Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Jendela Terakhir
Malam itu, dinginnya udara tidak sebanding dengan ketegangan yang merayap di antara mereka. Di bawah cahaya remang-remang lampu jalan, wajah Riko memucat, seperti kanvas yang tiba-tiba kehilangan semua warnanya. Tatapannya beralih dari satu detektif ke detektif lain.
"Kamu membuat jebakan saat kakakmu berada di dalam mobil, setelah dia pingsan karena obat di kopinya,” lanjut Raditya. “Kamu mungkin menggunakan jarum atau bor kecil, karena lubangnya sangat rapi. Setelah itu, kamu pasang tali pancing atau senar tipis, memasukkannya melalui lubang, dan melingkarkannya ke lehernya. Saat kakakmu sadar, dia hanya perlu menurunkan kaca mobil untuk… ”
Raditya tidak melanjutkan kalimatnya, memberi kesempatan bagi Riko untuk mencerna betapa mengerikannya jebakan yang ia ciptakan. Semua perlawanan di matanya luntur digantikan oleh ketakutan yang mendalam. Ia mengepalkan tangan, kuku-kukunya memutih.
Raditya menyimpulkan dengan suara pelan namun dingin. "Jadi, dia turunkan jendela, tanpa sadar mengeksekusi dirinya sendiri. Kamu menipunya, Riko, dengan memberinya obat, lalu membiarkannya melakukan sisanya."
Riko menunduk, air matanya menetes. “Aku tidak… tidak bermaksud… ” suaranya hilang.
Haris mengambil langkah terakhir, menyingkap lengan jaket Riko. Di bawahnya, sebuah bekas goresan kecil terlihat, seolah terkena gesekan benda keras saat memasang sesuatu yang runcing di lubang kaca. Bekas itu tidak seberapa, tapi cukup untuk menjadi bukti fisik yang tak terbantahkan.
Semua detektif menatap Riko, yang kini tertunduk dengan bahu bergetar. Dia tidak lagi menyangkal, hanya bisa menangis dalam diam. Malam itu, di bawah lampu jalan yang remang, kebenaran tentang jebakan yang rapi dan mematikan itu terungkap. Pelakunya adalah adik kandungnya sendiri.
Haris menepuk bahu Riko. “Mengapa? Apa motifmu?”
Riko mengangkat wajahnya yang basah, matanya menatap tajam ke arah mereka. Pengakuannya nyaris tak terdengar, seolah-olah ia berbisik kepada angin.
"Aku... aku tidak bermaksud... tapi dia... dia keterlaluan."
Haris, yang dari tadi berdiri di dekat mobil, melangkah maju. "Keterlaluan bagaimana?"
Riko mengangkat kepalanya, matanya yang merah kini memancarkan api kemarahan yang membara. “Aku butuh uang. Banyak. Untuk membayar hutang. Kalau tidak, mereka akan… ” Riko tidak melanjutkan kalimatnya, membiarkan ancaman yang tidak terucapkan itu menggantung di udara. “Aku meminta bantuannya, satu-satunya orang yang bisa menolongku. Dan dia… dia bersedia. Tapi dengan syarat yang keji."
Air mata yang tadinya adalah wujud ketakutan, kini berubah menjadi kesedihan yang mendalam. Amara, dengan sorot mata dingin, mendesak, "Syarat apa?"
"Dia... dia baru saja mendapat uang pensiunnya. Dia akan membantuku, tapi aku harus mengembalikan uang itu dengan bunga 30 persen." Riko mengusap air matanya dengan punggung tangan, suaranya bergetar. "Dan... dan juga... dia memintaku menyerahkan... istriku... sebagai jaminan."
Hening.
Haris mengepalkan tinjunya, sementara Raditya menatap Riko dengan campuran jijik dan kasihan. Riko, dalam kekacauan emosinya, melanjutkan, suaranya meninggi, "Dia bilang, itu adalah 'cara bisnis'. Dia bilang, dia hanya bercanda... Tapi sorot matanya... dia tidak bercanda. Dia benar-benar menganggap istriku sebagai barang yang bisa jadi jaminan. Aku... aku tidak bisa... aku harus melakukan sesuatu."
Pengakuan itu bagai belati tajam yang menghantam keheningan malam. Amara memejamkan mata sejenak, mengambil napas dalam-dalam. "Jadi kau bunuh dia?"
"Dia sudah keterlaluan!" Riko berteriak, suaranya pecah, “Dia memandangku rendah! Dia meremehkan usahaku! Dia selalu begitu! Sejak dulu!”
"Lalu?" Haris bertanya, suaranya tenang, namun mendesak. "Apa yang terjadi setelah kau menaruh Chloral Hydrate di kopinya?"
