NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:169
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 4

Pagi itu, di hari Minggu...

Zia tampak sibuk menyiram tanaman di halaman kecil rumah bibinya. Sinar matahari belum terlalu terik, tapi keringat sudah mulai membasahi pelipisnya. Sementara itu, Bibi Lina duduk santai di teras rumah dengan handphone di tangan, sesekali cekikikan sendiri saat membalas pesan dari grup teman-temannya.

Seorang tetangga yang melintas di depan rumah, Bu Riska, menghentikan langkahnya dan menatap pemandangan itu dengan sorot tidak suka.

“Hei, Lina. Bukannya bantu keponakanmu malah asyik main HP,” celetuk Bu Riska dengan nada sindiran.

Bibi Lina melirik malas. “Terserah saya dong. Selain donatur, dilarang ngatur,” balasnya ketus.

Bu Riska mendengus pelan, tapi tetap menimpali dengan tenang. “Saya cuma mengingatkan. Perlakukanlah keponakanmu dengan baik. Bukan seperti pembantu.” Ia lalu melanjutkan langkahnya, menggelengkan kepala pelan.

Zia yang mendengar percakapan itu hanya menunduk. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia melanjutkan menyiram tanaman seolah tak terjadi apa-apa.

Bibi Lina berdiri dari kursinya dan menatap Zia dengan penuh amarah. “Puas kamu? Saya dijulidin tetangga gara-gara kamu!”

Zia hanya menggeleng pelan, menahan rasa sedih yang mulai menggenang di matanya.

“Sana masuk! Kerjain yang lain!” hardik Bibi Lina.

“Tapi Zia harus cari kerja, Bi...” ucap Zia hati-hati.

Bibi Lina menyilangkan tangan di dada. “Ya sudah! Ganti baju! Jangan pulang sebelum dapet kerja!” bentaknya.

“Iya, Bi…” sahut Zia pelan.

Beberapa menit kemudian, Zia keluar dari kamarnya dengan rok hitam selutut dan kemeja putih sederhana. Rambutnya dibiarkan tergerai alami, memperlihatkan kecantikannya yang polos meski tanpa riasan.

“Bi, Zia berangkat dulu.” Ia menghampiri Bibi Lina dan menyalami tangannya dengan sopan.

Bibi Lina hanya melirik sekilas. “Iya sana pergi! Kamu di rumah bikin napas sesak!” ucapnya ketus, sambil mengibaskan tangan seolah mengusir.

Zia tersenyum tipis lalu melangkah pergi, menyusuri jalan dengan harapan bisa menemukan pekerjaan. Ia mencoba melamar di beberapa café dan restoran, tapi hasilnya nihil. Semua sudah terisi.

Siang menjelang, Zia terduduk lelah di halte. Nafasnya berat, tubuhnya lemas, dan pikirannya mulai dipenuhi kekhawatiran.

Namun tiba-tiba, pandangannya tertumbuk pada sebuah kejadian tak jauh dari halte. Seorang wanita paruh baya sedang dikepung tiga pria bertampang kasar. Salah satu dari mereka mengacungkan pisau.

Zia sontak panik. “Aduh... kasihan... Tapi itu premannya bawa pisau... Gimana ini?” pikirnya, jantung berdetak tak karuan.

Namun rasa takut itu segera tertutup oleh dorongan kuat dari hatinya. Ia menoleh ke samping, melihat sebatang balok kayu tergeletak tak jauh dari halte. Dengan cepat, ia mengambilnya lalu mendekati para preman dari belakang.

Sambil mengisyaratkan pada wanita itu untuk diam, Zia mendekat perlahan.

Lalu—BRUKK!

Satu preman dihantam dari belakang. Disusul pukulan ke preman kedua dan ketiga. Mereka jatuh terguling namun masih sadar.

Zia segera menarik wanita itu ke belakang. “Oma nggak papa?”

Wanita itu mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Saya nggak papa... Terima kasih, Nak…”

Namun tiba-tiba—SREETT!

Salah satu preman bangkit dan mengayunkan pisau, mengenai tangan Zia.

“AKHHH!” Zia meringis, menatap darah yang mengalir deras dari tangannya.

“Nak kamu nggak apa-apa!?” seru wanita itu panik, memegangi bahu Zia.

“Sakit…” Zia menggigit bibir menahan perih.

Wanita itu menoleh ke sekitar lalu berteriak, “Tolong! Tolooong!!”

Teriakannya menggema, dan dalam waktu singkat warga berdatangan.

Melihat banyak orang mulai mendekat, para preman panik dan langsung kabur, meninggalkan Zia dan wanita itu yang masih terjatuh di pinggir jalan.

____

Beberapa menit kemudian...

Zia sudah terbaring lemah di ruang sebuah klinik. Luka di tangannya telah dibersihkan dan dijahit, meski wajahnya masih terlihat pucat dan lelah.

Seorang wanita paruh baya yang sejak tadi menemaninya duduk di samping ranjang sambil menggenggam tangan Zia dengan mata sembap.

