Mengetahui kebenaran identitasnya sebagai anak angkat, tak membuat perempuan berumur 18 tahun itu bergeming. Bahkan kematian ibu angkat dan ayah angkat yang mengusirnya dari rumah, tidak membuatnya membenci mereka. Arumi Maharani, gadis lulusan SMA yang dibesarkan di keluarga patriaki itu memilih mencari jati dirinya. “Aku tunanganmu. Maafkan aku yang tidak mengenalimu lebih awal.” Izqian Aksa. Siapa Izkian Aksa? Bagaimana Arumi menjalani kehidupan selanjutnya? Dan akankah pencariannya mendapatkan hasil? Haloo semuanya… ketemu lagi dengan author.. semoga semua pembaca suka dengan karya baru author…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bismillah...
Ramlan turun lebih dulu dari mobil dan meminta Arumi untuk menyusulnya setelah siap.
Dari dalam mobil, Arumi menatap Ramlan yang memasuki pelataran rumah dan mengetuk pintu. Cukup lama Ramlan menunggu sampai perempuan paruh baya datang ke arahnya dengan dunak di gendongannya.
Ramlan menyambut perempuan paruh baya itu dan menyalaminya. Arumi, Aksa dan Karina menebak jika perempuan paruh baya itu adalah Emak.
Setelah berbincang sebentar, Emak membuka pintu dan mengajak Ramlan masuk. Arumi tak lagi bisa melihat interaksi Ramlan dan Emak dari dalam mobil.
Aksa melihat Arumi dengan wajah sendu. Antara tidak tega dan takut Arumi terluka, Aksa mengatakan jika Arumi tidak ingin, ia tidak perlu keluar.
“Terima kasih, Kak. Aku akan keluar. Apapun hasilnya, aku akan menerimanya.” Kata Arumi yang merapikan diri sebelum memegang gagang pintu.
“Bismillah…” ucap Arumi dalam hati.
Setelah mengucap basmalah dan memantapkan hati, Arumi membuka pintu mobil dan keluar. Aksa dan Karina mengikutinya berjalan menuju pelataran rumah.
Saat Arumi mengucapkan salam, Ramlan dan Emak keluar. Ramlan mengembangkan senyumnya ke arah Arumi, sementara Emak hanya menatap Arumi dengan tatapan pias.
“Ini Arumi…” belum sempat Ramlan menyelesaikan kalimatnya, Emak sudah mengatakan jika beliau tahu siapa yang ada di hadapannya.
Bagaimana beliau tidak tahu, wajah Arumi memiliki kemiripan dengan mendiang suaminya dimana alis tebal yang menyatu dan hidung bangir. Ciri khas mendiang suaminya dan Ramlan, gadis di hadapan adalah versi perempuan mereka.
“Masuk!” kata Emak dengan singkat.
Ramlan mengajak Arumi, Aksa dan Karina masuk. Arumi dengan ragu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Tatapan Emak kepadanya, membuat hatinya terasa sakit. Meskipun ia sudah siap dengan apapun hasilnya, sesuatu di sudut hatinya tetap merasakan kecewa dan sakit.
Ramlan menuangkan air kendi ke gelas dan menyerahkannya kepada Arumi. Ia tahu Arumi terkejut dengan sikap Emak kepadanya.
“Untuk apa kamu mencariku? Bukankah kamu sudah hidup enak?” tanya Emak yang seketika mengejutkan semua orang yang ada di ruang tamu.
Lidah Arumi terasa kelu. Memang ia hidup enak karena semua kebutuhannya terpenuhi. Tetapi apa yang dijalani selama ini, tidak lebih beruntung dengan kakak-kakaknya yang bisa hidup dengan orang tua kandung mereka.
“Mak! Jangan seperti itu! Arumi berniat baik, mau mengenal Emak dan adik-adik yang lain.”
“Aku sudah menganggapnya mati. Begitu juga dengan adik-adikmu!” kata-kata Emak, semakin membuat Arumi tidak percaya diri.
“Bagaimana bisa Emak mengatakan itu? Jika tahu akan seperti ini, aku tidak akan membawa Arumi kemari!”
“Itu lebih baik! Kenapa juga kamu membawanya kemari?”
Aksa dan Karina sudah tidak tahan dengan sikap Emak kepada Arumi. Saat Aksa ingin buka suara, Arumi mendahuluinya.
“Kalau kedatangan saya kemari membuat Emak tidak nyaman, saya akan pergi. Saya kemari hanya ingin bertemu dengan Emak yang sudah melahirkan dan memberikan saya hidup. Jika saya tidak diberi kesempatan untuk menjalin silahturahmi, saya tidak akan menemui Emak atau kemari lagi. Terima kasih telah mengandung dan melahirkan saya dan memberikan saya kepada Umi Im. Ini ada hadiah yang saya siapkan, semoga Emak suka. Saya pamit. Assalamu’alaikum…”
Setelah mengatakannya, Arumi meletakkan kotak yang ia ambil dari dalam tasnya dan keluar dari rumah Emak. Aksa dan Karina ikut mengucapkan salam dan mengikuti Arumi yang langsung masuk ke dalam mobil, melampiaskan tangisannya.
