Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Siang itu di ruang persidangan.
Ruang sidang terasa pengap, meskipun pendingin ruangan berdesir lembut. Gilang dan Sinta duduk tenang, Di sisi lain, Chandra bersama pengacaranya, duduk dengan wajah yang sudah memerah karena menahan emosi.
Hakim mulai membuka berkas-berkas bukti, layar proyektor menampilkan foto-foto, rekaman percakapan, serta catatan transaksi yang mengaitkan Chandra dengan Jenny yang diajukan oleh Gilang.
“Saudara Chandra, apakah benar isi rekaman ini suara Anda?” tanya hakim dengan nada datar.
Suara Chandra terdengar dari rekaman—suara akrabnya dengan Jenny, bercampur rayuan dan janji-janji kosong yang sulit dibantah.
“Ini fitnah!! Semua ini fitnah!!!” Chandra mendadak berdiri, menggebrak meja persidangan.
Hakim mengetuk palu tiga kali. “Tolong jaga sikap Anda di ruang sidang. Kalau anda tidak bisa tenang, saya akan meminta anda keluar dari ruang sidang.”
Sinta menatap Chandra dengan senyum tipis penuh kemenangan, sementara Gilang tetap tenang. “Yang Mulia, selain bukti perselingkuhan, tergugat juga melakukan pencemaran nama baik atas klien kami. Kami memiliki data transaksi pembayaran ke salah satu akun gosip ternama yang selama ini menyudutkan nama Bu Audy. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mencederai reputasi yang dibangun oleh klien kami dengan menimpakan kesalahan tergugat kepada klien kami”
Chandra mendengus, “Omong kosong! Aku tidak pernah—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Sinta berkata, "Ijinkan kami memanggil saksi Yang Mulia!" yang dibalas anggukan kepala oleh hakim
Salah satu saksi akhirnya dihadirkan, dia tidak lain adalah admin akun gosip itu sendiri.
"Apa betul anda adalah admin dari akun gosip Bacot Tetangga?" katanya
"Ya benar" jawabnya.
"Lalu apa benar, bahwa anda dibayar untuk menyebarkan berita bohong terkait perselingkuhan Audy Anjani dengan Dion Hutama Putra, ke media sosial dan memviralkannya?" tanya Sinta lagi.
“Ya, benar. Transfer itu berasal dari rekening atas nama Chandra. Kami dibayar untuk membuat narasi yang menjelekkan Bu Audy dan mengaitkannya dengan Dion,” jelas admin tersebut dengan suara tegas.
Seketika ruangan bergemuruh. Semua mata menatap Chandra dengan tatapan jijik bercampur heran. Chandra terdiam, wajahnya pucat, tangannya mengepal sampai buku jarinya memutih.
Sidang pun ditutup, dengan keputusan akhir akan dibacakan minggu depan. Namun arah persidangan sudah jelas—semua menguntungkan Audy.
Di luar ruang sidang, Chandra berjalan cepat dengan wajah gelap. Nafasnya memburu, hatinya diliputi rasa malu bercampur amarah. Tapi situasi makin buruk saat dia mendapati seseorang sudah menunggunya di halaman pengadilan.
“Adam…” gumam Chandra penuh geram.
Adam berdiri santai dengan jas rapi, senyum menyeringai seolah menikmati kehancuran lawannya. “Ternyata benar kamu ada di sini.”
“Ngapain kau kesini, Dam? Mau ngejek aku?!” Chandra berteriak lantang, membuat orang-orang menoleh.
Adam menyodorkan sebuah map coklat. “Kenapa kau marah begitu Chandra, aku jauh-jauh datang kesini untuk memberimu semangat" ejeknya.
"Hah, kau pikir aku bakalan percaya!!" seru Chandra
"Oke, aku datang kesini cuma mau bilang, mulai hari ini kau resmi di non aktifkan dari perusahaan. Yah, kau sudah tidak datang bekerja selama dua minggu, jadi aku terpaksa melacak keberadaanmu”
Chandra menatap tak percaya. “Apa? Di non aktifkan?! Kamu gila ya?”
“Kau pikir aku akan diam aja saat, kau tidak datang bekerja tanpa pemberitahuan selama lebih dari dua minggu? Apa kau lebih suka dipecat secara langsung?" seru Adam.
"Ingat Chandra, perusahaan itu bukan lagi milikmu, Chandra. Kau hanyalah seorang direktur operasional biasa, bukan lagi seorang CEO.”
“Jangan ngomong sembarangan! Aku masih punya saham di sana, aku masih punya hak!!” teriak Chandra, wajahnya merah padam.
Adam mendekat, suaranya dingin. “Jangan ngomong soal hak sama aku. Kau sudah menghabiskan semua hakmu karena ulahmu sendiri. Kau pikir berapa banyak kekacauan yang sudah kau lakukan hah!!!" bisik Adam.
"Penggelapan dana, nepotisme, bahkan ada laporan pelecehan dari sekretarismu, Tiara. Kau pikir aku akan mempertahankan orang tidak bermoral tetap berada di perusahaan”
Chandra terbelalak, “Tiara…? Nggak mungkin… dia nggak mungkin ngelakuin itu ke aku…” suaranya bergetar, tak percaya wanita yang menjadi pelampiasan asmaranya, justru menikamnya dari belakang.
Adam menepuk pundaknya dengan sinis. “Aku sudah menyuruh orang untuk mengemasi sisa barang-barangmu di kantor dan mengirimnya kerumahmu. Selamat menikmati hasil dari jerih payahmu selama ini Chandra. Karma nggak akan pernah salah alamat"
Chandra meraung di parkiran, matanya liar penuh amarah. “Kurang ajar kamu, Dam! Sialan kamu!! Aku nggak terima! Aku bakalan rebut kembali semuanya!!!”
