Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
Pagi perlahan menjelang siang. Matahari sudah mulai condong ke atas kepala, tapi angin masih berembus pelan, membawa aroma sisa embun dan bau tanah yang hangat. Di warung Yu Kastun, tampak dua sosok duduk santai di atas bangku kayu panjang yang mulai aus termakan cuaca: Lurah Sungkowo dan Ki Ratmoyo.
Dengan gelas kopi hitam mengepul di tangan, mereka bercakap-cakap ringan, seperti biasa—tanpa beban, tanpa tergesa. Sesekali terdengar tawa kecil, kadang hanya gumaman pelan sambil mengangguk-angguk. Obrolan mereka tak jauh dari hal-hal sederhana: kabar panen palawija, harga pupuk yang naik turun, anak yang mulai belajar nembang Jawa, hingga cerita tentang maling ayam yang kini insaf dan jualan bakso.
Memang, Lurah Sungkowo dan Ki Ratmoyo dikenal sebagai dua tokoh desa yang selalu akrab—baik di acara resmi, di warung kopi, di halaman masjid, bahkan di pinggir sawah. Seolah mereka sudah menyatu dengan denyut desa, menjadi semacam penjaga waktu yang terus hadir meski segala hal berubah.
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang terus bergerak cepat, percakapan mereka menjadi semacam ruang hening: tempat di mana waktu berjalan pelan dan hidup dibicarakan dengan cara yang paling manusiawi—lewat secangkir kopi, senyuman, dan cerita yang mengalir begitu saja.
“Gimana, Ki? Lancar tanggapannya?” tanya Pak Lurah membuka percakapan, sambil meniup uap kopi hitam di gelas beningnya.
Ki Ratmoyo mengelus kumis tipisnya yang mulai memutih. “Lumayan, Pak Lurah. Meskipun nggak terlalu ramai, alhamdulillah masih ada aja yang nanggap. Rezeki orang kecil, asal cukup buat beli beras ya syukur.”
"Ya bagus kalau begitu,” timpal Pak Lurah sambil mengangguk mantap. “Kalau ada apa-apa, Ki ngomong aja ke saya. Siapa tahu bisa saya bantu. Pasti saya bantu!”
Ki Ratmoyo mengangguk kecil, tapi wajahnya agak sungkan. “Hehe, iya, iya… Tapi kalau sering-sering minta tolong kan saya yang pekewuh, Pak Lurah. Wong saya ini siapa…”
“Ndak usah pekewuh, Ki! Panjenengan ini sudah banyak bantu saya juga. Lha tanpa njenengan, mana mungkin saya bisa jadi Kepala Desa Wonosari?” kata Pak Lurah sambil tersenyum lebar. “Sekarang waktunya saya balas budi.”
Ratmoyo terkekeh, “Hehehe… Pak Lurah ada-ada saja.”
Belum sempat kopi habis, suara khas Yu Kastun menyerobot dari balik pawon.
“Mbok sekali-kali saya juga dibantu to, Pak! Masak Ki Ratmoyo terus yang dikasih perhatian. Saya kapan?” katanya sambil membawa nampan berisi ketela goreng.
Pak Lurah langsung menoleh dan tersenyum kecut. “Oh, iya, iya, iya, Yu… Pasti itu. Nanti Yu Kastun datang aja ke kantor kelurahan, ya. Biar didata sama Pak Carik. InsyaAllah nanti dapat bansos!”
Yu Kastun menggeleng sambil menuang kopi untuk dirinya sendiri. “Lha itu to, Pak… Sudah berapa kali saya disuruh ke kelurahan. Sama Pak Carik juga sudah tandatangan sampai tangan saya pegal. Tapi hasilnya? Nol besar.”
Pak Lurah mendesah. “Ya sudah, nanti saya tanyakan lagi ke Pak Carik.”
“Tapi mbok kalau mau ngasih bantuan itu langsung aja ke rumah. Saya ini sudah capek wara-wiri. Tandatangan ini, tandatangan itu, ndak ada hasilnya juga. Kaki saya sampe kapalan, Pak!”