Karina ikut masuk dan memeluk Arumi, seketika air mata Arumi tumpah di pelukan Karina. Aksa yang sengaja tidak masuk ke dalam mobil, mengacak rambutnya dengan frustasi.
Siapa yang tega melihat Arumi diperlakukan seperti itu? Sayangnya ia tidak memiliki hak untuk membela Arumi. Aksa hanya bisa menahan kekesalannya untuk dirinya sendiri.
Sementara itu, Ramlan yang masih tinggal bersama Emak, mengutarakan kekecewaannya kepada emaknya. Sayangnya, Emak masih pada pendiriannya dan mengatakan jika beliau lebih baik tidak bertemu dengan Arumi sampai akhir hayatnya, dibandingkan bertemu seperti sekarang.
“Kenapa Emak keras kepala seperti ini?” tanya Ramlan frustasi.
“Kamu tidak mengerti!”
“Apa yang aku tidak mengerti? Coba katakana agar aku bisa mengerti, Mak!”
“Anggaplah anak itu sudah bukan adikmu lagi, Lan! Dia sudah bukan bagian dari keluarga ini sejak dirinya ikut dengan orang tua angkatnya.”
“Tetapi Arumi tetaplah darah dagingmu, Mak!”
“Aku hanya punya kamu dan adik-adikmu. Anak itu tidak masuk dalam hitungan.”
“Mak!”
“Pembahasan kita sampai di sini saja. jangan sampai adik-adikmu tahu mengenai anak itu!”
“Kenapa jika mereka tahu?”
“Kamu ini sebagai kakak laki-laki satu-satunya, harusnya tahu harus bersikap! Aku sudah mengatakan kalau anak itu mati! Tidak perlu lagi adik-adikmu tahu!” Ramlan kehabisan kata-kata.
Perdebatannya tidak akan membuahkan hasil karena emaknya masih saja keras kepala menganggap Arumi sudah mati dan bukan bagian dari keluarga mereka. Dengan berat, Ramlan menyalami emaknya dan keluar dari rumah.
Ia berjalan gontai menuju mobil dan mendapati Aksa yang bersandar di sana. Ramlan menangkap kode yang diberikan Aksa dan melihat dibalik jendela. Samar-samar, terlihat dan terdengar suara tangisan.
Tanpa bertanya tentu ia tahu suara tangisan siapa itu. Ramlan ikut bersandar dengan Aksa dan menunggu sampai Arumi tenang.
Di balik pohon yang ada di pelataran rumah Emak, ada seorang gadis yang menguping percakapan mereka sejak tadi. Gadis itu keluar dan menemui Ramlan.
“Kang Lan kemari kenapa tidak kasih kabar?” tanyanya.
“Kamu kenapa di rumah? Apa sekolah libur?” tanya Ramlan.
“Aku tidak masuk sekolah karena tidak enak badan.”
“Tidak enak badan kenapa malah keluyuran?”
“Alasan!” kata Ramlan seraya mengacak rambut gadisitu.
Gadis itu tertawa dengan renyah. Gadis itu tidak lain adalah adik bungsu Ramlan, Yuni. Anak bungsu yang dimanjakan oleh emaknya karena sejak berusia setahun sudah ditinggalkan bapaknya.
“Ini siapa, Kang?” tanya Aksa.
“Yuni, anak bungsu.” Aksa yang merasa kesal menjadi penasaran dengan Yuni.
Pasalnya, penampilan Yuni terlihat kontras dengan pedesaan dan rumah yang sederhana. Yuni terlihat seperti anak orang berada dibandingkan anak dari Emak Arumi dan Ramlan yang terlihat sederhana.
“Jangan heran! Anak ini sudah dimanjakan sejak kecil.” Kata Ramlan yang mengerti tatapan Aksa.
“Bukan maksud…”
“Aku tahu.” Sela Ramlan.
Aksa tidak lagi berkata-kata. Ia memilih untuk masuk ke dalam mobil karena Arumi telah melepaskan pelukannya dari Karina.
Ramlan menunggu sampai Yuni selesai berceloteh, sebelum menyusul Aksa masuk ke dalam mobil.
“Kita pulang atau kamu mau singgah ke suatu tempat?” tanya Aksa kepada Arumi.
“Pulang saja, Kak.” Jawab Arumi dengan suara parau.
“Baiklah!” Aksa mengangguk dan mulai melajukan mobilnya meninggalkan rumah Emak.
Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bersuara karena mereka tahu, Arumi sedang tidak menginginkan penghiburan saat ini. Mereka memilih memberikan Arumi waktu sendiri, agar perasaannya menjadi lebih baik.
.
.
.
.
.
Maaf hari ini hanya sempat satu bab karena ada tamu. Selamat membaca...