Suaranya menggema di pelataran pengadilan, sementara orang-orang hanya menatap kasihan. Dari sosok pria berkuasa, kini Chandra tampak seperti lelaki yang kehilangan kewarasannya, menjerit di tengah kehancuran hidupnya sendiri.
***
Sementara itu di kantor di kantor, ruangan terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara ketikan keyboard dari beberapa karyawan terdengar seperti gema dari kejauhan. Audy menatap layar laptopnya, tapi pikirannya tak benar-benar ada di sana. Matanya sesekali melirik jam dinding, jarum panjang terasa berjalan lambat menyiksa.
Hari ini adalah hari besar. Sidang perceraiannya dengan Chandra tengah berlangsung di pengadilan melalui pengacaranya, dan di waktu yang sama… Dion akan terbang ke China. Dua peristiwa yang sama-sama mengguncang hidupnya, tapi berbeda arah.
Ingin sekali dia berada di bandara, mengantar Dion. Tapi meeting penting yang tak bisa ditunda memaksanya untuk tetap duduk di kursi ini.
“Dy, ngelamun aja. Mikirin apa sih?” suara Yunita membuyarkan lamunannya.
Audy tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahan. “Nggak… aku cuma berharap sidang ceraiku hari ini lancar.”
“Oh iya ya, hari ini sidang kamu.” Yunita memekik kecil, lalu mencondongkan tubuhnya dengan ekspresi menggoda. “Eh tapi Dion juga berangkat hari ini kan? Yakin kamu mikirin sidang, bukannya lagi mikirin ayang yang merantau ke China?”
Audy mendengus, meletakkan pena di atas meja. “Mulai deh. Udah nggak usah bikin gosip baru. Gosip kemarin aja masih belum bener-bener ilang.”
Yunita terkekeh, tapi segera menutup mulutnya saat melihat raut wajah sahabatnya yang benar-benar lelah.
Audy meraih ponselnya yang bergetar pelan. Layar menampilkan sebuah pesan dari Dion.
“Aku berangkat ya. Kamu jaga diri baik-baik selama aku pergi.”
Di bawahnya, sebuah stiker berbentuk hati bertuliskan I love you.
Audy menatap layar itu lama sekali. Matanya panas, tenggorokannya tercekat. Rasanya ingin sekali dia menjawab dengan kalimat panjang, dengan semua isi hatinya. Tapi jemarinya hanya bisa mengetik singkat:
“Hati-hati ya. Jangan lupa kabarin kalau udah sampai.”
Tangannya gemetar kecil saat menekan tombol kirim. Air mata yang tadi ditahan kini menggenang di sudut mata. Dia buru-buru mengusapnya sebelum Yunita sempat melihat.
“Dy…” suara Yunita tiba-tiba melunak. Dia tahu sahabatnya sedang berjuang menahan perasaannya yang terpendam. “Kalau kamu mau nangis, nggak apa-apa loh. Aku ngerti kok.”
Audy menggeleng, tersenyum getir. “Siapa yang mau nangis sih, orang cuma kelilipan, udah ah. Kita ke ruang meeting aja sekarang, sebentar lagi bakal ada klien penting yang datang” kilah Audy, sambil bangkit berdiri dan meninggalkan Yunita yang masih bengong di belakangnya.
"Jujur aja kenapa sih Dy" gumam Yunita gemas.
***
Meeting sudah selesai, ruangan perlahan kosong. Audy masih duduk di kursinya, menatap layar laptop yang padam. Pikirannya melayang entah kemana, sampai tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Gilang, pengacaranya.
“Selamat siang, Bu Audy. Saya punya kabar baik,” suara Gilang terdengar jelas dari seberang.
Audy langsung menegakkan tubuhnya. “Bagaimana hasil sidangnya?” tanyanya, suara sedikit bergetar.
“Alhamdulillah, gugatan perceraian Ibu berjalan lancar. Majelis hakim Prosesnya berjalan mulus, karena bukti-bukti kita kuat. Ibu hanya diminta hadir minggu depan untuk pembacaan keputusan, tapi ibu tidak perlu khawatir, hasil akhirnya sesuai dengan yang kita harapkan.”
Hening. Sesaat Audy tak mampu berkata apa-apa. Jemarinya meremas ujung meja.
“Jadi… sebentar lagi saya benar-benar akan resmi bercerai?” suaranya lirih.
“Ya, Bu. Ibu tidak perlu lagi khawatir”
Audy menarik napas panjang. Ada rasa lega menyusup ke dadanya, seolah beban besar yang bertahun-tahun menjeratnya akhirnya runtuh. Matanya berkaca-kaca—tapi bukan hanya karena lega. Ada kehampaan yang tak bisa dia jelaskan.
“Terima kasih, Mas Gilang… Sinta… untuk semuanya,” ucapnya pelan.
Telepon ditutup. Audy bersandar di kursinya, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Air mata akhirnya jatuh juga, membasahi pipinya.
Ponselnya kembali bergetar. Kali ini sebuah pesan baru masuk dari Dion, sebuah foto dirinya yang sedang transit di Hongkong.
“Aku masih transit, jangan sedih karena kangen sama aku ya” – Dion.
Pesan itu singkat, tapi langsung menusuk relung hati Audy. Senyum dan tangis bercampur jadi satu.
“Bodoh…” gumamnya sambil tersenyum pahit, “gimana aku bisa nggak sedih kalau kamu pergi?”
Dia berdiri, melangkah ke arah jendela kantor. Menatap langit biru di luar, sekarang sedikit demi sedikit bebannya mulai terangkat, sejenak dia teringat dengan ucapan Yunita dulu, "Aku juga berhak bahagia"
...***...