Pak Lurah tertawa kecil, mencoba meredakan. “Walah, Yu… Ndak bisa gitu. Itu sudah syarat dan ketentuan dari para penggedhe. Kita cuma nurut aturan.”
Tapi Yu Kastun belum selesai. “Lho, tapi kenapa bantu Ki Ratmoyo kok bisa langsung. Ndak ada syarat-syaratan segala. Padahal saya sama Ki Ratmoyo kan sama-sama warganya Pak Lurah.”
Pak Lurah tersenyum diplomatis. “Oh, kalau itu… urusan lain, Yu.”
“Lainnya gimana, Pak?” celetuk Yu Kastun sambil memicingkan mata. “Jangan-jangan Ki Ratmoyo ini orangnya memang agak… lain?”
Ki Ratmoyo dan Pak Lurah sama-sama tertawa lepas. “Hehehe… lain-lain wae, Yu!”
Sementara itu, matahari makin tinggi. Siang makin terik. Orang-orang mulai melintas di depan warung, entah pulang dari sawah atau sekadar mencari angin.
“Saya pamit dulu, Yu. Ini uang kopinya, sekalian sama punyanya Ki Ratmoyo,” kata Pak Lurah sambil menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah.
“Saya juga pamit, Yu. Ketela gorengnya mantap!” tambah Ki Ratmoyo sambil bangkit dari duduknya.
“Nggih, monggo.” kata Yu Kastun, kali ini dengan senyum kecil di sudut bibirnya.
Tak berselang lama, tampaklah sosok Nasirun dan Marjoko berjalan dari kejauhan. Keduanya baru saja pulang dari sawah masing-masing, dengan tubuh yang dibalut peluh dan wajah yang menghitam tersengat matahari.
Nasirun memanggul pacul di pundaknya. Ia mengenakan celana komprang yang gombrang dan kaos putih kusam bergambar aneka sayuran—hadiah dari sebotol pestisida yang dibelinya tempo hari di toko pertanian Pasar Legi.
Sementara Marjoko, di sebelahnya, menggendong kompresor semprot yang masih berembun. Sebilah arit menggantung di tangannya. Kaos hijau bertuliskan Regent menempel di punggungnya—juga hadiah promosi dari merek pestisida yang sama.
Langkah mereka santai, seolah tak dikejar waktu. Suara sandal jepit yang menghantam tanah kering mengiringi obrolan ringan mereka, tentang cuaca, hama wereng, dan panenan yang belum tentu.
“Siapa tadi, Tun?” tanya Nasirun sambil menaruh pacul di pojokan teras.
Yu Kastun menjawab cepat sambil melipat kain lap di pangkuannya. “Oh, itu tadi Pak Lurah sama Ki Ratmoyo, Makde!”
Marjoko langsung menyela, dengan nada separuh menggoda separuh sinis, “Wong seni sekarang seduluran karo priyayi. Ke mana-mana gandengan terus.”
“Wah, lambemu, Mar! Ojo suudzon!” tegur Nasirun, separuh sungguh-sungguh, separuh malas menanggapi.
Marjoko cuma nyengir, giginya kuning-kuning bekas ngopi. “Lha memang kenyataannya ngono, Makde. Sekarang itu yang jadi jurkam-jurkam calon penggedhe, sapa maneh? Kalau bukan orang yang ngaku-ngaku seniman, artis-artisan itu.”
Ia berhenti sebentar, lalu dengan santai meraih dua biji bakwan di atas tampah, “Naik panggung, katanya nyanyi. Kadang dagelan. Tapi ujung-ujungnya, yo mung demi mbagus-baguske nama priyayi. Rela menjilat, demi bisa ikut makan di piring kekuasaan. Siapa tahu, nanti diangkat jadi teknokrat... biar ada peluang ikut jadi konglomerat.”
Yu Kastun terkekeh kecil. “Ealah, bener kowe, Mar. Zaman saiki zaman edan. Ewuh aya ing pambudi. Yen ora gelem melu edan, yo ora kebagian!”
