Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.
Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bahaya yang Mendekat
“Sudah bangun?” bisiknya pelan, matanya masih setengah terpejam.
Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. “Tapi rasanya pengen pura-pura tidur biar bisa dipeluk lebih lama.”
Ia terkekeh, lalu mengeratkan pelukannya. “Kita nggak perlu pura-pura lagi, Nayra. Kamu bisa peluk aku kapan saja. Bahkan kalau kamu lagi marah sekalipun.”
Aku membalik badan, menghadapnya. “Kamu ngomong gitu karena belum pernah lihat aku PMS parah.”
“Kalau kamu bisa bikin CEO panik gara-gara sakit perut haid, aku yakin kamu juga bisa jadi monster saat PMS. Tapi aku bersedia dijadikan korban.”
Aku tertawa, lalu mencubit perutnya pelan. Untuk pertama kalinya, aku merasa memiliki seseorang yang tidak hanya menyayangiku saat aku kuat, tapi juga siap mendampingi saat aku rapuh.
Setelah mandi dan sarapan yang mana Arka sendiri yang masak karena katanya “istri yang semalam memberikan seluruh cintanya pantas untuk dimanjakan” (kata-kata yang membuatku hampir tersedak teh) kami duduk di ruang kerja sambil membahas rencana program sosial perusahaan.
“Jadi kamu serius ingin mulai aktif di yayasan milik perusahaan?” tanyanya sambil menunjukkan brosur kegiatan sosial.
Aku mengangguk.
“Aku nggak mau cuma jadi istri yang duduk manis. Aku punya background organisasi dan event. Biarpun cuma yayasan, aku bisa bantu. Dan aku mau dikenal bukan karena kamu.”
Wajahnya mengendur. Bangga.
“Kalau kamu turun tangan, semuanya pasti lebih rapi dan hidup.”
Aku mengangkat alis.
"Kamu sekarang terlalu sering muji aku. Habis makan hatiku jadi kenyang.”
Dia menggeser kursinya, mendekat.
“Kalau bisa bikin kamu kenyang cinta, aku akan lakukan setiap hari.”
Wajahku merah lagi.
Dan kupikir pernikahan ini sudah benar-benar berubah.
Kami bukan lagi dua orang asing yang menikah karena alasan teknis dan tekanan keluarga. Kami sudah menjadi pasangan yang saling menumbuhkan.
Tapi kebahagiaan memang licik, sering datang diam-diam dan diuji justru ketika sedang kita peluk erat-erat.
***
Siangnya, Arka mendapat panggilan darurat. Ada kabar bahwa Reno mengusulkan merger besar antara perusahaan yang baru dia ambil alih dan induk perusahaan yang berada dalam pengawasan Arka selama tiga tahun terakhir. Artinya, Reno tidak hanya hadir sebagai rekan kerja, tapi mulai menyasar struktur kekuasaan di dalamnya.
“Merger ini bakal mengubah kepemimpinan. Kalau disetujui, Reno akan punya kursi di dewan direksi pusat,” kata Arka sambil menekan pelipisnya.
“Dan itu berarti... dia bukan lagi cuma bagian dari masa lalu kamu. Dia jadi bagian dari permainan politik di hidup kita.”
Aku diam. Jantungku berdegup tak nyaman. “Apa dia tahu kamu yang pegang kendali di sisi pengambilan keputusan?”
Arka menatapku tajam.
“Tentu dan menurutku, itu alasan kenapa dia bergerak cepat. Dia ingin masuk lewat pintu belakang.”
Aku merasakan sesuatu mencengkeram perutku. Reno. Lagi-lagi dia muncul di ruang yang tidak seharusnya.
Arka berdiri.
“Aku akan ke rapat dewan sekarang. Kamu tetap di rumah, ya? Kalau perlu, matikan dulu notifikasi media sosialmu. Aku curiga gosip soal kamu dan dia bisa jadi dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin menjatuhkan aku.”
Aku mengangguk. Tapi hatiku was-was. Bukan karena takut akan karier Arka, aku percaya dia kuat dan profesional. Tapi karena Reno tahu terlalu banyak tentangku. Termasuk hal-hal kecil yang tidak Arka tahu. Dan itu bisa menjadi senjata.
***
Malam harinya, ketika Arka belum pulang dari rapat panjang, aku duduk di ruang tamu menonton berita ekonomi. Dan seperti yang dikhawatirkan Arka.
...sebuah potongan berita muncul di layar.
"CEO muda Reno Dirgantara mengusulkan langkah merger berani yang akan mengubah wajah dunia properti Indonesia. Sementara itu, rumor mengenai keterlibatannya dengan istri CEO saingan yang juga mantan kekasihnya semasa kuliah kembali menyeruak di jagat maya...”
Aku berdiri, shik shak shoookk guys...nafasku tercekat.
Gambar di layar menampilkan fotoku dan Arka saat hadir dalam sebuah gala dinner, di-crop dengan Reno yang berdiri beberapa meter di belakang. Headline-nya
“Cinta Segitiga di Balik Mega Merger?”
Aku mematikan televisi. Tanganku gemetar.
Ini bukan hanya soal bisnis. Ini sudah personal fan aku takut, besok hidup kami akan berubah lagi.
***
Pagi itu, teleponku berdering nyaris tanpa henti. Ada belasan pesan dari teman lama, kolega Arka, bahkan dari nomor tak dikenal yang entah dapat darimana.
Salah satu dari mereka adalah manajer PR perusahaan Arka.
