Mereka mengatakan dia terlahir sial, meski kaya. Dia secara tidak langsung menyebabkan kematian kakak perempuannya dan tunangannya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang berani menikahinya. Mempersiapkan kematiannya yang semakin dekat, ia menjadi istrinya untuk biaya pengobatan salah satu anggota keluarga. Mula-mula dia pikir dia harus mengurusnya setelah menikah. Namun tanpa diduga, dia membanjirinya dengan cinta dan pemujaan yang luar biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Di bawah cahaya bulan yang terang, senyuman pria itu tampak lembut dan menarik.
Freya mengerucutkan bibirnya, wajahnya memerah hebat: "Kita akan memeriksanya... Kita akan memeriksanya, saat sampai di rumah".
Setelah mengatakan itu, dia berkata lagi sambil terengah. "Sebenarnya, aku tadi hanya sedang pamer saja.."
"Dia sangat kuat! Aku benar-benar tidak bisa mengalahkannya dan aku tidak punya cara untuk menghentikannya menindasmu."
Saat berbicara, Freya menundukkan kepala dan menatap kaki telanjang yang menyentuh rumput malam.
"Hmm... Tapi aku bisa membawamu lari bersamaku... Aku yakin aku bisa lari sangat cepat!".
Keseriusannya membuat Luca tak sanggup menahan tawa. "Kau berencana membawaku lari bersamamu setiap kali?".
"Uhumn". Dia mengangguk, lalu tampak berpikir tentang sesuatu, sembari menggelengkan kepala: "Tapi aku tidak akan terus-terusan lari. Begitu aku jadi lebih kuat, aku akan melindungimu."
Di bawah cahaya bulan, Luca menatapnya sejenak. Lalu, dia tertawa. "Baiklah. Aku akan menunggu kau jadi lebih kuat".
"Hm!". Wanita itu mengepalkan tangannya, wajahnya merah padam. Dia mengangkat tangan dan menepuk pipinya, lalu menatap jalanan gelap di depan. "Sepertinya kita tidak bisa pulang..."
Baru saja dia menggunakan sepatu hak tingginya sebagai senjata untuk memukul Brandon. Sekarang, dia tak mungkin menyeretnya pulang dengan kaki telanjang sejauh itu, kan?!
Luca tertawa. "Tutup matamu dan hitung. Saat sampai sepuluh, aku akan menemukan cara untuk pulang".
Freya mengerucutkan bibirnya, menatapnya tak percaya. "Kau masih bisa bercanda di saat seperti ini".
"Kau bisa coba dan lihat sendiri apakah aku sedang bercanda."
"Aku bukan anak-anak." Gadis muda itu cemberut, memutar bola matanya. Tapi, tetap saja, ia menutup mata dan mulai menghitung.
"Satu, dua, tiga..."
Di bawah cahaya bulan, suaranya terdengar semurni wajahnya. Hanya dipisahkan oleh selembar kain hitam tipis dan transparan, Luca menatapnya. Saat itu, bahkan dia sendiri tidak menyadari betapa lembut tatapannya.
"Delapan, sembilan, sepuluh!"
Begitu dia sampai di angka sepuluh, dia langsung membuka mata.
Tiba-tiba, cahaya terang dari lampu mobil menyala dari kejauhan, membuatnya tak bisa membuka mata, dan beberapa detik kemudian, mobil itu berhenti di samping mereka.
Pintu mobil terbuka, dan James, sang sopir, segera keluar. "Maafkan saya karena datang terlambat",
"Itu tidak bisa dibilang terlambat". Luca tersenyum tipis: "Tapi kalau kau datang satu detik lebih lambat, aku akan potong gajimu".
Barulah Freya menyadari semuanya. Saat James membantunya masuk ke mobil, Freya mengerucutkan bibir. "Aku kira kau benar-benar punya cara luar biasa. Ternyata, kau sudah menyuruh James untuk menjemput kita".
Luca duduk santai, menyender ke kursi. "Ini satu-satunya cara yang bisa dipikirkan oleh orang buta".
Freya tidak suka ketika Luca menyebut dirinya buta. Karena itu, ia manyun dan duduk di sampingnya.
Mobil mulai melaju. Malam sebelumnya, Freya tidak tidur nyenyak. Sekarang, saat bersandar di kursi kulit, tubuhnya bergoyang lembut mengikuti gerakan mobil. Tanpa sadar, dia tertidur.
Dalam keadaan setengah sadar, dia merasa mendengar orang-orang merendahkan suara mereka dengan sengaja.
"Kita sudah sampai, Tuan."
"Jangan bangunkan dia. Biarkan dia tidur."
"Tapi..."
Lalu, Freya merasa tubuhnya terangkat, seolah ada yang membawanya dalam pelukan. Ia jatuh dalam dekapan yang hangat dan nyaman. Aroma maskulin, dingin seperti mint, memenuhi hidungnya. Kepalanya terasa ringan. Ia tak bisa membedakan, apakah ini mimpi atau kenyataan.
Pasti... mimpi, ya?
Dalam mimpinya, seorang pria membawanya perlahan, meletakkannya di tempat tidur yang empuk, lalu membelai rambutnya dengan lembut.
"Bodoh,"
Suara pria itu sangat dalam. Freya merasa suaranya agak familiar, tapi tidak tahu di mana pernah mendengarnya.