Nasirun hanya menggeleng perlahan, bibirnya mengerucut, entah kesal atau pasrah.
“Yo ngono kuwi, Yu…” lanjut Marjoko, kini nadanya mulai serius. “Ngalor-ngidul ngaku berkesenian, tapi arahe mung satu: ndhukung calon koruptor. Dan korban utamanya siapa? Kita-kita ini, wong cilik. Saat para calon penggedhe pamer visi-misi setengah matang itu, sapa sing njalari rame? Wong seni! Artis-artis! dan para Influencer alay!”
Ia mengunyah bakwan sambil menunjuk-nunjuk dengan telunjuknya yang berminyak.
“Inget to, waktu Pak Sungkowo masih calon Lurah dulu? Sapa sing paling keras suarane? Ki Ratmoyo! Ora liyo. Wong sak kampung digerakno demi kursi siji!”
Marjoko terus berkhotbah. Bakwan sudah entah tinggal berapa, tapi semangatnya belum habis.
“Kemana-mana Ki Ratmoyo selalu menyebut-nyebut nama Pak Sungkowo,” ucap Marjoko, nadanya mulai meninggi. “Baik di atas panggung maupun di luar pentas, yang disebut cuma itu-itu saja: Sungkowo… Sungkowo… dan Sungkowo. Seolah-olah Wonosari ini hanya milik satu orang.”
Ia menarik napas, lalu melanjutkan, matanya berbinar seperti orator lapangan.
“Dan dia juga tak segan menyerang Kaji Mispan, lawan politiknya Sungkowo waktu itu. Bahkan tanpa tedeng aling-aling! Di tengah pentas wayang pun, ia berani menjelek-jelekkan nama orang itu. Demi apa? Demi jagonya sendiri: Sungkowo!”
Yu Kastun hanya mengangguk-angguk sambil membolak-balik gorengan di atas wajan. “Emmm… iya, iya, iya…”
“Dan buktinya apa sekarang?” Marjoko menatap mereka satu-satu, bak aktivis yang sedang berkhotbah di depan kantor DPR. “Karena jasanya itu, Ratmoyo diangkat jadi anggota BPD. Ya, oleh siapa lagi kalau bukan Lurah Sungkowo sendiri. Semua sudah diatur rapi… seperti lakon pewayangan. Tapi wayang ini dalangnya licik.”
Sambil mengunyah bakwan yang sudah tinggal setengah, ia masih melanjutkan orasinya.
“Untungnya, masyarakat masih ada yang percaya sama Ratmoyo, masih ada saja yang mau nanggap dia. Kalau tidak, bisa-bisa dia senasib sama Dalang Sutopo. Gara-gara sepi job, sekarang banting setir jadi dukun penjual jimat!”
Marjoko terkekeh, tapi tawanya getir.
“Tapi ya itu tadi… janji-janji manis yang dulu didendangkan lewat wayang—sekarang raib entah ke mana. Dulu katanya Wonosari bakal jadi desa unggulan. Tapi nyatanya? Bukannya maju, malah tambah semrawut.”
Ia menoleh ke Nasirun dan Kastun, matanya menyipit penuh sindir.
“Sampeyan tahu, to? Yang diangkat jadi Kamituwo, keponakannya sendiri. Yang jadi Carik, sepupunya. Terus, baru-baru ini, menantunya diangkat jadi Kaur! Memang sih, katanya lewat tes kelayakan. Tapi waktu pendaftaran dibuka, apa yang dia lakukan? Semua keponakannya dikumpulkan, disuruh ikut daftar.”
Ia mendengus sambil meneguk air dari gelas enamel.
“Warga lain langsung ciut. Takut. Pekewuh. Nggak ada yang berani daftar. Mereka pikir, toh ujung-ujungnya akan dijegal juga. Karena mereka nggak punya orang dalam. Lha wong tes kelayakan pun panitianya orang-orangnya sendiri!”
Tiba-tiba Yu Kastun berseru sambil terus membolak-balik gorengan di atas wajan, “E, e, e… salâmi kumsalam! Jadi ceritanya ngono to, Mar?”
