"Lepasin om! Badan gue kecil, nanti kalau gue penyet gimana?!"
"Tidak sebelum kamu membantuku, ini berdiri gara-gara kamu ya."
Gissele seorang model cantik, blasteran, seksi mampus, dan populer sering diganggu oleh banyak pria. Demi keamanan Gissele, ayahnya mengutus seorang teman dari Italia untuk menjadi bodyguard.
Federico seorang pria matang yang sudah berumur harus tejebak bersama gadis remaja yang selalu menentangnya.
Bagaimana jadinya jika Om Hyper bertemu dengan Model Cantik anti pria?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu
Gissele bergidik geli. Ia mundur selangkah, ekspresi jijik jelas terpampang di wajahnya.
“Nggak usah sok bantu gue,” ujarnya dingin. “Gue bisa sendiri.”
Tapi Dion tidak menyerah. Ia tiba-tiba menangkap pergelangan tangan Gissele, mencengkeramnya lembut namun tak diinginkan.
“Ih, apaan sih! Lepas!” seru Gissele, kini benar-benar kesal.
“Kenapa sih kita nggak ngobrol dulu, Cel… Please, dengerin penjelasan aku—”
“Dion, diem! Ngaco lo! Gue nggak mau ngobrol sama lo!” Gissele mendorongnya pelan. "JAUH-JAUH DARI GUE!"
Brak.
Mendadak, pintu ruangan dosen terbuka dari dalam. Pak Theo berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan ekspresi sinis. Dion langsung melepaskan tangannya dari Gissele, kaget dan kaku.
“Tolong jangan buat keributan di sini,” kata Pak Theo datar.
“I-iya, maaf, Pak,” ucap Gissele, membungkuk cepat. Dion hanya mengangkat dagunya, menatap Pak Theo tanpa hormat.
“Lho, bapak ngatur saya? Aneh, seriusan. Bapak nggak tau orang tua saya siapa,” gumam Dion sarkastik.
Gissele hanya mendecak pelan, kesal mendengar Dion yang tak tahu tempat. Tapi Pak Theo tetap tenang, hanya berjalan perlahan mendekati mereka.
“Biar saya tegaskan, mau kamu anak donatur, atau pejabat—saya nggak peduli. Jangan berisik disini, Dion.”
Dion mengerutkan kening. Ternyata, Pak Theo memang tidak bisa dibujuk.
Setelah itu, Dion menoleh ke Gissele dengan senyum liciknya. “Nanti kita ngobrol lagi, ya, Cel.”
Gissele hanya berdecak sinis dan memutar badannya, enggan menanggapi. Ia lebih memilih berdiri di sisi lain, jauh dari Dion.
Mendadak Pak Theo melangkah mendekatinya dan menyerahkan secarik kertas. “Kalau kamu memang mau nilai kamu naik, buatkan saya esai tentang perkembangan bisnis saat ini. 2.000 kata. Kumpulkan minggu depan.”
Gissele membelalak, setengah syok tapi juga penuh semangat. “Wah, serius, Pak? Makasih banyak ya! Siap, Pak, saya kerjain!”
Untuk pertama kalinya, Pak Theo tidak bersikap dingin. Ia hanya mengangguk singkat sebelum kembali masuk ke ruangannya tanpa sepatah kata lagi.
Gissele tersenyum lebar. Akhirnya… Pak Theo membuka hati juga. "Asik nilai gue bisa membaik nih." Serunya gembira.
Hari itu cuaca mendung menggantung rendah, tapi Gissele justru tampak cerah saat mengajak Federico ke sebuah toko buku besar di sudut kota.
Federico sempat mengerutkan dahi, tak biasa melihat Gissele begitu bersemangat hanya karna buku.
“Kenapa tiba-tiba pengen ke sini, Nona?” Tanyanya sambil berjalan pelan di samping Gissele.
Gissele tak langsung menjawab. Matanya sibuk menyusuri rak-rak buku, jemarinya menelusuri punggung buku dengan lembut. “Gue mau nyari referensi soal bisnis,” jawabnya akhirnya, dengan suara ringan namun penuh niat.
“Gue nggak pengen terus-terusan ngandelin Google. Di buku tuh penjelasannya lebih runtut dan lengkap. Nggak bikin mata cepet capek juga.”
Federico hanya mengangguk pelan, memperhatikan bagaimana cahaya dari jendela jatuh pas di wajah Gissele yang tengah serius memilih buku.
