NovelToon NovelToon
Mencari Kebahagiaan

Mencari Kebahagiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Suami ideal / Trauma masa lalu
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Langkah demi langkah

Sore itu, saat Aira tengah memeriksa instalasi lampu baru, pintu kafe terbuka keras.

Delon berdiri di ambang pintu dengan wajah gelap dan tatapan penuh kemarahan.

“Aira,” ucapnya dengan suara rendah namun mengancam.

“Kalau kamu nggak mau pulang ke rumah, aku akan hancurkan semuanya. Lagi.”

Aira berhenti menulis catatannya. Ia menatap Delon dengan mata yang tak lagi dipenuhi ketakutan seperti dulu. Ada keberanian di sana, meski tangannya sedikit gemetar.

“Aku tidak akan pulang, Delon,” jawabnya tegas.

“Tempatku bukan di sana. Dan kamu tidak bisa terus mengancam ku.”

Delon melangkah mendekat, wajahnya memerah karena amarah.

“Kamu pikir kamu bisa sembunyi di balik tempat ini? Aku bisa—”

Belum sempat Delon menyelesaikan kalimatnya, pintu kembali terbuka.

Seorang pria bertubuh besar melangkah masuk. Wajahnya dingin, matanya tajam. Ia tampak seperti kebetulan lewat.

“Permisi,” katanya sambil melirik Aira lalu ke Delon.

“Ini Jalan Nusantara, nomor 17, ya?”

Delon mendadak pucat. Tatapannya langsung tertuju ke wajah pria itu, wajah yang tak asing baginya.

Pria yang semalam menghajarnya habis-habisan saat ia kabur dari kafe.

Wajah itu masih tertanam jelas dalam ingatannya, lengkap dengan sorot mata yang tak mengenal ampun.

Langkah Delon mundur tanpa sadar, tubuhnya mulai gemetar.

“Aku... aku cuma lewat,” gumamnya, lalu berbalik cepat dan berjalan pergi dengan terburu-buru.

Pria itu memandangi Delon yang menjauh, lalu melirik Aira.

Sekilas, ia mengangguk kecil, memberi isyarat bahwa semuanya dalam kendali. Kemudian ia benar-benar pergi, seolah tak pernah ada.

Aira terdiam, napasnya baru bisa ia hembuskan lega beberapa detik kemudian. Nayla yang melihat kejadian itu dari dalam dapur segera menghampiri.

Delon berlari keluar dari Kafe dan ia akan kembali untuk menghancurkan Kafe.

Hari itu, Aira tahu bahwa keberanian tidak berarti tanpa rasa takut, tapi berarti tetap melangkah walau rasa takut itu ada.

Ia kembali ke pekerjaannya, melanjutkan perbaikan kafe dan, lebih dari itu, memperbaiki dirinya sendiri.

Malam itu, apartemen terasa hening. Lampu di ruang tengah menyala redup, menyinari wajah Aira yang termenung di sofa.

Tangannya memegang secangkir teh yang sejak tadi tak disentuh.

Matanya menatap kosong ke arah jendela, tapi pikirannya jauh mengembara tentang kafe, tentang Delon, dan tentang keberanian yang terpaksa ia munculkan hari ini.

Aira tidak menyadari suara pintu terbuka. Langkah kaki yang begitu familiar menghampiri dan tanpa banyak suara, Abraham duduk di sampingnya.

“Sedang melamun apa?” tanyanya pelan.

Aira tersentak sedikit, lalu tersenyum lemah. “Nggak tahu... banyak hal.”

Abraham menatap wajah Aira yang tampak letih, lalu menarik napas perlahan.

“Maaf,” ucapnya.

“Beberapa hari ini aku sibuk dan nggak bisa temani kamu di kafe. Seharusnya aku ada di sana.”

Aira menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Aku tahu kamu juga punya banyak urusan.”

Abraham menunduk sebentar, lalu berpura-pura santai.

“Ngomong-ngomong, semuanya lancar kan di kafe? Nggak ada masalah?”

Aira menatapnya sejenak. Ada seberkas keraguan di matanya, seolah ia tahu Abraham pasti sudah mendengar kabar itu. Tapi ia mengikuti permainan Abraham, berpura-pura seperti tak terjadi apa-apa.

“Ya... agak melelahkan. Tapi semua baik-baik saja sekarang,” jawab Aira pelan, mengalihkan pandangan.

Abraham tersenyum kecil, meski sorot matanya dalam. “Kamu memang kuat, Aira. Aku bangga.”

Aira tertunduk. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi ia memilih menyimpannya malam ini.

Mungkin karena kehadiran Abraham saja sudah cukup untuk membuatnya merasa tidak sendirian.

Mereka duduk dalam diam, menikmati keheningan yang tidak menekan.