“Iya, Yu,” ujar Marjoko sambil menyandarkan punggung ke tiang rumah, suaranya kini lebih serius dan penuh tekanan, “Saya tahu betul arah jalan politiknya Pak Lurah Sungkowo itu. Ambisinya jadi lurah bukan untuk melayani rakyat, tapi demi kepentingan dirinya sendiri—dan kroni-kroninya.”
Ia menatap ke depan, ke arah kebun yang mengering di ujung pekarangan.
“Janjinya dulu itu loh, yang sering digaung-gaungkan sama Ki Ratmoyo di atas panggung wayang—tentang Wonosari yang bakal jadi gemah ripah loh jinawi—ternyata cuma manis di bibir, tapi busuk di hati.”
Marjoko menirukan suara berat Ki Ratmoyo waktu berkampanye, lengkap dengan nada dramatis, dengan cengkok Punakawan Petruk. “Bapak Sungkowo akan menjadikan Wonosari desa kaeka adi dasa purwa! Eka, sawiji! Adi, linuwih! Dasa, sepuluh! Purwa, wiwitan!”
Ia tertawa miris. “Kata-katanya seolah datang dari langit, tapi tindakannya malah menenggelamkan rakyat ke lumpur. Wonosari bakal menjelma jadi desa panjang-punjung pasir awukir, murah sandang sarwa tinuku, murah pangan sarwa tinandur... tai....tai.... Mana? Mana buktinya?!”
Marjoko meraih bakwan terakhir di nampan, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi seolah sedang berpidato dari mimbar. “Nyatanya, hidup kita malah makin susah. Desa makin semrawut. Yang murah cuma janji, yang subur cuma kepentingan!”
Namun suara keras Marjoko segera ditanggapi dengan nada peringatan dari Nasirun.
“Wes, ojo ngono, Mar! Jangan sembrono ngendikamu itu!” katanya sambil mendekat, nada suaranya mengandung kekhawatiran. “Kalau ucapanmu itu benar, ya syukur. Tapi kalau salah? Bisa-bisa kamu dipenjara! Coba pikir, kamu sudah mencemarkan nama baik Lurah Sungkowo sama Ki Ratmoyo.” Nasirun menatap Marjoko tajam, lalu melanjutkan dengan nada tegas.
“Mereka itu orang penting di Wonosari. Berpengaruh. Kamu harus bisa menjaga ucapan. Kalau sampai ada yang denger, kamu bisa dituduh menyebarkan hoax. Sekarang zaman digital, Mar. Sekali viral, bisa langsung nyungsep di penjara.”
Marjoko hanya mengangkat bahunya, lalu menggigit bakwan terakhir itu perlahan—seolah menunjukkan bahwa ia lebih takut bakwan habis daripada ancaman penjara.
Marjoko malah menyambut teguran Nasirun dengan nada menantang. Sorot matanya tajam, bibirnya mengejek, “Hukum saja, kalau memang saya harus dihukum! Saya ndak takut, Makde. Mau dibilang mencemarkan nama baik-lah, mencemari nama Ki Ratmoyo-lah, atau Pak Lurah Sungkowo-lah, atau apalah. Lha wong Kali Brantas yang tiap hari dicemari limbah pabrik saja, ndak ada tuh yang dipenjara!”
Ia berdiri dari duduknya, menunjuk ke arah utara—ke tempat pabrik berdiri di kejauhan.
“Lihat itu! Pabrik penyedap rasa di sudut Wonosari, di tepi Kali Brantas! Sejak tiga tahun lalu pabrik itu berdiri, atas restu langsung dari Lurah Sungkowo. Tapi apa yang terjadi? Limbahnya dibuang begitu saja ke kali! Ndak ada pengolahan, ndak ada tanggung jawab. Air kali jadi hitam, bau, ikan-ikan mati, sawah di hilir rusak! Dan Pak Lurah? Ndak pernah menegur!”
Ia berhenti sejenak, matanya menyapu wajah Yu Kastun dan Nasirun yang diam membisu.
