Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 11
Lalu, kenapa tidak di angkat?" tanyaku sambil mengangkat sedikit sudut bibir, pura-pura biasa saja. Padahal rasa cemburu sudah sepenuhnya menguasai semua rongga.
"Nggak usah, takutnya jadi sesuatu yang tidak baik untuk hubungan kita," ucapnya.
"Justru jika nggak di angkatlah yang akan membuatku curiga. Coba angkat sekarang dan di loadspeaker! Aku mau dengar." Sifat posesifku nggak bisa disembunyikan lagi. Aku benar-benar cemburuan orangnya. Entah dia bisa memahami sifatku ini nantinya atau tidak.
"Halo." Akhirnya Jasson mengangkat teleponnya.
"Kenapa tidak di balas lagi?" Terdengar suara lembut yang enak didengar di seberang sana.
"Maaf, sudah kukatakan berkali-kali, aku sibuk dan nggak bisa selalu balas chat atau apapun itu," jawab Jasson.
Aku kecewa dengan jawabannya. Harusnya bukan itu yang dia katakan. Tetapi bilang kalau dia sudah punva gebetan danbilang kalau dia sudah punya gebetan dan nggak mau gebetannya salah paham. Ah, Jasson! Aku benar-benar kcewa. Apalagi wanita itu menanyakan kenapa tidak membalas chatnya lagi? Apakah tadi selama aku sholat mereka malah chattingan?
"Kenapa sih? Bahkan waktumu saja sudah nggak ada lagi untuk aku," ucapnya memelas.
"Sudah, ya Alice. Yang sudah biarlah berlalu. Kita punya harapan untuk kehidupan kita ke depannya. Saat ini aku sedang bersama pacarku. Aku nggak mau ada kesalahpahaman di antara aku dan dia." Aku terkejut dengan jawabannya. Dia bilang aku pacarnya? Ah Jasson! Sebentar saja kamu sudah membuat kekecewaanku tadi terbang menguap ke udara.
"Ngak mungkin! Katanya kamu tidak bisa move on dari Nadia? Kenapa sekarang tiba-tiba punya pacar? Apa dia juga nantinya akan bernasib sama denganku? Apa dia hanya pelarian juga untukmu?" cecarnya.
Aku terus menyimak obrolan mereka. Pelarian? Apakah cewek itu pelarian? Setelah Jasson ditinggal pacarnya yang islam itu? Nggak akan, dia berbeda. Dia bisa membuka hatiku, sudahlah, jangan berdebat lagi. Aku nggak ingin kamu sakit hati jika kuceritakan lebih banyak hal tentangnya." Jasson seperti ingin mengakhiri teleponan mereka.
Tetapi aku masih ingin mendengar lebih banyak obrolan mereka. Kini aku mulai berpikir, jika aku akan bernasib sama dengan wanita itu. Apakah Jasson juga akan meninggalkanku seperti dia?
"Tega kamu! Berati benar, denganku kamu nggak pernah serius." Suara wanita yang ternyata bernama Alice itu mulai terdengar sendu. Sepertinya dia sudah menangis di seberang sana.
"Alice, please, jangan menangis. Dari pertama kali kamu mengungkapkan rasa, aku sudah minta, jika kita akan coba jalani dulu hubungan ini. Ternyata setelah kucoba, aku gagal mencintaimu. Rasa itu benar-benar nggak ada. Semakin lama diteruskan, akan semakin sakit untukmu nanti ketika mengetahui perasaanku. Please alice, sudah, ya. Pacarku sudah terlalu lama menunggu."
Cara bicara Jasson benar-benar sopan dan elegan. Bahkan ke orang yang mungkin tidak dia inginkan.
Aku masih jadi penyimak. Perasaanku begitu cepat saling berganti, kadang sedih kadang senang dan kadang bangga. Dan saat ini aku mulai percaya lagi setelah tadi aku curiga padanya.
"Aku nggak percaya!" bentaknya dengan suara manja. Aku mulai kesal dengan ulah mantannya ini.
"Yasudah, kalau nggak percaya kapan-kapan kuajak dia ke butikmu," ucap Jasson.
Jasson langsung izin untuk mematikan
telepon. Pembicaraan mereka pun berakhir.
Aku diam saja menunggunya bicara.
Kuusahakan agar reaksiku biasa-biasa saja.
Kami berdiri dibawah pohon kelapa di depan masjid. Beberapa detik kami terdiam dan sesekali saling menatap tanpa ekspresi apa-apa.
"Maaf, ya." Akhirnya dia mengeluarkan suara.
"Untuk?" tanyaku agar dia memberikan keterangan atas apa yang dia ucapkan. Mungkin kamu nggak nyaman karena aku mengangkat telepon darinya," ucapnya.