"Setelah itu, aku kembali. Aku melihatnya sudah tidak sadarkan diri. Aku tahu ini kesempatanku." Riko menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, "Aku mengambil bor kecil, lalu membuat dua lubang di kaca mobil. Aku gunakan tali pancing, lalu memasukkannya melalui lubang. Aku lingkarkan di lehernya, lalu menurunkannya. Aku sengaja mengikatnya dengan longgar, aku tidak mau dia merasakan sakit. Aku pikir dia hanya akan pingsan. Aku tidak berpikir… ”
Riko terdiam sejenak. Ia melihat ke arah mobil yang kini dipenuhi tim forensik. "Kemudian, aku mengambil segenggam tanah basah, aku campurkan dengan bensin, lalu aku letakkan di bawah mesin. Aku tahu, bau itu... bau itu akan memancingnya untuk membuka jendela."
Haris mengerutkan keningnya. "Jadi... kau sengaja membuat bau itu? Agar dia menurunkan kaca mobilnya? Agar dia secara tidak sadar mencekik dirinya sendiri? Kau membuat ilusi agar dia percaya bahwa mobilnya rusak?"
Riko mengangguk, matanya basah oleh air mata. "Aku tidak tahu... Aku tidak berpikir... Aku hanya ingin dia sadar, bahwa dia tidak bisa memperlakukan orang semena-mena. Aku hanya ingin memberinya sedikit pelajaran kecil."
Amara menghela napas, ia melihat ke arah Riko. "Itu bukan alasan, Riko. Itu adalah pembunuhan berencana."
Riko yang tertunduk, kini diangkat oleh dua orang polisi. Ia berjalan pelan, langkahnya berat. Ia tidak menoleh lagi ke arah Amara, Raditya, atau Haris. Di dalam mobil polisi, Riko menatap kosong ke luar jendela.
"Riko, aku rasa ada sesuatu untuk mu." Amara menghampiri Riko, menyerahkan selembar kertas yang terlipat dan sedikit basah.
Sebuah surat.
'Riko.. Aku tidak akan meminta mu membayar uang ini. Aku berharap kau bisa menjaga dia sebagaimana aku pernah menjaganya dulu sebelum kamu. Buatlah dia bahagia, itulah yang harus kau bayar atas bantuan ku kali ini. Aku harap, kedua orang yang aku cintai bisa menjalani hidup penuh dengan kebahagiaan. Jangan lagi berhutang, hiduplah dengan baik, bahagiakan istri mu.
Tertanda
Kakak yang selalu menyayangimu'
Tubuhnya bergetar hebat. “Aku… aku tidak tahu… dia menulis ini untukku? Kenapa dia tidak bilang? Kenapa dia tidak bicara padaku lebih dulu?”
Amara menatapnya datar. “Kau bahkan tidak memberi kesempatan itu. Kau sudah menyiapkan jebakanmu lebih dulu.”
Raditya menunduk, menatap tanah berkerikil yang basah. Namun sesuatu mengganjal pikirannya. Ia meraih ponsel dan menelusuri laporan perbankan korban yang baru saja masuk dari tim IT. Matanya menyipit.
“Amara… Haris… lihat ini.” Ia menunjukkan layar ponselnya.
Di sana, jelas tertera catatan transfer. Nominal besar. Bukan keluar dari rekening korban menuju Riko, melainkan sebaliknya. Rekening Riko justru menerima aliran dana dari sebuah akun anonim, beberapa jam sebelum kematian kakaknya.
Haris mengerutkan kening. “Tunggu… berarti motif hutang itu hanya setengah cerita. Ada seseorang yang mendanai Riko?”
Amara mencengkeram lengan jaketnya, napasnya memburu. “Kalau begitu… siapa yang cukup berkepentingan membayar adik kandung korban untuk menyingkirkannya?”
Riko, yang masih terisak, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Air mata bercampur keringat dingin. “Aku… aku tidak kenal dia… hanya ada pesan singkat di ponselku. ‘Lakukan, dan semua hutangmu selesai.’ Aku pikir itu… aku pikir itu pertolongan…”
Raditya membeku. “Tunjukkan pesan itu.”
Riko menggeleng, wajahnya semakin pucat. “Aku tidak bisa. Pesannya… sudah hilang. Terhapus sendiri. Aku tidak tahu siapa orang itu.”
Suasana membeku. Angin malam membawa aroma bensin bercampur tanah basah. Dari kejauhan, kilatan petir menyambar langit gelap, menorehkan cahaya singkat yang menajamkan bayangan di wajah mereka.
Amara memandang Haris dan Raditya. Suaranya pelan, tapi sarat ketegangan.
“Kalau begitu… siapa sebenarnya otak di balik semua ini?”
sungguh polisi masa gthu sih....
semangat.....