“Yang ada malah beliau kesana untuk ‘ngopi’—minta pelicin, uang damai, uang tutup mulut. Begitu katanya birokrasi sekarang: formalitas legalitas—asal amplopnya tebal, semua jadi halal!”
Ucapan Marjoko makin pedas, tapi nadanya tetap tenang, menusuk dengan kalimat-kalimat yang disusun rapi seperti tombak.
“Dan soal nama baik... saya tanya, Makde: apa gunanya menjaga nama baik seseorang—bahkan seorang priyayi sekalipun—kalau ternyata pakartiné ora becik, pikirannya kotor, dan hatinya busuk?”
Ia mendesah pelan, lalu duduk kembali, menatap kosong ke arah pekarangan depan warung.
“Jangan-jangan... selama ini kita bukan menjaga nama baik, tapi justru menutup-nutupi kebusukan. Kita sendiri yang jadi tembok penyangga untuk bangunan kekuasaan bobrok yang suatu hari pasti ambruk!”
Yu Kastun hanya diam, menghela napas panjang. Sementara Nasirun, meski masih tampak agak cekikikan, tidak lagi menyela. Angin sore berembus pelan, menyapu daun-daun bambu yang berdesir lirih, seakan turut mendengarkan percakapan yang makin panas namun menyuarakan kebenaran yang sulit dibantah.
Nasirun tergelak. Tawanya pecah memenuhi teras rumah. “Kamu ini, Mar… ngomong kok ngelantur ndak karuan! Pusing aku dengarnya. Kalau belum tahu duduk perkaranya, jangan buru-buru main vonis jadi hakim, to!”
Ia menepuk pahanya sendiri, masih tersisa sisa tawa. Tapi kemudian wajahnya berubah lebih serius.
“Bukan, Mar. Bukan itu masalahnya. Tapi ada alasan lain yang mendasari kenapa Ki Ratmoyo lebih mendukung Sungkowo daripada Mispan. Ini bukan cuma soal politik atau kampanye pentas.”
“Apa itu, Makde?” serobot Yu Kastun cepat, matanya membulat penuh rasa ingin tahu.
Nasirun mengangguk pelan. “Jadi ceritanya begini...”
Ia menyandarkan punggungnya, menarik napas seperti akan membuka lembaran lama yang sudah lama dikunci.
“Ceritanya bermula sekitar dua puluh tahun lalu. Waktu itu kira-kira seumuran anaknya Kaji Mispan yang laki-laki itu… siapa namanya?”
“Wiji Santoso, maksudnya, Makde,” sahut Marjoko cepat.
“Nah, iya, si Wiji Santoso itu. Waktu itu, Mispan masih hidup susah. Rumahnya kayu, dindingnya gedhek. Tapi meskipun miskin, dia punya semangat luar biasa. Dan satu hal—ia sempat menjadi salah satu pengrawit di kelompok Ngudi Laras. Ikut Ki Sanusi, bapaknya Ratmoyo.”
Nasirun memandang jauh ke ujung jalan, seakan sedang memanggil masa silam.
“Ki Sanusi waktu itu masih jaya-jayanya. Job pentasnya nggak pernah putus. Undangan dari mana-mana. Nah, saat itulah Mispan ikut. Belum lama gabung, tapi Ki Sanusi langsung lihat bakat di dirinya. Mispan bisa tabuh, bisa nembang, dan ternyata juga punya bakat mendalang.”
“Lha terus?” tanya Yu Kastun, makin condong ke depan.
“Karena itu, Ki Sanusi sering membagi panggungnya. Jejer-nya dimainkan sendiri, tapi bagian sabetan diserahkan ke Mispan. Penonton senang. Ki Sanusi senang. Tapi…”
Nasirun berhenti sejenak. Sorot matanya berubah.
“Tapi tidak dengan Ratmoyo.”
Marjoko ikut menyahut lirih, “Cemburu ya, Makde?”
Nasirun mengangguk pelan. “Cemburu. Takut. Khawatir. Ia takut pamornya kalah. Takut nama Mispan menjulang lebih dulu ketimbang dirinya. Padahal ia merasa, sebagai anak kandung Ki Sanusi, ia-lah yang pantas meneruskan tahta nama besar bapaknya.”