"Nggak juga sih, tetapi lebih ke nggak nyamannya setelah tahu jika ternyata kamu masih berhubungan dengan mantan. Kukira kita benar-benar sama. Aku nggak pernah berhubungan lagi sama mantan setelah kejadian itu," paparku menahan kecewa.
"Pernah aku berniat mau ganti nomor ini. Tetapi nomor ini sudah kupakai sejak masih SMP. Semua teman-temanku tahunya nomor ini. Selain itu bookingan tempat di cafe juga kuarahkan ke sini. Jadi aku sayang untuk menggantinya," jelasnya.
"Lalu, apakah yang dikatakannya itu benar?" tanyaku lagi tanpa menanggapi penjelasannya yang menurutku cukup masuk akal itu.
"Yang mana?" tanyanya.
"Jika dia hanya sebagai pelampiasan saja untukmu?" Aku menengadah menatapnya.
"Kurasa kita perlu membahas ini, aku nggak ingin kepercayaanmu berkurang padaku. Bagaimana jika kita duduk lagi di sana?" ajaknya.
Aku lalu setuju. Kami duduk lagi di cafe tadi. Aku dan dia sama-sama memesan air mineral saja dengan beberapa cemilan kecil.
"Setelah putus dari Nadia, mantanku yang
muslim itu. Aku benar-benar down. Gimana
tidak? Dia mengambil keputusan itu sepihak. Dia pernah beberapa kali bertanya apakah aku akan masuk islam atau tidak, tetapi aku nggak pernah memberikan jawaban pasti karena memang saat itu aku belum begitu mantap untuk menjadi mualaf. Lalu tiba-tiba dia mengakhiri hubungan dan akan menikah dengan seseorang yang dijodohkan oleh orang tuanya. Sementara kami satu kampus dan satu jurusan. Tentu aku akan terus bertemu dengannya, setiap itu juga aku akan mengingat rasa sakit yang diberikannya. Aku berhenti kuliah sejak itu. Alice yang ternyata sudah lama menyukaiku mencariku hingga dia menemukanku di cafe milikku. Dia mengungkapkan perasaaannya dan berusaha jadi pengobat luka. Sayangnya luka itu terlalu parah, dia gagal mendapatkan hatiku. Aku sama sekali nggak ada rasa padanya. Aku tahu bagaimana rasanya disakiti, dan aku juga nggak mau menyakiti siapapun juga, maka aku putuskan untuk mengakhiri hubungan itu dengannya. Dia nggak terima, dia terus-terusan menghubungiku. Dia masih berusaha, tapi aku sudah nggak bisa." Kami lalu terdiam. "Kenapa diam saja?" tanyanya.
"Lalu bagaimana lagi setelah itu?"
tanyaku ingin tahu semuanya.
"Sesekali aku membalas pesannya, bukan karna apa. Hanya karna menghargainya saja. Namun sejak kita dekat, aku nggak ingin dia jadi duri dalam daging dalam hubungan kita, aku sudah jarang sekali membalas pesannya. Tadi pun, aku ingin mengatakan tentangmu padanya, ternyata kamu sudah siap sholat, jadi chatnya nggak kubalas lagi. Makanya dia menelepon."
Lagi-lagi kami saling diam. Aku bahkan sudah nggak memikirkan urusanku di kampus lagi. Mungkin besok saja aku ke sana lagi. Masalah ini benar-benar harus selesai hari ini.
Pelayan cafe datang membawakan pesanan dan memecah kebisuan di antara aku dan Jasson."Silahkan, Kak, Mas," ucapnya sambil menata pesanan di atas meja.
"Terimakasih, mbak," sahutku. Sedangkan Jasson mengganggukkan kepalanya saja dengan pelan.
"Kamu percaya 'kan? Tanyanya serius.
"Seharusnya aku percaya. Tetapi bukannya apa, mungkin juga karna rasa trauma yang masih ada. Aku benar-benar takut kejadian itu terulang untuk kedua kalinya. Ketika rasa percayaku kuberikan seutuhnya padanya, dia berkhianat. Itu terjadi pada orang yang sudah lama sekali kukenal. Bagaimana dengan kita yang baru kenal beberapa bulan ini? Paham 'kan jika aku belum bisa percaya sepenuhnya?" tanyaku meminta pengertiannya.
"Banget," jawabnya. "Bagaimana caranya agar kamu benar-benar percaya? Apa yang harus kulakukan?" tanyanya.
Pertanyaannya itu membuatku merasa ada kesempatan untuk mengutarakan apa yang dari tadi ingin kusampaikan, namun masih kupiir-pikir lagi karna akan terlihat jelas sikap posesifku. Tetapi, karna ini dia yang bertanya,posesiku. тегарт, кагна тига yang bertanya, aku nggak akan sia-siakan kesempatan ini.
"Aku boleh melihat chat kamu dengannya?" tanyaku hati-hati. Lalu kuperhatikan ekspresi wajahnya.