Ada sesuatu yang berbeda darinya hari ini—fokus, tenang, dan… cantik, dalam cara yang tidak mencolok.
Nona selalu cantik, batin Federico.
Setelah hampir sejam mereka di toko, Gissele keluar membawa beberapa buku tebal. Federico membantunya membawa kantong belanjaan sambil berkomentar ringan, “Nona serius banget ya sama tugas ini.”
Gissele tersenyum kecil, “Karna ini penting biar nilai gue naik dan Mami nggak marah lagi.”
Sesampainya di rumah, Gissele tak buang waktu. Ia segera masuk ke kamar, mengganti bajunya dengan piyama santai, mengikat rambutnya asal, dan mengenakan kacamata bacanya.
Di meja belajar, ia mulai membuka satu per satu halaman buku, mencatat poin penting, menandai kutipan dengan stabilo, tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia bahkan tak sadar waktu makan telah lewat.
Beberapa jam kemudian, Federico mengetuk pintu. Tok. Tok. Tok.
“Nona?” Suaranya terdengar lembut. “Saya bawa makan siang.”
“Taruh aja di meja, ya,” jawab Gissele cepat tanpa menoleh, masih khusyuk membaca.
Makanan itu tetap utuh di sampingnya, tak disentuh ataupun dilihat sedikit pun.
Federico mendekat, berdiri di belakang Gissele yang membungkuk sedikit di atas buku. Ia menyentuh bahunya pelan.
“Makan dulu, nanti dilanjut lagi. Kalau kelamaan baca juga nggak bagus buat mata.”
“Ya, nanti dimakan. Nggak sekarang,” ucap Gissele, suaranya tegas namun pelan
Melihat keseriusannya, Federico hanya tertawa kecil. Namun, iseng mulai mengusiknya. Ia mengambil salah satu buku yang tengah dibaca Gissele dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Heh! Om! Jangan ganggu dong!” Seru Gissele, kesal. Ia berdiri, mencoba merebut bukunya kembali. Tapi Federico, seperti biasa, lebih tinggi, lebih cepat.
Dengan wajah penuh kekesalan dan mata menyipit, Gissele mencoba meraih bukunya lagi. Tapi kali ini Federico mundur beberapa langkah, sampai akhirnya tubuhnya terdorong ke atas kasur.
Gissele, tanpa pikir panjang, mendorongnya agar bisa mengambil bukunya. Namun, tubuhnya ikut tertarik.
"EH!"
dalam satu gerakan cepat, Federico menangkap lengannya, dan mereka terjatuh bersamaan ke atas kasur.
Gissele berada di bawahnya.
Nafasnya tercekat. Kedua tangannya ditahan lembut oleh Federico di sisi kepala. Matanya membelalak, jantungnya berdetak kencang tak karuan.
Federico hanya menatapnya dalam-dalam, wajahnya begitu dekat, napasnya terasa di pipi Gissele.
“Nona…” Bisiknya. Suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.
Gissele menelan ludah, tubuhnya menegang. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya. Ia tahu posisi ini sangat berbahaya karna Federico adalah pria m*sum.
Dalam sekejap, suasana berubah. Tidak ada suara. Tidak ada gerakan. Hanya keduanya… dalam keheningan yang membakar, dalam jarak yang memabukkan.
Tatapan Federico tak beranjak dari wajah Gissele. Mata pria itu mengamati gadis di bawahnya dengan pandangan yang dalam—bukan tatapan iseng seperti biasanya, tapi seolah sedang mengamati kecantikan Gissele dari dekat.
Matanya sempat melirik ke arah kacamata yang kini agak miring di wajah Gissele. Dengan gerakan lembut, ia menyentuh bingkai itu, membetulkannya sedikit.
“Kacamatanya melorot, Nona,” bisiknya pelan.
Gissele mengerjap. “Aah, Om…” Gumamnya tak nyaman, pipinya mulai memanas.
Sial, dia benci saat Federico memperhatikan hal-hal kecil seperti itu. Membuatnya merasa aneh dan jantungnya makin berdegup kencang.
“Om gangguin Nona gue aja. Kerja Om tuh jaga gue bukan gangguin gue.” Gerutu Gissele seraya memalingkan wajah.
Federico terkekeh, “Saya memang jaga Nona kok. Saat ini saya lagi bantu jaga kesehatan, Nona. Makanya Nona harus makan."
Gissele mendengus sebal, “Ihh... nggak tau lah Om.”