Keesokan paginya, dia terbangun. Cahaya matahari sedikit menyilaukan. Dia menguap dan duduk di tempat tidur, menyadari bahwa dia berada di kamar tamu.
Dia mengerutkan alis dan berusaha sekuat tenaga untuk mengingat kejadian malam sebelumnya.
Ingatannya berhenti pada saat dia dan Luca berada di mobil James, dalam perjalanan pulang dari kediaman lama. Saat itu, dia merasa pusing dan ingin beristirahat sebentar.
Akibatnya... dia tidur sampai pagi?!
Tapi... bagaimana dia bisa sampai dari mobil ke tempat tidur?
Apakah mungkin...
Ia teringat mimpinya tadi malam. Tapi... tidak mungkin, kan?
Dia segera menggelengkan kepala dan mengusir pikiran tak realistis itu.
"Kau sudah bangun?"
Terdengar suara pria yang dalam dan jelas.
Freya tertegun dan menoleh dengan cepat untuk melihat dari mana suara itu berasal. Secara kebetulan, dia mendapati dirinya sedang menatap mata Luca yang dalam.
Freya memerah dan langsung membalikkan badan.
Siapa yang bisa menjawab pertanyaannya? Mengapa orang buta bisa memiliki tatapan yang begitu tajam?
Namun, saat dia mengingat bahwa Luca buta, dia merasa tidak perlu merasa malu atau gugup.
Maka, dia menatapnya sambil tersenyum: "Kau sudah bangun?".
"Aham."
Dia menyaksikan setiap gerakan Freya. Lalu, tersenyum tipis dan berdiri sambil bertumpu pada tongkatnya. "Aku tidak tidur nyenyak semalam".
Freya mengerutkan kening. "Kenapa?".
Dia sendiri tidur sangat nyenyak tadi malam!
Pria itu berbicara dengan nada sedikit kesal, tapi tersenyum lewat matanya: "Karena kau mendengkur".
Freya tidak tahu harus berkata apa.
Lalu, dia batuk kecil, malu. Secara refleks, dia mengalihkan topik pembicaraan: "Bagaimana aku bisa sampai ke sini tadi malam?".
Pria itu masuk ke kamar mandi dan tidak keluar lagi. "Kau pulang sendiri sambil berjalan dalam tidur".
Freya kembali kehabisan kata-kata, menatap punggungnya sambil membuat ekspresi masam.
Dia merasa tidak mungkin kalau dia mendengkur semalam.
Sekarang, pria itu bahkan bilang dia berjalan dalam tidur.
"Aku bukan pengidap sleepwalking." gerutunya.
Pria tinggi itu tidak menjawab. Sebaliknya, dia langsung masuk ke kamar mandi dan menutup pintu.
Menatap pintu kamar mandi yang tertutup, Freya memutar bola matanya dengan kesal. Dia berdiri dan melepas gaunnya yang kusut. Lalu, mengenakan celana jeans dan kaus putih yang sudah dicucinya sendiri.
Begitu selesai berganti pakaian, ponselnya berbunyi. Itu panggilan dari Zoey.
Dia terdengar sangat panik di seberang telepon: "Frey, cepat ke sini! Ada orang-orang datang ke universitas dan merobek bukumu serta membakar buku catatan latihanmu!".
Mata Freya langsung muram. "Apa?!".
Dia berasal dari desa dan sangat menghargai kesempatan belajar di Kota Ayrith. Dia bahkan memiliki tempat khusus di ruang belajar bersama, tempat dia menyimpan semua materi dan catatannya.
Sebagian besar mahasiswa juga melakukan hal yang sama, dan selama ini tidak pernah terjadi masalah. Kenapa ada orang yang tega merobek buku dan membakar catatan latihannya?!
"Pokoknya, cepatlah ke sini! Kau tidak akan sempat menghentikan mereka!"
Freya menutup telepon dan langsung berlari.
Luca sedang bersandar di sofa, minum teh, dan mendengarkan James membacakan berita untuknya.
Menyadari gerak-geriknya, Luca mengerutkan alis sedikit: "Kau kelihatan panik".
"Aku harus segera ke universitas! Ada sesuatu yang terjadi!" Freya berlari cepat ke lobi untuk mengganti sepatu. "Bolehkah aku minta James mengantarku? Ini darurat".
Dia mungkin tidak bisa menemukan taksi jika keluar saat itu.
"Pergilah." Pria itu berkata lembut.
James meletakkan koran dan segera melangkah, pergi bersama Freya.
"Tuan." Setelah Freya pergi, kepala pelayan, Tuan Rowan, mendekat. "Baru saja ada kabar dari kediaman lama. Brandon pergi ke universitas nona muda".
Luca berkata dengan nada tidak senang: "Siapkan mobil."
"Anda akan ke universitasnya?"
"Aham."
"Tapi...", Tuan Rowan ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu-ragu. Akhirnya, dia berkata, "Tuan, bukankah belum saatnya menghadapi Brandon secara langsung, mengingat rencana kita"
Luca melepas masker sutra hitamnya dan menatap kepala pelayan itu dengan dingin. "Dia mencoba membuat masalah untuk istriku. Kenapa aku harus tetap memikirkan rencana itu?"