“Makde... makin menarik ceritamu ini, lanjutkan Makde!” bisik Kastun, matanya berbinar.
"Sebentar to, Tun. Kamu ini ceriwis, ndak sabaran pula!" omel Nasirun sambil mengangkat gelas kaleng berisi kopi hitam. Disesapnya pelan, lalu ia letakkan kembali, napasnya ditarik panjang.
“Jadi begini…” Ia melanjutkan. “Waktu itu Mispan berangkat ke desa sebelah untuk menggantikan Ki Sanusi yang jatuh sakit. Ia membawa rombongan Ngudi Laras, termasuk pengrawit-pengrawit tetapnya.”
“Job itu penting. Malam itu Mispan main penuh, dari jejer sampai gara-gara. Dan menurut cerita orang-orang yang nonton, penampilannya luar biasa. Karakternya kuat, sabetannya hidup, dan suaranya menggetarkan mirip Almarhum Ki Hari Dalang terkondang se-Jawa Timur saat itu. Banyak yang bilang, ‘Iki dalang anyar sing bakal nggegirisi!’”
Yu Kastun menepuk-nepuk pahanya. “Walah, pantes Ratmoyo kebakar kupingnya, Makde!”
Nasirun mengangguk perlahan. “Nah, sejak malam itulah, mulai muncul gelagat tak sedap. Beberapa hari kemudian, gamelan milik Ngudi Laras yang biasa dipakai Mispan latihan tiba-tiba rusak. Slenthem-nya penyok, saron barung-nya miring, dan kendangnya sobek seolah disengaja. Padahal sebelumnya baik-baik saja.”
“Maksudnya disabotase, Makde?” tanya Marjoko, matanya menyipit.
“Yo kemungkinan besar ngono,” sahut Nasirun pelan, tapi tegas. “Dan yang lebih aneh, saat itu Ratmoyo yang dipercaya untuk merawat alat-alat gamelan, malah diam saja. Waktu Mispan protes, malah disalahkan: ‘Kowe ndak ati-ati, mungkin pas ngangkut gamelan ceroboh!’ Begitu katanya.”
“Buset…” gumam Yu Kastun lirih, “Ndak nyangka Ratmoyo sekejam itu.”
“Belum selesai, Tun,” kata Nasirun. “Mengetahui peristiwa itu, Ki Sanusi diam saja, malah menyuruh mereka berdua untuk memperbaikinya. Ki Sanusi sendiri yang mulai menua dan tidak ingin ribut-ributan. Tapi Ratmoyo terus berupaya menyingkiran Mispan.”
“Jadi begitu awal permusuhan itu, Makde?” gumam Marjoko, wajahnya kini serius.
“Iya, Mar,” jawab Nasirun. “Dendam itu tak pernah selesai. Maka jangan heran kalau waktu Pilkades kemarin, Ratmoyo lebih mendukung Sungkowo. Ia tahu, kalau Mispan jadi lurah, itu artinya pengakuan. Dan dia—Ki Ratmoyo—tidak akan sanggup hidup di bawah bayang-bayang orang yang dulu pernah ia singkirkan.”
"Terus, terus Makde!" kejar Yu Kastun.
"Sek to, Tun."
Marjoko tiba-tiba menyela dengan gaya usil khasnya.
“Biasa, Makde… Yu Kastun itu kan rondo. Janda itu memang suka nggupuhi—semangat di awal, grusa-grusu. Tapi giliran diseriusi, eh lari!”
“Jaga cangkemmu, Mar!” semprot Yu Kastun, langsung berdiri setengah badan sambil mengambil serok gorengan. “Tak tabok mulutmu pakai ini, biar sekalian tak goreng jadi gorengan lambe crispy kering!”
Marjoko cepat-cepat menangkis dengan gaya sok romantis, menyanyikan sepenggal lagu Cak Dikin sambil senyum-senyum, “Kabeh iki ora perlu digetuni, Yu… Janjiku biyen, Yu… aku saguh ngenteni...”