"Bu Nayra, pihak acara TalkLive Indonesia menghubungi kami. Mereka ingin mengundang Ibu sebagai tamu spesial di episode ‘Wanita di Balik CEO’. Acara ini live dan akan dihadiri oleh tokoh-tokoh industri dan jurnalis bisnis.”
Aku mengernyit. “Kenapa harus aku?”
“Mereka bilang ini langkah untuk menjernihkan rumor. Jujur saja, ini bisa bantu menurunkan tekanan terhadap Pak Arka juga, Bu.”
Aku menutup telepon dengan gelisah. Hatiku ingin menolak, tapi aku tahu ini bukan hanya tentangku. Ini tentang nama Arka. Tentang stabilitas perusahaannya. Tentang kehidupan kami berdua.
***
Arka pulang larut malam. Wajahnya lelah, tapi saat melihatku menunggunya di ruang kerja dengan secarik undangan acara TV, dia mengerutkan dahi.
“Apa ini?” tanyanya datar.
Aku menjelaskan semua. Tentang undangan itu. Tentang maksud baiknya. Tentang ketakutanku.
Arka tidak langsung bicara. Dia hanya duduk, membuka kancing kerahnya, menatap kosong ke dinding beberapa detik. Lalu akhirnya berkata:
“Kalau kamu nggak nyaman, kita tolak.”
Aku menggeleng. “Aku mau. Tapi... kamu harus duduk di barisan penonton. Biar aku tahu, kamu ada di sana.”
Matanya melembut. “Kamu yakin?”
Aku menggenggam tangannya. “Aku udah ngelewatin jauh lebih berat dari kamera dan komentar netizen. Aku nggak mau kamu terus-terusan jadi tameng. Sekali ini, biar aku berdiri di depan.”
Dia mencium tanganku. Lalu memelukku. “Kamu nggak tahu seberapa besar kamu buatku, Nayra.”
***
Hari H pun tiba. Aku berdiri di belakang panggung studio besar di Senayan, mengenakan setelan putih gading yang elegan. Make-up tipis tapi tegas. Rambutku disanggul modern.
Jantungku berdetak tak karuan. Sampai aku melihatnya.
Arka. Duduk di baris pertama. Dengan jas hitam dan tatapan tenang yang menenangkanku sepenuhnya.
Host wanita yang terkenal dengan gaya tajamnya menyambutku dengan senyum ramah.
“Selamat datang, Bu Nayra. Istri dari salah satu CEO muda paling berpengaruh saat ini. Gimana rasanya hidup dalam sorotan publik?”
Aku tersenyum.
“Tadinya saya pikir menikah dengan CEO berarti hidup mewah dan nyaman. Tapi ternyata... lebih mirip seperti hidup di bawah lampu sorot konser rock. Panas, bising, dan semua orang bisa lihat kalau kita salah langkah.”
Penonton tertawa. Aku melirik Arka. Dia tersenyum tipis.
Pertanyaan-pertanyaan pun mulai masuk. Tentang rumah tangga, tentang peran istri dalam mendampingi suami, tentang gosip masa lalu.
Lalu akhirnya...
“Bu Nayra, publik tahu bahwa Anda pernah memiliki masa lalu dengan salah satu rekan bisnis terbaru dari suami Anda. Bagaimana Anda menyikapi isu yang mengatakan bahwa Anda menjadi ‘jembatan halus’ dalam merger tersebut?”
Aku menarik napas panjang. Menatap kamera.
“Kalau saya memang jembatan, maka saya jembatan yang sudah dibakar bertahun-tahun lalu. Masa lalu saya adalah bagian dari hidup saya, iya. Tapi bukan bagian dari kehidupan rumah tangga saya hari ini.”
“Dan tentang merger?” tanya host lagi.
“Saya bukan direktur. Saya bukan komisaris. Saya istri yang sedang belajar. Tapi saya tahu satu hal suami saya tidak pernah mengandalkan apa pun selain kompetensinya.”
Tepuk tangan terdengar. Aku melirik Arka. Dia menatapku dengan cara yang membuat dadaku hangat.
Dan saat sesi ditutup, aku tahu satu hal pasti aku sudah berdiri untuknya dan untuk kami.
***
Sepulang dari studio, aku duduk bersama Arka di ruang tengah, melepas sepatu dan meletakkan kepala di bahunya.
“Aku kayak mau pingsan tadi,” kataku pelan.
Arka membelai kepalaku.
“Tapi kamu keren banget. Kayak orator.”
“Kayak istri presiden?” godaku.
“Lebih. Kayak satu-satunya perempuan yang bisa bikin CEO panik dan jatuh cinta dalam waktu bersamaan.”
Kami tertawa, lalu hening dan dalam keheningan itu, dia berkata :
“Reno akan mengajukan merger final minggu depan. Tapi aku sudah rapat internal. Aku akan menolak.”
Aku menoleh cepat. “Kamu yakin?”
“Yakin. Dia bisa jadi rekan bisnis. Tapi kalau motifnya sudah menyentuh kamu, menyentuh integritas rumah tangga kita, itu sudah bukan kerja sama. Itu ancaman.”
Aku mengangguk pelan. “Aku ada di belakangmu.”
Dia menatapku lama.
“Nggak. Kamu bukan di belakangku, Nayra. Kamu di sampingku. Kita melangkah bareng.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku tidak lagi merasa hanya menjadi ‘istri dari’. Aku adalah bagian dari perjuangan. Aku adalah Nayra Arka Pratama bukan sekadar nama, tapi posisi yang kupilih sendiri, dengan cinta, dengan keberanian.