“Terima kasih banyak, Nak… Kalau kamu nggak ada tadi, mungkin nyawa Oma sudah melayang,” ucapnya pelan.

Zia tersenyum samar. “Nggak apa-apa, Oma. Yang penting Oma selamat.”

“Kamu baik sekali,” ujar wanita itu yang kemudian memperkenalkan diri. “Tenang saja, semua biaya pengobatan akan Oma tanggung karena kamu sudah menolong Oma.”

“Nama kamu siapa, sayang?” tanya wanita itu lagi, suaranya lebih lembut.

“Nama aku Zia, Oma,” jawab gadis itu pelan.

“Kalau begitu, panggil saya Oma Ririn, ya.”

Zia hanya mengangguk kecil.

“Di umur kamu segini, seharusnya hari Minggu diisi buat bersenang-senang, bukan berpakaian serapi ini sambil bawa amplop cokelat,” ucap Oma Ririn heran, menatap Zia dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Tidak dengan Zia, Oma,” jawab Zia dengan senyum miris.

Tanpa banyak kata, Oma Ririn mengeluarkan sepuluh lembar uang merah dari dompetnya. “Ini, untuk kamu.”

Zia buru-buru menggeleng. “Gak perlu, Oma. Zia ikhlas kok.”

“Gak apa-apa, Oma juga kasihnya ikhlas. Kamu terluka karena menolong Oma. Tolong diterima, ya?”

Zia ragu sejenak, lalu mengambil uang itu perlahan. “Makasih ya, Oma.”

“Sama-sama, sayang. Kamu cantik sekali,” puji Oma Ririn sambil mengelus rambut Zia lembut.

“Ahh, Oma bisa aja,” ucap Zia sambil tersenyum malu.

“Dari tadi Oma lihat kamu pegang amplop cokelat, kamu lagi cari pekerjaan ya?” tanya Oma Ririn.

“Iya, Oma,” jawab Zia pelan.

“Orang tua kamu ke mana?” tanya Oma Ririn hati-hati.

Zia menunduk. “Kata Bibi, Zia gak punya orang tua sejak kecil.”

Oma Ririn terdiam. “Maaf, sayang. Oma nggak tahu.”

“Gak papa kok, Zia udah biasa,” jawab Zia tulus, meski ada bayang kesedihan di matanya.

Oma Ririn terpaku melihat senyum manis gadis itu. “Kamu mau kerja di mansion Oma?”

Zia menatap Oma Ririn penuh harap. “Kerja apa, Oma?”

“Kamu cuma perlu ngurus cucu-cucu Oma. Gampang, kok.”

Zia langsung mengangguk. “Boleh, Oma! Zia mau!”

“Besok kamu datang ke mansion Oma, ya. Ini alamatnya,” ucap Oma Ririn sambil menyodorkan selembar kertas kecil yang berisi alamat rumahnya.

“Baik, Oma. Besok Zia bakal datang ke mansion Oma,” ucap Zia penuh semangat, matanya berbinar, seakan harapan baru mulai terbuka.

Oma Ririn tersenyum hangat, lalu bertanya hati-hati, “Kalau boleh tahu, uang tadi rencananya buat dipakai apa, Nak?”

Zia menunduk pelan. “Buat bayar hutang Paman, Oma.”

“Hutang?” dahi Oma Ririn berkerut, “Kenapa bukan Paman kamu yang kerja?”

Zia menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu menghela napas. “Zia juga nggak tahu, Oma. Paman nggak jelas kerja apa. Kalau Zia nggak bisa bantu lunasin hutangnya, Zia bakal dijodohin sama Juragan Tono…”

“Astaghfirullah…” gumam Oma Ririn terkejut. “Mereka sangat kejam… Kamu masih muda, masa harus ditindas begitu…”

Zia mengangkat wajahnya, berusaha tetap tegar. “Zia harus kuat, Oma. Udah biasa disuruh-suruh…”

Tiba-tiba mata Zia melirik ke jam dinding di ruang UGD.

“Astaga… Zia pulang dulu ya, Oma! Udah jam tiga, nanti Bibi marah kalau Zia kelamaan!”

Oma Ririn langsung berdiri. “Kamu pasti pulang naik apa?”

“Jalan kaki aja, Oma. Deket kok…” ucap Zia cepat, sambil berdiri dan merapikan bajunya.

“Tidak. Biar Oma yang antar. Nggak tenang rasanya melepas kamu pulang sendirian dalam kondisi begitu.”

Zia tersenyum tulus. “Nggak usah repot-repot, Oma. Tapi makasih ya, Oma baik banget…”

“Besok jangan lupa datang ya, sayang. Kalau kamu kerja sama Oma, kamu gak bakal ngalamin hal-hal jahat lagi,” ucap Oma Ririn sambil mengelus pipi Zia penuh kasih.

Zia mengangguk pelan, lalu melangkah keluar dengan hati yang lebih tenang.

Di balik luka dan lelahnya hari ini, harapan baru akhirnya muncul.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!