“Ooooo… munyuk!” pekik Yu Kastun, cemberut sambil manyunkan bibirnya, persis seperti ikan lohan masuk angin.
“Wes-wes… ojo ribut!” potong Nasirun cepat, menepuk paha dan geleng-geleng kepala. “Lha ini lagi cerita penting malah pada adu jampi!”
Ia menyeruput kopi sekali lagi, lalu menatap keduanya dengan pandangan serius.
“Nah… tak lanjutkan. Jadi, pernah suatu ketika Mispan ngisi job di kecamatan sebelah, dia dan rombongan Ngudi Laras pulang tanpa bawa uang bayaran. Kata tuan rumah, bayaran sudah diberikan ke Ki Sanusi sebelumnya.”
Marjoko langsung menyela, “Lha piye toh? Ki Sanusi waktu itu kan masih dirawat di rumah sakit!”
“Persis!” sahut Nasirun. “Itulah yang bikin Mispan bingung. Setelah seminggu Ki Sanusi pulang, Mispan sowan ke rumahnya. Tanya baik-baik soal bayaran. Tapi Ki Sanusi malah kaget dan bilang, ‘Lho, bukannya uangnya sudah kamu terima, Pan?’”
Yu Kastun mengerutkan dahi. “Jebul… jebul sopo seng nggegilut?”
Nasirun menghela napas berat. “Jebul… wis dijupuk duluan karo Ratmoyo. Lha, terus Ratmoyo bilang ke bapaknya kalau uang itu sudah dihabiskan Mispan. Ke para pengrawit, dia ngomong Mispan pakai buat belanja, buat gaya-gayaan. Difitnah, dipecundangi.”
“Tuman!” desis Marjoko, gusar.
“Mispan yang merasa dihina, difitnah, dan tak dihargai, akhirnya memilih mundur dari Ngudi Laras. Sejak saat itulah, mereka berdua jadi musuh bebuyutan. Permusuhan yang diam-diam panjang umurnya, lho Mar, Tun… Sampai ke panggung Pilkades.”
Tiba-tiba Yu Kastun menepuk dada sambil mendongak, nadanya setengah melucu, setengah getir.
“Eeeee... Salamikumsalam! Ternyata bukan cuma pejabat yang sikut-sikutan. Wong seni juga bisa rebutan panggung, rebutan nama, rebutan duit!”
“Yo ngono, Yu...” Marjoko menyahut, “Seni itu ibarat wayang, yang kelihatan cuma lakonnya. Tapi di balik kelir, sabetan dan permainan dalangnya bisa saling jegal.”
Nasirun tersenyum miris. “Makanya, panggung kehidupan itu lebih rumit dari panggung wayang. Lakonnya bisa berubah, tapi dalang juga manusia yang kadang bisa—rakus, licik, dan doyan tepuk tangan."
“Makanya,” lanjut Nasirun, suaranya mulai berat dan dalam, “ketika Mispan maju sebagai calon Lurah, Ratmoyo jadi ketar-ketir. Sebab dia tahu betul, jabatan lurah itu kuasanya bukan sembarangan. Seorang pamong bisa saja, dengan kekuasaan yang dia pegang, menghambat jalan siapa pun—termasuk dunia kesenian yang digeluti Ratmoyo.”
Ia menghentikan bicara sejenak, lalu menyambung, “Karena itulah Ratmoyo memilih mendukung Sungkowo. Satu-satunya lawan Mispan. Dan sejak saat itu, permusuhan mereka jadi makin meruncing. Mispan yang tahu Ratmoyo ada di balik dukungan Sungkowo, langsung menyimpan dendam. Bahkan, setelah kalah dalam pemilihan, Mispan terang-terangan nyepatani Ratmoyo. Wong nandur, bakal ngundhuh! katanya.”
Yu Kastun hanya bisa menggeleng-geleng. “Padahal dulu mereka sama-sama seniman. Sama-sama nguri-uri budaya. Tapi kok ya ndak bisa saling dukung. Tapi ya begitulah… seniman juga manusia. Tempatnya salah dan dosa.”