Hanya ada suara detik jam di dinding dan cahaya lampu yang lembut membasuh ruang.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Abraham menyandarkan punggungnya dan menatap langit malam dari jendela. Aira, akhirnya, menyandarkan kepala di bahunya.

Malam itu mereka tidak membicarakan Delon, tidak membicarakan ancaman, tidak membicarakan masa lalu.

Karena untuk pertama kalinya sejak lama, Aira ingin percaya bahwa semua akan baik-baik saja.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Aira kembali tenggelam dalam pekerjaannya di kafe.

Ia menyibukkan diri mengatur ulang interior, mengganti warna dinding dengan sentuhan yang lebih hangat, memilih furnitur baru yang lebih ringan dan minimalis, serta menambahkan tanaman hidup di setiap sudut ruangan.

Nuansa baru itu membuat kafe terasa berbeda dimana lebih segar, lebih lapang, dan lebih tenang.

Aira berdiri di tengah ruangan, memandangi hasil kerja kerasnya dengan napas yang perlahan lebih stabil.

Meski masih ada rasa takut dan trauma yang mengintip dari balik pikirannya, Aira tahu bahwa dirinya sedang menuju pemulihan.

Kafe ini bukan hanya tempat usaha karena ini adalah simbol harapannya untuk hidup yang lebih baik.

Pintu kafe berbunyi. Abraham masuk dengan langkah tenang, lalu berhenti beberapa meter dari Aira.

Matanya menyapu ruangan, mengamati setiap sudut yang berubah drastis sejak terakhir kali ia datang.

“Kafe-nya kelihatan... berbeda,” ujarnya, berjalan perlahan mendekat.

“Kenapa diganti? Aku pikir kamu sudah puas dengan desain sebelumnya.”

Aira menoleh, sempat terdiam sejenak. Ia tahu ini saatnya mengatakan yang sebenarnya tentang Delon, tentang kehancuran, tentang rasa takutnya. Tapi lidahnya kelu. Ia belum siap.

“Aku cuma... ingin nuansa yang lebih hidup,” katanya akhirnya, sambil tersenyum samar.

“Yang lebih baru, lebih segar. Aku pikir, kalau suasananya berubah, energinya juga bisa berubah.”

Abraham mengangguk perlahan, matanya tak lepas dari Aira.

Ia tahu pasti ada yang tak dikatakan dan ia tahu ada sesuatu di balik perubahan ini.

Tapi ia tidak memaksa. Ia menghargai ruang Aira untuk memilih kapan dan bagaimana ia ingin bercerita.

“Kalau begitu... kamu berhasil,” jawabnya pelan, dengan senyum tipis yang tulus.

“Kafenya terasa lebih... hangat. Seperti kamu.”

Aira menunduk sedikit, menahan gejolak emosinya. Kata-kata itu sederhana, tapi datang dari seseorang yang tidak pernah memaksanya, tidak pernah menuntut, hanya selalu ada.

“Makasih,” ucap Aira lirih.

Abraham berjalan ke salah satu meja, menyentuh permukaan kayunya yang masih baru.

“Kapan grand re-opening-nya?” tanya Aira

“Minggu depan,” jawab Abraham. “

Aira tersenyum lebih lebar. “Aku akan ada di sana. Baris paling depan.”

Aira tersenyum, kali ini lebih tulus. Ia tahu jalannya masih panjang, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa siap melangkah.

Setelah itu Abraham mengajak Aira untuk pulang ke apartemen.

Abraham mengatakan kalau ia akan memasak dengan resep baru yang ia ciptakan.

"Resep apa?" tanya Nayla.

Abraham menggelengkan kepalanya dan mengatakan kalau itu masih rahasia.

Sesampainya di apartemen Aira mengganti pakaiannya dan melihat Abraham memasak.

Abraham melarang Aira untuk ke dapur dan ia mendorong tubuh Aira ke kamar.

"Nanti saja kalau sudah matang, baru keluar kamar".

Aira menganggukkan kepalanya dan ia kembali duduk diatas tempat tidur.

Dua puluh menit kemudian Abraham telah selesai memasak dan ia memanggil Aira.

"Harum sekali baunya...." Risa langsung duduk dan melihat ayam bakar yang sudah ada di atas meja makan.

"Ini resep baruku Aira, resep baru ayam bakar bumbu cinta,"

Aira tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan dari Abraham.

"Apakah rasanya enak?" tanya Aira yang kemudian mengambil sendok dan mencicipi masakan Abraham.

"Bagaimana? Apakah enak?"

Aira menganggukkan kepalanya dan memberikan nilai 100.

Setelah itu Abraham mengajak Aira untuk lekas makan malam.

1
Asmara Senja
Kereeeennnn
my name is pho: Terima kasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!