Namun sebelum dia bisa bangkit dari posisi mereka, Federico dengan tiba-tiba mendekatkan wajahnya sangat dekat.
Wajah pria itu hanya beberapa inci dari wajah Gissele. Hembusan napas hangatnya menyentuh pipi gadis itu, membuat jantungnya berdetak kencang tak karuan.
“O-om, mau apalagi sih?” Gissele panik, buru-buru memalingkan wajahnya ke samping. Wajahnya semakin merah. Nafasnya tak teratur.
Namun alih-alih menjawab dengan serius, Federico malah tertawa ringan, suaranya renyah dan hangat.
“Nggak mau apa-apa. Cuma... pengen lihat Nona dari dekat. Nona pakai kacamata lucu juga."
“Apaan sih... gombal aja.”
Gissele mendorong dada Federico dengan kedua tangannya—tidak keras, tapi cukup membuat pria itu mundur dan akhirnya bangkit.
Ia buru-buru duduk, membetulkan rambutnya dengan gerakan tergesa, lalu menatap Federico tajam.
“Dasar, gangguin orang aja.”
Federico hanya menyengir. “Saya hanya ingin memastikan Nona makan. Kalau Nona sebegitu sibuknya, apa Nona mau saya suapin makannya?”
“Apa?” Gissele mendelik.
“Ya, Nona bisa baca buku dan saya suapi makannya.”
Gissele berpikir sejenak, ekspresinya bingung antara malu, sebal, dan... sebenarnya sedikit tersentuh.
Kalau begini rasanya seperti punya pelayan dan Gissele selalu mendambakan hal ini. Rasanya seperti diperlakukan khusus seperti tuan putri.
Gissele pun berdehem, Ya udah... tapi jangan macam-macam.”
Senyuman Federico melebar, tapi kali ini ada kelembutan yang tak biasanya terlihat di wajahnya. “Siap, Nona.”
Gissele kembali ke posisi semula, menyandarkan punggung di bantal dan membuka bukunya lagi.
Federico duduk di sampingnya, mengambil sendok, dan mulai menyuapkan makanan perlahan.
Sementara halaman-halaman buku terus berganti, Gissele mulai merasa anehnya nyaman. Federico tak banyak bicara, hanya sesekali melempar candaan pelan, membuatnya tersenyum tanpa sadar.
"Enak nggak makannya?" Tanya Federico basa basi.
Gissele mengangguk, "Enak kok enak."
Federico menyendok nasi dan lauk dengan gaya sok serius, lalu mengarahkan sendok itu ke mulut Gissele. “Ayo, buka mulutnya yang lebar, Nona. Pesawat mau mendarat.”
Gissele memelototinya. “Ih, Om, suapinnya biasa aja dong.”
“Ini biasa aja kok, nih... pesawat datang dari arah kanan, melaju dengan kecepatan tinggi..” Goda Federico sambil mendekatkan sendok.
Gissele menggeleng pelan sambil tertawa. “Astagaaa...” Tapi tetap saja, dia membuka mulutnya—lebar, seperti yang diminta. Dan begitu suapan masuk, nasi belepotan sedikit di sudut bibirnya.
“Ihh, Om!” Gissele buru-buru menyeka mulutnya dengan tisu, wajahnya memerah antara malu dan geli.
"Nona buka mulutnya kurang lebar itu."
Federico masih cekikikan tapi karena fokusnya ke wajah Gissele yang sedang gemas sendiri, dia malah salah menyendok sesuatu dari piring.
Begitu sendok itu diarahkan lagi ke mulut Gissele, gadis itu langsung menggigit tanpa banyak pikir. Namun seketika ekspresinya berubah drastis.
“Peh!” Gissele memelintir wajahnya, lalu memegang pipinya sambil meringis. “Apa sih ini?!”
Federico panik, melihat apa yang tadi disuapkan. “Eh—itu lengkuas ya?! Sumpah saya kira daging, Nona, maat.”
Gissele memelototinya dengan kesal
setengah geli. “Ya ampun, itu keras banget.. nggak enak.”
“Maaf, maaf! saya nggak fokus,” Federico langsung menyodorkan gelas air sambil tertawa kecil. “
Saat Federico sedang membereskan lengkuas yang dilepeh, tiba‑tiba ponselnya bergetar di saku jaket.
DRRRT!
Pria berhenti sejenak, mengerutkan kening, lalu mengeluarkan ponsel. “Hah, pesan apa lagi ini?” Gumamnya pelan.
