru itu. Aku kenal anakku. Dia bukan tipe yang gampang jatuh hati, apalagi setelah Luna. Kalau dia bawa cewek itu ke rumah, pasti ada maksud lain. Aku tidak akan percaya begitu saja.”
Mata Rossa menyipit penuh perhitungan, sementara Monic tersenyum sinis, merasa puas karena keraguannya berhasil memantik emosi sang kakak ipar.