Marjoko yang sedari tadi menyimak sambil mengunyah gorengan, tiba-tiba menyahut.
“Kalau caranya begitu, itu namanya bukan seniman, Yu. Itu pedagang rasa. Yang nyinden atau mendalang bukan karena cinta, tapi karena takut lapar. Yang takut besok makan apa. Yang anggap orang lain saingan, bukan kawan seperjalanan.”
Ia meletakkan gorengannya, suaranya kini berubah jadi lebih dalam, seperti orang berorasi di panggung terbuka.
“Seniman sejati itu bukan yang merangkak demi amplop. Bukan pula yang menjilat demi jabatan. Seniman itu—ya... orang yang mau memberi. Yang mencipta bukan karena ingin dipuji, tapi karena ingin berbagi. Yang tetap bisa tersenyum meski tidak dikenal. Yang tetap berkarya meski dunia tak menonton.”
Nasirun mengangguk pelan, matanya menerawang jauh. Sementara Yu Kastun tiba-tiba diam, mengelus dadanya, lalu berkata lirih,
“Wah, Mar... kata-katamu barusan kayak puisi. Kayak suara gamelan malam hari yang jatuh di genting.”
Marjoko tersenyum kecil, lalu mengambil bakwan terakhir yang tersisa di nampan. “Karena kadang, Yu... kesunyian adalah panggung terbaik bagi seniman sejati.”
“Wayahe! Wayahe!”
Tiba-tiba suara cempreng nan menyentak membelah udara. Seorang lelaki kurus, berkumis tipis dan mengenakan jaket kulit usang masuk dari arah jalan setapak. Tangannya menjinjing buku catatan kecil. Langkahnya cepat, matanya tajam mengawasi sekeliling.
Marjoko langsung berhenti bicara. Bakwan yang nyaris masuk mulut ia taruh lagi.
Yu Kastun refleks membetulkan letak kerudung dan berdiri dari duduknya. Wajahnya menegang. Senyum tadi menguap seketika.
Rentenir keliling itu sudah berdiri di depan warung angkringan. “Gimana, Yu Kastun? Seminggu wis lewat. Wayahe nyetor, to?”
Suasana jadi canggung.
Warung angkringan di pinggir sawah itu memang dioperasikan oleh Yu Kastun dari modal pinjaman rentenir mingguan. Tanpa bunga bank. Tapi dengan bunga mencekik dan ancaman yang menekan. Jaminannya pun hanya satu: KTP.
Yu Kastun menarik napas, lalu berjalan masuk ke bilik belakang warung. Ia mengambil kaleng bekas biskuit Khong Guan yang isinya bukan biskuit, tapi recehan, uang kertas yang sudah lecek, dan beberapa lembar lima ribuan. Ia mengais dengan cepat.
Nasirun menatap kosong ke arah hamparan sawah. Sementara Marjoko, hanya bisa menggelengkan kepala. Ia bersuara lirih, “Seniman dicurigai... janda ditekan... wong cilik digencet. Dunia ini memang panggung. Tapi yang jadi dalangnya kok ya selalu orang yang sama...”
Dari dalam, terdengar suara recehan beradu dengan kaleng. Kemudian Yu Kastun keluar, menyerahkan sejumlah uang ke rentenir itu.
“Kurang lima ribu, Yu,” kata si rentenir cepat, tanpa senyum.
Yu Kastun memelas. “Tak susul minggu depan, Pak. Ini dagangan belum habis. Kopi dan mendoan baru laku separo.”
Rentenir itu menatap tajam. “Oh ya wes, Yu. Kalau lewat, bunga-nya naik.”
Ia mencatat cepat, lalu pergi dengan motornya begitu saja.
Setelah langkah si rentenir hilang dari pandangan, Yu Kastun terduduk lemas di bangku. Ia mengusap keringat di pelipis, lalu berkata lirih, “Beginilah nasibnya wong cilik. Dikejar-kejar waktu, ditagih-tagih nasib."