Layar ponsel menampilkan pemberitahuan dari nomor tak dikenal. Dengan ragu ia menekan notifikasi, dan seketika… wajahnya berubah pucat.
Di layar terpampang sebuah foto perempuan yang berpakaian tidak senonoh dengan pose seksi, yang jelas bukan untuk konsumsi umum.
Refleks, Federico melemparkan ponsel itu ke meja. “Aish…” Keluhnya, setengah kesal, setengah jijik.
Gissele jelas kepo dengan hal ini. "Kenapa deh, Om?” Gadis itu meraih ponsel Federico, membuka pesan terakhir, lalu tiba‑tiba seisi ruangan menjadi sunyi.
Raut wajah Gissele menegang, bibirnya mengatup rapat. Foto tak senonoh itu masih jelas di matanya. Dan entah mengapa hatinya mendidih.
"Oh.. Om masih suka main cewek, ya?" Suaranya tajam, menusuk seperti pisau.
Federico langsung berdiri dengan panik. "Nona… biarkan saya jelaskan—"
"Nggak!" Potong Gissele keras, matanya berkilat. "Gue gak mau denger apa-apa! Om keluar dari sini!" Ia juga berdiri dan mendorong pria itu.
"Nona, tolong…" Federico berusaha menjelaskan tapi Gissele terlihat marah sekali. Pria itu diusir dari kamarnya dan—
Brak!
Pintu itu tertutup keras di hadapannya.
Di balik pintu, Gissele bersandar dengan nafas berat. Dadanya naik turun, matanya memanas.
Rasanya sama ketika Dion ketahuan tidur sama cewek lain. Kenapa rasanya sangat sesak, ya? Gissele menyeka dahinya, bingung dengan apa yang dia rasakan.
Sementara itu, Federico berdiri di depan pintu yang kini membisu. Kepalanya tertunduk, tangannya mengepal lemah.
"Ha.. sialan." Gerutunya, biasanya banyak cewek random yang mengirim pesan itu karna Federico yang dulu langsung bereaksi.
Semuanya tau bahwa Federico adalah playboy tapi sekarang.. Entah mengapa Federico merasa jijik dikirimkan foto itu dan pikirannya hanya tetap pada Gissele.
Federico lalu memegang pintu kamat Gissele dan mendekatkan kepalanya.
"Nona maaf, saya dulu adalah pria brengs*k. Tapi percayalah, saya sudah berubah sekarang, saya minta maaf kalau Nona nggak nyaman."
Pria itu berharap Gissele mendengar ucapannya dari balik pintu. Dirasa tidak ada jawaban, Federico memandang pintu itu sejenak kemudian menghela nafas.
"Kasih tau saya kalau Nona sudah baikan."
Belum sempat Federico melangkah menjauh dari depan pintu, suara keras terdengar dari baliknya.
BRAK!
“Om!”
Federico jelas terkejut, pintu terbuka cepat, dan gadis itu berdiri di sana dengan mata membara. “Masuk.”
Federico ragu sejenak, tapi mengikuti. Di dalam kamar, Gissele berdiri dengan tangan terlipat di dada. Nafasnya masih berat, tapi matanya menatap Federico lurus tanpa ragu.
“Maaf karna hal ini buat Nona jadi nggak nyaman.” Federico membuka suara, suaranya lembut, nyaris seperti bisikan,
Gissele mendengus pendek, mendekat perlahan. “Pertanyaannya cuma satu, Om.”
Federico menatapnya penuh harap.
“Seksian gue atau dia?”
Pertanyaan itu menggema di ruangan, menggantung lama di antara mereka. Federico sempat terdiam. Tapi hanya sedetik.
Kenapa pertanyaannya begitu? Rasanya seakan Gissele membandingkan dirinya dengan wanita itu.
Pria itu nenyeringai, berarti kesalnya Gissele barusan.. Ia melangkah maju perlahan hingga hanya ada jarak sehelai rambut di antara mereka.
Tangan Federico terangkat, meraih pelan belakang kepala Gissele, jari-jarinya menyentuh rambut gadis itu dengan lembut.
“Jadi, Nona cemburu?”
Gissele tertegun. Pipinya merona, tapi wajahnya tetap keras. “Jawab pertanyaan gue.”
Federico tersenyum kecil, “Nona jawab pertanyaan saya dulu, baru saya akan jawab pertanyaan Nona. Apakah Nona cemburu dengan wanita itu?”
Dan gawatnya Federico makin dekat.
..